Lelaki dari Neraka
Tiba-tiba saja lelaki itu menyeruak masuk lagi
ke dalam hidupku. Suara baritonnya di ujung telepon pagi ini membuatku sesak
napas sekaligus membuyarkan hari yang semestinya lapang dan ringan ini.
Kami berjumpa pada
sebuah malam yang panas dua puluh lima tahun lalu. Berdiri di atas podium
dengan dagu agak terangkat, ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara
berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin. Seorang pemimpin aktivis
mahasiswa terkemuka, datang dari sebuah universitas besar di Ibu Kota. Namanya
menjulang, kerap disebut dengan hormat oleh para demonstran mahasiswa hingga ke
banyak pulau yang jauh.
Pidato singkat
perkenalannya boleh jadi paling kami tunggu di antara serangkaian panjang
pidato perkenalan dari pimpinan delegasi semua kampus. Ditunggu dan ternyata bermutu!
Dialah bintang paling terang di langit Yogyakarta malam itu.
Ia bukan saja
memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya, tapi dengan
tandas memberi setengah lusin catatan untuk agenda-agenda pokok pertemuan.
Paparannya tertata, menukik langsung ke sasaran. Sungguh-sungguh efisien.
Tapi dagu itu tak lagi
mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang dalam
ingatanku memegang dahiku.
”Tinggi sekali suhu
tubuhmu. Panas sekali,” katanya lirih. ”Harus secepatnya kita bawa ke dokter,”
lanjutnya. Lebih mirip gumaman.
Lalu, selebihnya
terbangunlah sebuah sejarah kecil kami. Sebuah sejarah yang amat pendek.
Aku sungguh tak ingat
persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter di tengah kota, tak
jauh dari fakultas ekonomi, tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan
serangkaian seminar nasional hari-hari itu.
Demam tinggi itu
menarikku terbaring di atas tempat tidur asrama tempat kami menginap selama
nyaris satu setengah hari. Aku tak ingat, bagaimana awal hikayatnya hingga
dengan amat segera kami menjadi amat dekat, lekat dan rekat.
Yang aku sangat ingat,
dia selalu menjengukku di tiap jeda antarmata acara. Memegang tanganku
sesekali. Memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dan membisikkan
kata-kata pengharapan, bukan sekadar doa lekas sembuh, yang membangkitkan
getaran-getaran aneh, melonjak-lonjak dan tak beraturan di kepalaku.
Hari-hari yang tersisa
kemudian adalah hari-hari kami.
”Pembicara dan materi
seminar ini sungguh membosankan,” katanya suatu pagi. Aku hanya mendengarkan.
Takzim seperti biasa. Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
”Dan tak bermutu,”
katanya lagi.
Maka, kami pun membolos
dari banyak sekali mata acara seminar berhari-hari itu. Menyusuri Malioboro. Berkeliling
Yogyakarta di atas becak. Menyelusup di tengah sebuah bazar murah di sepanjang
sisi Mandala Krida. Menyisir setiap kios yang memajang buku-buku bajakan.
Menghabiskan nyaris sepenggalan hari di Gembira Loka.
Bagiku, hari-hari
membolos seminar bersama lelaki itu justru merupakan rangkaian seminar
menyenangkan. Bahkan, itulah hari-hari kuliah terbaik sepanjang hidupku.
Selepas ciuman pertama
kami, yang terjadi begitu saja, ia bercerita tentang seorang profesor ekonomi
politik Jerman yang baru saja mengumumkan buku terbarunya. Nama profesor itu tentu saja tak bisa kuingat lagi. Yang kuingat, sang
profesor mengagumi Jepang dan meratapi Brasil.
”Pembangunan Jepang
sukses lantaran menjaga jarak dari kapitalisme internasional yang penuh
jebakan. Mereka membangun kapitalisme disosiatif. Mereka meminjam cara kerja
kapitalisme sambil membentengi diri dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi
pada pasar domestik. Sementara itu, Brasil keliru dengan membangun kapitalisme
asosiatif. Tunduk, bertekuk lutut berhadapan dengan kapitalisme internasional.
Jadilah mereka zona kehancuran. Monumen kegagalan pembangunan,” kuliahnya
berapi-api.
Di depan orang utan
Gembira Loka yang termangu-mangu, ia bercerita dengan penuh luapan kekaguman
tentang Doktor Soedjatmoko. Ia menyebut Sang Doktor sebagai seorang humanis
dengan pikiran yang meloncat- loncat ke depan. Kutipannya tentang Soedjatmoko
kemudian berhamburan seperti rangkaian gerbong kereta, menderu-deru, tak
habis-habis.
Yogyakarta hari-hari
itu pun ditaburi banyak kutipan yang sebagian besar tak bersahabat dengan
kepalaku yang sempit. Para pemikir besar itu berjejal-jejal di kepalaku dan
anehnya menghasilkan rasa bahagia yang menghanyutkan.
Lelaki itu memang
berhasil mengangkat derajatku tinggi- tinggi. Aku, seorang aktivis pemula,
mahasiswi sebuah universitas di sebuah pelosok kota ujung timur Pulau Jawa,
tiba-tiba diangkat naik menjadi teman bicara lelaki aktivis yang serba
gemerlap. Aku tersanjung dan hanyut.
Diam-diam lelaki itu
berhasil dengan cepat menyudahi peperangan dalam hatiku. Nyaris seluruh bagian
hatiku telah ditaklukkannya tanpa ampun. Dan akhirnya, di hari yang sungguh
terasa panjang itu, kami menyelusup masuk ke asrama yang melompong ditinggal
para penghuninya mengikuti pidato kebudayaan seorang penyair besar di balairung
Bulaksumur. Sungguh sulit kumengerti. Betapa mudah aku menyerah petang itu. Aku
benar-benar hanyut. Tanpa perdebatan atau sekadar perbincangan panjang, jadilah
dia ”lelaki pertama” dalam hidup perempuanku.
Di hari perpisahan
kami, dia menggenggam tanganku erat. Tatapan matanya
menggetarkan ulu hatiku. Mataku nanar dan nyaris berair. Mendung terasa
menggantung di atas stasiun Tugu petang itu.
Aku benar-benar
menangis ketika suara baritonnya menyeruput telinga kananku.. ”Aku telah jatuh
cinta,” bisiknya lirih. Nyaris tak terdengar.
Lututku bergetar hebat.
Tulangku serasa dilolosi ketika gerbong terakhir kereta itu musnah ditelan
tikungan. Bukan hanya lelaki itu yang pergi ke Jakarta, tapi seluruh hatiku
terbawanya serta.
Tapi, sejarah kami dimulai
dan berakhir pada titik yang sama. Hari-hariku selepas Kongres dan Seminar
Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung.
Lelaki itu lenyap
dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi
sepotong pun kabar darinya.
Yang kutahu
bertahun-tahun kemudian adalah namanya kerap benar mengisi berita utama surat
kabar. Wajahnya nyaris setiap hari muncul dalam acara-acara pamer cakap
televisi. Kejatuhan Soeharto telah menaikkan namanya. Dari balik bau bangkai
kekuasaan Orde Baru, nama harumnya menyeruak semerbak ke mana-mana. Suara
baritonnya akrab menggauli telinga siapa saja hingga ke dusun-dusun di
pedalaman. Karier politiknya melejit.
Aku sendiri harus
menutup rapat-rapat buku sejarahku dengannya. Semuanya sudah kuanggap tamat dan
usai begitu saja. Tapi, kuhabiskan lima tahun untuk menanggung rasa sakit yang
mengiris-iris.
Lima tahun penantian
tanpa hasil itu telah mengubah dengan sempurna wujud lelaki itu di kepalaku.
Dari lelaki pertama yang menyentuhku, yang kepadanya segenap jiwa, raga,
pemujaan, dan cinta naifku kuserahkan, ia telah menjelma sebagai seorang
bajingan tengik tak punya tanggung jawab, yang pada tiap pagi, siang dan
petangku kukirimi doa masuk neraka.
Sejarah pendek itu
makin lama makin lapuk dan menguap. Sejarahku yang sesungguhnya kemudian adalah
menjadi istri bersahaja dari seorang suami yang bekerja keras dari pagi hingga
petang dalam enam hari setiap pekan. Penantian dan pengharapan sia-sia akan
lelaki itu memang berakhir setelah kusua seorang lelaki lain yang meminangku
pada sebuah pagi biasa. Kini, aku telah dihadiahinya dua bidadari mungil dan
satu jagoan kecil.
Dan sepi pagi hari
rumah kami robek oleh dering telepon itu. Lalu, bungsuku berlari dengan napas memburu.
”Ibu! Ibu! Ada telepon!
Katanya dari Istana Presiden!” Teriaknya berulang-ulang.
Semacam rasa waswas
yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon di ruang tengah.
”Selamat pagi Ibu.
Mohon maaf jika mengganggu. Saya ajudan Bapak Presiden. Bapak berkenan bicara,”
suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku.
Tanpa menjawab sepatah
kata pun, aku tahu pesawat telepon di ujung sana telah berpindah tangan.
”Selamat pagi Dyah. Ini
saya. Apa kabar?”
Suara bariton itu
menyeruak masuk ke dalam gendang telinga kananku. Berat, dengan kalimat ringan
dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek menguak kembali luka yang kupikir
sudah benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka.
Bintaro-Pondok Indah,
15 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar