Kunang-Kunang dalam Bir
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan
itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti
segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi
getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia
sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang
menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak
lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya
masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada.
Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu
mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini
terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just
called to say I love you….
Tapi
mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak
membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan
kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya.
Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang
seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi,
segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia
kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti
malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir
yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya:
semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga
perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah
berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih
berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau
dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya
masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika
ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang
kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang,
yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah
menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua
anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu.
Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor
kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang
hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar
dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di
pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang
beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam.
Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih
terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas
bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba
muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah
terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir,
ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian
kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar
bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda
tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka
imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari
kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia
menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan
memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya
kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti
kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas
birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi
teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya
sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah
ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya
kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu
membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau
merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar.
Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan
dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus
diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu
berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah
selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa
menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya.
Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai
mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia
pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai
pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?”
Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam
botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu
bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita
tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita
tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah
denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena
itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa
memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau
cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu
benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak
menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang
mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam
berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia
tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor
kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa
kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas
di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih
mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang
pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan
pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya
sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata
sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe
yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir.
Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini
gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya.
Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih
terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini
memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan
kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja
menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk.
Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap
malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah
malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan
membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam
pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada
kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir
bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan
kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah
mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas
yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe.
Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di
gelas bir yang telah kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar