Kak Ros
Begitu
keluar dari kamar dan tak
sengaja menatap ke taman itu,
aku terpaku: Kak Ros,
perempuan hampir separo baya
itu, sedang membungkuk
menyorongkan wajahnya ke
rimbun tapak dara.
sengaja menatap ke taman itu,
aku terpaku: Kak Ros,
perempuan hampir separo baya
itu, sedang membungkuk
menyorongkan wajahnya ke
rimbun tapak dara.
Tentu
bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti
kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar,
Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun?
Dan
tampaknya, bukan hanya bicara. Tangan Kak Ros bergerak lembut, menyentuh,
mengusap daun-daun. Tangan yang lain, dengan tak kalah hati-hati, menyemprotkan
air dari botol sprayer sedemikian rupa, hingga tampak seperti seorang ibu yang
memandikan dan mengeramas rambut anaknya. Tempo-tempo, semprot dan usapan itu
terhenti, lalu jarinya tampak seperti mengutip dan memindahkan sesuatu dari
tangkai atau punggung daun, juga sangat lembut dan hati-hati. Kembali aku ingat
kata Ben. Apakah perempuan itu tengah memindahkan semut, atau serangga kecil
lain, agar tak terpelanting oleh semprotan air?
”Naa,”
tepukan halus di pundak mengejutkanku, ”Om memerhatikannya.” Ben yang rupanya
juga telah keluar dari kamar, berdiri di sampingku.
”Aa…
ti-tidak.”
”Jangan
bohong,” nada Ben menggoda. ”Sangat lembut ya?”
”Si-siapa?”
Entah kenapa aku agak gugup.
”Yaa,
dia!” Telunjuk Ben bergerak sedemikian rupa, membentuk paruh burung pelatuk,
mematuk ke arah Kak Ros. Senyum Ben, sungguh menjengkelkan. Seraya melotot,
kudorong tubuhnya dengan bahu, kusorongkan wajah, lalu mendesis: ”Berapa
usianya, berapa usiaku?!”
***
Ben
adalah ponakanku, anak sulung kakak perempuanku paling tua. Meski Ben
memanggilku ”om”, usia Ben hanya tiga tahun lebih muda. Karena bisa dibilang
sepantaran, sejak kecil kami memang lebih tampak seperti sahabat, maksudku bila
dibanding hubungan paman-ponakan. Dan itulah sebabnya, ketika ada undangan
pertemuan sastra ke sini, Tanjungpinang, kota tempat Ben merantau dan bekerja
di sebuah mal, aku lebih memilih menginap di tempat kost Ben ketimbang hotel
yang disediakan panitia.
Agak
aneh sebetulnya. Pertemuan yang jarang, ditambah kenyataan bahwa ini merupakan
kunjungan pertamaku ke tempat Ben, mestinya membuat kami tenggelam dalam
nostalgia baku-canda. Tetapi itu hanya sebentar, cuma di hari pertama. Di hari
kedua dan kemarin, obrolan Ben melulu itu: Kak Ros, ibu kostnya yang sudah
hampir separo baya, tapi masih lajang, sangat lembut, halus, pengasih, dan
seperti bisa bicara dengan daun-daun.
Bisa
bicara dengan daun-daun? Tentu saja aku tak percaya. Setelah membantah,
menyanggah ini-itu, kubilang, ”Daun memang sangat mungkin disukai, disenangi,
bahkan disayangi orang, Ben. Orang yang sangat sayang pada daun bisa saja
tampak seperti bercakap-cakap saat merawatnya.”
”Maksud
Om, bunga?”
”Bukan.
Daun. Tidakkah menurutmu daun sangat luar biasa?”
Wajah
Ben seperti bingung.
”Daunlah
yang membongkar molekul air, menghasilkan oksigen yang dilepas ke udara.
Daunlah makhluk yang bisa memasak makanan sendiri. Dan karenanya, tahukah kau,
kalori yang mengalir dari satu mata rantai ke mata rantai lain itu sesungguhnya
berawal dari daun?”
Ben
tertegun, tersipu, sekaligus tampak jengkel kuceramahi. Maka baik ceramah lalu
kurampungkan dengan canda, ”Kau boleh lupakan pelajaran biologi-mu, Ben.
Tetapi, untuk hal-hal penting tentang hidup, sebaiknya kau selalu ingat.”
Ben
tertawa, menonjok pundakku. Maka baik topik ini tak kulanjutkan dulu. Kubilang tak
kulanjutkan dulu, karena memang ada hal yang sebenarnya Ben harus tahu. Bahwa
aku, telah tiga tahun ini, juga menanam dan memelihara banyak tanaman. Menyukai
dan menyenangi dan menyayangi bermacam daun. Ya, seperti Kak Ros. Semua tanaman
di pekarangan ini, tapak dara, sangitan, salam, sinyo nakal, tempuyung,
suruhan, sidaguri, srikaya, tahi kotok, juga kumiliki. Pun berbagai tanaman
lain, temu giring, siantan, sosor bebek, daun dewa, sente, sereh wangi,
senggani, dan banyak lagi. Ya, aku seperti Kak Ros. Itulah yang membuatku
sangat yakin Ben keliru. Tetapi, itu pulalah yang membuatku tertegun (dan lalu
tampak gugup?), ketika, tadi, betul-betul melihat Kak Ros seperti bicara dengan
daun-daun. Tetapi ah, bukankah bisa saja kalau aku cuma salah lihat?
Turun
dari kamar (merupakan bagian dari paviliun) ke lantai satu, lalu melangkah
menuju pintu pagar (yang tak begitu jauh dari Kak Ros) di samping taman, aku
tak bisa menahan diri untuk tak lebih memerhatikan perempuan itu. Dan tidak, ia
tidak tengah bicara. Mulutnya memang agak sedikit terbuka. Ataukah sudah? Dan
oh, ia memang tengah mengutip memindahkan serangga. Sangat hati-hati. Sangat
lembut. Ah, sungguh halus. Tiba-tiba ia menoleh, dan kami bersitatap. Cepat aku
tersenyum. Ia membalas. Matanya, matanya.
***
Sampai
di ruang seminar, di lantai empat sebuah hotel, aku tak bisa fokus pada topik
yang disampaikan pemakalah. Entah kenapa, mata itu, sorot mata Kak Ros, bagai
terus terbayang di kepalaku. Ada apa ini? Ada apa dengan diriku? Tidak, ini
bukan debar, ini bukan soal rasa yang digodakan Ben. Sorot itu, sangat lembut
(atau sangat tenang?), tetapi…
Sampai
istirahat siang, sampai kemudian masuk lagi, masih juga pikiranku ke mata itu.
Tetapi untunglah, saat istirahat sore, aku tenggelam dalam obrolan menarik
dengan kenalan baru. Seorang penyair, sastrawan setempat. Mulanya kami
bercerita tentang tempat-tempat menarik di kota ini. Saat obrolan beralih ke
hal-hal lebih khas, lebih spesifik, aku mendapat pengetahuan tentang sesuatu:
papaitan.
Papaitan?
Ya, benar, nama daun juga. Daun yang kata si teman bisa diramu untuk mengobati
tipus, TBC, dan darah tinggi. Ah, sayang ia tak tahu nama Indonesianya, atau
nama dalam bahasa daerah lain. Dari gambaran yang ia berikan, daun itu
mirip-mirip sembung. Tetapi tentu bukan sembung, karena sembung (yang nama
latinnya blumea balsamifera) manfaatnya beda: mengobati diare, malaria, dan
jantung.
Kuminta
ia bertanya ke sesama peserta seminar dari Tanjungpinang, tetapi tetap tak ada
yang tahu. ”Eh, kenapa kau begitu peduli pada daun?” tanyanya heran.
Kutatap
wajahnya. Berkelebat wajah Ben. Pertanyaan tolol. Hih, kenapa ada tolol di mana-mana.
Harusnya aku yang bertanya, kenapa mereka tak peduli daun: sumber hidup mereka,
asal kalori mereka. Semua tanaman, daun-daun yang kupelihara itu, bahkan bisa
menyelamatkan mereka dari penyakit apa pun. Dan mendadak, kembali aku terbayang
Kak Ros. Lembutnya. Halusnya. Dan betapa ia tentu menangis setiap melihat
daun-daun dirambah, pohon-pohon ditebas. Tetapi, tetapi, matanya…
Kembali
aku disergap, oleh mata itu. Sampai saat seminar selesai, sampai orang-orang
tetap belum bubar walau harusnya sudah istirahat karena mesti bersiap-siap
untuk pagelaran seni nanti malam. Aneh, aku seperti tak sabar. Orang-orang
tetap masih belum pulang saat kuputuskan meninggalkan ruang seminar.
Ben
tentu juga belum pulang, aku tahu. Tetapi ini tak ada urusan dengan
Ben. Masih di balik pagar, saat kulihat sosok Kak Ros di taman. Ya, aku tahu,
perempuan itu akan kembali ada di taman pada sore jam-jam segini. Tetapi, saat
aku sudah membuka pintu pagar dan sudah pula melangkah ke dalam, sosok Kak Ros
bergeming. Ia tetap dalam posisi itu: menunduk, seperti terpaku, menatap ke
rimbun daun suruhan di ujung kakinya.
Merasa
heran, mataku ikut memerhatikan apa yang ia tatap. Tak ada yang aneh pada
rimbun daun suruhan itu. Eh, ada. Beberapa batangnya yang lunak tampak seperti
patah. Mungkin aku ikut tertegun. Sejenak. Saat aku akan meneruskan langkah, ia baru sadar
akan kehadiranku dan mengangkat wajah.
Kami
bersitatap.
Mata
itu…
”Kucing.
Kucing itu lagi. Telah beberapa kali ia mematahkan daun-daunku.”
***
Besoknya,
Sabtu. Hari keempat aku di sini, hari ketiga seminar sekaligus penutupan. Hanya
sebentar aku di ruang seminar, dan setelah meminta dengan sedikit membujuk, si
kenalan tolol kemarin bersedia mengantarku mencari memperlihatkan seperti apa
wujud daun papaitan.
Namun,
tak setiap waktu kita punya hari yang baik. Setelah mencari ke mana-mana,
bahkan juga ke tukang obat tradisional—mereka menyebutnya bomo, yang menurut si
teman biasa menggunakan daun itu, agaknya aku harus menerima kenyataan daun
papaitan mungkin hanya kutemukan di kesempatan lain. Lagipula, ini sudah hampir
sore. Jelas sekali terlihat kecemasan di wajah si teman. Rautnya seolah nyaris
berkata, ”Kenapa daun bisa begitu lebih penting bagi kau ketimbang seminar?”
Hih,
tentu saja lebih penting. Apalagi dibanding semacam seminar. Sastra itu dunia
kreatif, dunia melakukan. Maka yang paling penting ya menulis, bukan berkumpul-kumpul
membuat rumusan. Ah, penyair. Kau mestinya tahu: betapa indah yang diungkapkan
kata, dan betapa buruk pengarangnya.
Dan
memang, sampai kembali di lokasi seminar, acara sudah hampir selesai.
Membayangkan orang-orang berkumpul tetapi enggan pulang—seperti kemarin itu,
tiba-tiba kembali berkelebat wajah Kak Ros. Dan mendadak, tiba-tiba pula,
melintas pikiran itu: kenapa aku tak coba menanyakan daun papaitan kepada Kak
Ros? Ah, kenapa aku sampai lupa ada seseorang yang sangat mungkin tahu, tak jauh-jauh
dariku, dan seseorang itu justru orang yang tak lepas-lepas dari kepalaku.
Bergegas
aku pulang. Dan karena ini jam-jam yang lebih kurang sama dengan saat aku
pulang kemarin, kukira aku juga bakal segera menemukan Kak Ros di taman itu.
Tetapi, ternyata tidak. Kulayangkan pandang ke atas rumah. Juga seperti kosong.
Akan kulangkahkan kaki menaiki teras, menuju pintu depan, saat kudengar
lengking suara kucing dari halaman samping.
Lengking
yang aneh. Seperti gerung ngeong keras, lalu tiba-tiba terhenti. Ada
pula suara seperti pukulan (atau tumbukan?) beruntun, lalu satu-satu.
Segera
aku bergerak, melangkah ke situ. Dan oh, betapa aku terkejut. Di situ, di bawah
teras halaman samping, pemandangan itu menyambutku.
Kepala
seekor kucing, nyaris gepeng, menjulur dari karung goni. Kedua tangan Kak Ros
terangkat, memegang sebongkah batu besar, siap diempaskan kembali ke kepala si
kucing.
Tangan
itu terhenti.
Kak Ros
menatapku.
Mata
itu. Mata itu. Baru aku tahu. Bukan lembut bukan tenang, tetapi dingin. Sangat
dingin. Membuatku kini menggigil.
***
Tanjungpinang,
30 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar