Penari Hujan
”Aku akan selalu ingat kamu saat hujan.”
”Kenapa?”
”Karena kita sering menari bersama hujan.”
”Hanya itu alasanmu?”
”Bukan, karena kamu perempuan hujan.”
”Maksudmu?”
”Hujan dan kamu adalah cintaku…”
”Kenapa?”
”Karena kita sering menari bersama hujan.”
”Hanya itu alasanmu?”
”Bukan, karena kamu perempuan hujan.”
”Maksudmu?”
”Hujan dan kamu adalah cintaku…”
Lelaki itu datang dari
kabut di satu sore yang mendung. Di antara detik suara gerimis dan leleh
keringat yang bercampur dengan sengau napas yang mengeluarkan asap seperti naga
yang kelelahan. Lelaki itu menyimpan mata yang aneh. Mata yang selalu murung
meski urat-urat di sekitar mulutnya tertarik ke atas untuk mengukir sepenggal
tawa. Mata itu membutuhkan kemampuan ekstra jenius untuk mengurai satu per satu
sel-sel makna di dalamnya. Aku melihat Siwa sedang tidak menari di mata itu.
Mata yang marah. Mata yang diam. Mata itu membutuhkan istirahat dari
pertanyaan.
”Aku belum pernah ke tempat ini.”
”Aku juga. Eh tapi orangtua kamu tinggal di kota itu kan?”
”Aku juga. Eh tapi orangtua kamu tinggal di kota itu kan?”
Percakapan biasa dari
sebuah pertemuan tampak biasa. Kami tidak begitu mengenal satu sama lain pada
awalnya. Tapi aku merasa lelaki itu telah ada dalam tubuhku beratus-ratus tahun
yang lalu. Aku tahu sekali pertemuan itu akan terjadi dan entah kenapa aku percaya
sejak awal bahwa dia selalu mencariku selama ini. Mata itu bicara. Mata itu
merindukan kedatanganku. Mata itu tertawa memandangku.
”Kamu seperti orang patah hati deh…”
” Memang. Kamu juga seperti orang marah…”
”Memang. Jadi kita sama- sama orang cacat neh?”
”Cacat?”
” Iya, cacat emosi.”
” Memang. Kamu juga seperti orang marah…”
”Memang. Jadi kita sama- sama orang cacat neh?”
”Cacat?”
” Iya, cacat emosi.”
Hujan sering turun
dalam di gelap atau di pagi dengan kabut menghebat. Kami bicara banyak dalam
kata, tapi juga kami bicara banyak antara mata. Kami sering tertawa melihat
hujan yang menari seperti tarian Siwa. Kami melihat hujan yang riang. Hujan yang tertawa. Aku sangat suka hujan karena lelaki itu selalu tertawa
saat hujan. Kami bermain air seperti kanak-kanak yang melihat dewi rembulan.
Tangan kami menengadah ke langit sambil tubuh kami berputar mengikuti irama hujan.
Kami menyebutnya tarian hujan dan aku memanggil lelaki itu si Penari Hujan. Aku
dan Penari Hujan pun bercinta di bawah hujan.
” Hujan itu indah.”
” Kupu-kupu juga indah, kamu tahu kan aku suka kupu-kupu?”
” Hujan itu ajaib.”
” Cinta juga ajaib.”
” Hujan itu tarian semesta.”
” Kamu hadiah semesta.”
” Aku mencintaimu…”
” Kupu-kupu juga indah, kamu tahu kan aku suka kupu-kupu?”
” Hujan itu ajaib.”
” Cinta juga ajaib.”
” Hujan itu tarian semesta.”
” Kamu hadiah semesta.”
” Aku mencintaimu…”
Cinta itu seperti
hujan. Sering meruah tiba-tiba. Menyisakan warna-warna di langit bernama
pelangi. Penari Hujan sering berdiri di depan pintu menatap hujan. Bibirnya
terkatup rapat. Mata kecilnya berkejap-kejap menghalau air yang mendesak
keluar. Aneh, mengapa tidak ditumpahkan saja air di matanya sehingga berbaur
bersama air hujan yang dicintainya itu? Mata itu ketakutan akan kesendirian.
Sunyi yang mengentak dan merongga ke sudut hitam hatinya. Sunyi itu dia sebut
hantu. Ah, bukankan hantu itu hanya ada di kepala Sayangku? Penari Hujan takut
hantu bernama Sunyi.
”Perempuan, kamu mencintaiku?”
” Mengapa kamu tanya itu? Kita sering menari bersama hujan kan?”
”Kamu mencintaiku?”
” Seperti katamu, hujan dan kamu adalah cinta.”
”Cinta… Sejatikah cintamu?”
”Pertanyaan yang aneh. Cinta sejati, cinta murni, Cinta palsu, Cinta bohong-bohongan? Apa bedanya?”
” Mengapa kamu tanya itu? Kita sering menari bersama hujan kan?”
”Kamu mencintaiku?”
” Seperti katamu, hujan dan kamu adalah cinta.”
”Cinta… Sejatikah cintamu?”
”Pertanyaan yang aneh. Cinta sejati, cinta murni, Cinta palsu, Cinta bohong-bohongan? Apa bedanya?”
Selalu pertanyaan
tentang cinta tidak pernah selesai. Semua selalu mencari dan bertanya tentang
cinta sejati. Adakah cinta sejati itu? Ah, Penari Hujan cinta bagiku selalu
sejati dan pertama. Karena setiap cinta yang kubuat selalu satu-satunya dan
pertama kali kuberikan ke lelaki yang kujatuhcintai. Satu cinta dan cinta
lainnya tidak pernah sama. Mungkin mirip-mirip tapi tidak ada satu pun yang
sama persis. Cinta yang kupunya bagiku selalu adi busana, cinta yang dibuat
tangan oleh perancangnya. Bukan cinta pakaian jadi buatan pabrik konveksi.
Massal dan seragam. Cinta itu selalu sejati karena tidak pernah dirancang kapan
jatuhnya dan kapan hilangnya. Aku selalu merenda cintaku dengan hati dan jiwaku
untuk semua lelaki yang beruntung membuatku mau merenda cinta itu. Cinta
untukku selalu menyanyikan keindahan, jika ada tangis dan air mata itu hanya
para ego yang terluka. Egoku selalu terluka karena sekarang aku selalu
menangis.
”Kamu mau tinggal bersamaku selamanya di sini?”
” …”
”Mengapa kamu diam?”
”Aku ingin mengejar asal pelangi itu. Mau ikut?”
”Kamu tidak mencintaiku? Mengapa ingin pergi?”
”Mengejar pelangi dan cintaku tidak ada hubungannya.”
”Tapi kamu akan meninggalkanku.”
”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu sudah ada dalam hatiku, dalam tubuhku.”
”Kamu jahat. Kamu akan pergi meninggalkanku.”
”Maksudmu kamu mau tubuhku selalu ada bersamamu? Mana yang kamu inginkan dariku: tubuh ini bersamamu atau hatiku bersamamu?”
”Huh, kamu lebih mencintai negeri pelangimu daripada aku”
” …”
”Mengapa kamu diam?”
”Aku ingin mengejar asal pelangi itu. Mau ikut?”
”Kamu tidak mencintaiku? Mengapa ingin pergi?”
”Mengejar pelangi dan cintaku tidak ada hubungannya.”
”Tapi kamu akan meninggalkanku.”
”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu sudah ada dalam hatiku, dalam tubuhku.”
”Kamu jahat. Kamu akan pergi meninggalkanku.”
”Maksudmu kamu mau tubuhku selalu ada bersamamu? Mana yang kamu inginkan dariku: tubuh ini bersamamu atau hatiku bersamamu?”
”Huh, kamu lebih mencintai negeri pelangimu daripada aku”
Lelaki itu tidak
pernah tahu, aku hidup dari pecahan-pecahan puzzle mimpiku. Udara setiap pagi
yang kuhirup mengembuskan satu puzzle baru yang harus kutata agar menjadi mimpi
utuh. Mungkin mimpi itu tidak akan pernah menjadi kenyataan tapi dengan membuat
keping-keping puzzle paling tidak aku punya semangat menyusunnya. Kamu tidak pernah mengerti di setiap keping puzzle itu ada kamu, Sayangku.
Tidakkah itu cukup bagimu? Kita sudah ada sejak beratus tahun lalu dan apa yang
kita punya itu tidak akan pernah hilang dan mati. Selalu ada di tempatnya.
Selalu ada di sana.
”Datanglah lebaran nanti, aku ingin mengenalkanmu ke keluargaku. Aku ingin
menikahimu.”
”Haruskah?”
”Bukankah kamu mencintaiku. Kamu bilang kamu mau jadi istriku. Gimana sih?”
”Aku kan sudah bilang aku ingin ke negeri pelangi dulu. Bukankah kita sudah bicarakan hal ini?”
”Aku benar-benar ingin kamu datang Lebaran nanti. Aku tunggu kamu. Ibuku sayang kamu”
”Aku juga sayang ibumu”
”Haruskah?”
”Bukankah kamu mencintaiku. Kamu bilang kamu mau jadi istriku. Gimana sih?”
”Aku kan sudah bilang aku ingin ke negeri pelangi dulu. Bukankah kita sudah bicarakan hal ini?”
”Aku benar-benar ingin kamu datang Lebaran nanti. Aku tunggu kamu. Ibuku sayang kamu”
”Aku juga sayang ibumu”
…
Lelaki itu terus
menunggu. Hingga dia tahu bahwa perempuan hujannya telah pergi ke Negeri
Pelangi. Saat itu juga dia berhenti menari dan membenci hujan. Setiap hujan
tiba dia selalu memaki langit yang memberi warna abu-abu yang pernah sangat dia
suka. Air hujan membuat kaki dan tangannya membeku. Tak lagi mampu menarikan
tarian semesta seperti ketika Tamino bertemu Pamina, sepasang kekasih di Magic
Flute, opera terakhir Mozart. Derap kaki menari di atas bumi telah disimpannya,
dengan satu warna merah di dada.
…
Waktu menyimpan
misterinya sendiri.
Waktu seperti pendulum,
yang selalu kembali ke tempat di mana kita mengayunkannya. Kita pun akan selalu bertemu di tempat di mana kita akan mulai
…
Dear Penari Hujan
kekasihku…
Saat kamu membaca
suratku, aku sudah tidak lagi di Negeri Pelangi. Ternyata Negeri Cahaya lebih
memikatku. Negeri di mana waktu seolah berhenti berdetak. Waktu yang seperti
bunyi jantung kita sendiri. Bunyi itu merenda mimpi, harapan dan juga cinta.
Sungguh, kamu mungkin tidak akan pernah mengerti aku dan mungkin tidak akan
pernah mengerti selama hidupmu tentang semua mimpiku. Tetapi kekasihku kamu
harus mengerti bahwa dalam setiap langkahku dan napasku selalu ada
tarian-tarian hujanmu. Tarian yang berdentam dengan irama terindah. Bunyi itu
begitu merdu, para pemetik harpa di surga pun akan iri mendengarnya. Karena
tarian hujanmu adalah gerak semesta yang berasal dari jiwamu. Kamu masih sering
menari ketika hujan tiba bukan sayangku? Tarian hujan itu bukan untukku atau
bukan untuk orang-orang yang kamu cintai. Tetapi tarian itu untuk dirimu
sendiri. Kamu hidup dari tarian itu. Gerakkan kaki dan tanganmu lagi sayangku. Menarilah.
Ikuti bunyi terindah dari hatimu. Kelak, pada satu hujan di satu senja, di mana
langit begitu jingga dengan semburat keputihan, aku berjanji akan selalu
datang. Jangan pernah bertanya lagi tentang cintaku. Karena
cintaku itu seperti angin. Tidak ada warna dan bentuknya tetapi kamu selalu
akan bisa merasakannya. Jaga dirimu selalu baik-baik sayangku. Hujan selalu
musik terindah dalam tarian-tarian kita. Ada pelukan dan ciumanku dari tempat tersepi di dunia…di hatiku…
Selalu mencintaimu
dengan hidupku
Perempuan Hujanmu
…
Surat itu diterimanya
sehari setelah kelahiran anak pertamanya. Bayi perempuan yang cantik. Perempuan
kecil itu lahir di sebuah hujan yang aneh di akhir bulan Juli. Hujan seperti
tanpa henti. Hujan itu seperti pukulan-pukulan tabla dan sitar para pemusik
Siwa ketika dia mulai menggerakkan tangan dan kakinya di atas semesta. Lelaki sejenak ragu. Tetapi tangan dan kakinya seperti tanpa tuan terus
bergerak. Tanpa peduli teriakan istrinya dan tangis bayinya, lelaki itu berlari
keluar. Ditengadahkannya kedua tangannya ke langit abu-abu dengan sedikit
semburat putih. Air hujan sangat deras mengguyur bumi, bau tanah kering yang
meranggas begitu kental ketika air itu menyentuhnya. Petir pun berkilat seperti
suara perkusi para pemusik samba seolah tertawa riang menyambut kembalinya
lelaki penyuka hujan itu. Bumi pun bersorak ketika kaki lelaki itu menjejakkan
kembali di atas tubuhnya dan meliukkan kembali tarian-tarian semestanya.
…
Sebuah sore yang indah.
….
Perempuan Hujanku
Terima kasih untuk
suratmu. Kamu benar, tarian hujan itu adalah hidupku. Aku begitu mencintai
tarian itu lebih dari apa pun di dunia ini. Ketika anak perempuanku lahir, aku
melihat matanya seperti matamu. Mata yang mampu membuatku kembali menari. Aku
begitu bahagia bisa menari lagi. Hujan ternyata adalah diriku dan tarian adalah
napasku. Perempuanku, aku akan selalu mengingat setiap langit memerah saat
menjelang gelap. Senja selalu seperti bisikanmu di saat aku begitu lelah. Aku
akan selalu tahu kamu mencintaiku setiap angin menerpa wajahku. Kamu benar,
cinta itu selalu ada di sana, bersama waktu yang melahirkannya. Perempuanku,
kamu harus janji selalu bahagia ya? Sungguh, aku berjanji akan selalu menari
lagi. Mencintaimu dalam diamku
Lelaki Hujanmu
…
Kebahagiaan itu
ternyata seperti sebuah ciuman. Akan begitu menyenangkan ketika kita
membaginya.
Hujan dan lelaki itu
adalah bahagia.
Ubud,
Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar