Lebih Kuat dari Mati
Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada
hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah
sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat,
segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan.
Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di
sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di
malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.
Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa
menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika
urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan
meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati,
aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja.
Jadi bisa benar bisa tidak.”
”Bisa benar bisa tidak?”
”Ya, begitulah!”
Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur
hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV
dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27
tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya?
Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati
apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak.
Atau menonton siaran sepak bola dini hari.
Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang
lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang
dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma
memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha,
anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya,
barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang
membuat aku ingin menulis cerita ini.
II
Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si
dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit
yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari
itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja,
keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan
ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah.
Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku
yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.
”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.
”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.
Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”
Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2
tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang
telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda
rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu
rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena
ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:
”Kau harus kontrol, Nuk?”
”Kontrol?”
”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”
Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya
memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan
yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika
kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita
punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan
ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau
tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….”
Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata
tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang
berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa
berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan.
Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang
bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini.
Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja.
III
Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si
dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga
jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi.
Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa
kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga
kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan
apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak
bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya
matilah!
Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3
bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian
puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup.
Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki
yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk
memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana
kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi.
Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada
lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya
tetap saja ruwet. Dan macet melulu.
Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa
berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan
memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan
ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan
yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui
bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan
sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan
ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.
Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu,
ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di
kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan
keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang
menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku
ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh
pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu
jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.
Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu
tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko,
Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah
matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak.
Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik
main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada
mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan
kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti
bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada
yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip
menukik.
Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku
pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku
berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun
dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan
nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa
kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku
tanggung. Aku tanggung!
IV
”Pak De, mau ke mana?”
”Ikut?”
”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”
Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di
suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga
adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang
telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah
divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang
ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki,
nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.
Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para
tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu
memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa
rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa
keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua
yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga
telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!
”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”
V
Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan),
berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada
hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan
sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga
begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku
senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak
waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan
umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih.
Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal,
baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana
pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!”
Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….
(Gresik, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar