Karangan Bunga dari Menteri
Belum pernah Siti begitu
empet seperti hari ini.
”Pokoknya gue empet
ngerti nggak? Empeeeeeeet banget!”
”Kenape emang?” Tanya
Ira, sohibnya.
”Empeeeeeeeeeetttt
banget!!”
Ah elu! Empat-empet-empat-empet
aje dari tadi! Empet kenape Sit?”
Di tengah pesta nikah
putrinya, di gedung pertemuan termewah di Jakarta, Siti merasa perutnya mual.
Tadi pun belum-belum ia sudah tampak seperti mau muntah di wastafel.
”Emang elu bunting Sit?”
Ira main ceplos aje ketika melihatnya.
”Bunting pale lu botak!
Gue ude limapulu, tau?”
”Yeeeeeee! Mane tau elu
termasuk keajaiban dunie!”
Usia 50, hmm, 25 tahun
perkawinan, seperti baru sekarang ia mengenal sisi yang membuatnya bikin muntah
dari suaminya.
”Bikin
muntah?”
”Yo-i!
Bikin muntah….
Hueeeeeekkk!”
Perutnya
mual, begitu mual, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih mual. Meski sebegitu
jauh tiada sesuatu pun yang bisa dimuntahkannya.
”Bagaimana
tidak bikin muntah coba!”
”Nah!
Pegimane?”
***
Waktu
masih SMU, Siti pernah diajari caranya menulis naskah sandiwara dalam eks-kul,
jadi sedikit-sedikit ia bisa menggambarkan adegan di kantor seorang menteri
seperti berikut.
Seorang
sekretaris tua, seorang perempuan dengan seragam pegawai negeri yang seperti sudah
waktunya pensiun, membawa tumpukan surat yang sudah dipilahnya ke ruangan
menteri.
Ia
belum lagi membuka mulut, ketika menteri yang rambutnya tak boleh tertiup angin
itu sudah berujar dengan kesal melihat tumpukan surat tersebut.
”Hmmmhh!
Lagi-lagi undangan kawin?”
”Kan
musim kawin Pak,” sahut sekretaris tua itu dengan cuek. Sudah lima menteri
silih berganti memanfaatkan pengalamannya, sehingga ada kalanya ia memang
seperti ngelunjak.
”Musim
kawin? Jaing kali’!”
Namanya
juga menteri reformasi, doi sudah empet dengan basa-basi. Ia terus saja
mengomel sambil menengok tumpukan kartu undangan yang diserahkan itu. Satu per
satu dilemparkannya dengan kesal.
”Heran,
bukan sanak bukan saudara, bukan sahabat apalagi kerabat, cuma kenal gitu-gitu
aja, kite-kite disuru dateng setiap kali ada yang anaknya kawin. Ngepet bener.
Mereka pikir gue kagak punya kerjaan apa ya? Memang acaranya selalu malam, tapi
justru waktu malam itulah sebenarnya gue bisa ngelembur dengan agak kurang
gangguan. Negeri kayak gini, kalau menteri-menterinya nggak kerja lembur, kapan
bisa mengejar Jepang?”
Perempuan
tua itu tersenyum dingin sembari memungut kartu-kartu undangan pernikahan yang
berserakan di mana-mana.
”Ah,
Bapak itu seperti pura-pura tidak tahu saja….”
Belum
habis tumpukan kartu undangan itu ditengok, sang menteri menaruhnya seperti
setengah melempar ke mejanya yang besar dan penuh tumpukan berkas proyek, yang
tentu saja tidak bisa berjalan jika tidak ditandatanganinya.
”Tidak
tahu apa?”
Menteri
itu memang seperti bertanya, tapi wajahnya tak menunjukkan bahwa ada sesuatu
yang tidak diketahuinya.
”Masa’
Bapak tidak tahu?”
”Coba
Ibu saja yang bilang!”
Perempuan
berseragam pegawai negeri itu hanya tersenyum bijak dan menggeleng. Pengalaman
melayani lima menteri sejak zaman Orde Baru, membuatnya cukup paham perilaku
manusia di sekitar para menteri. Baginya, menteri reformasi ini pun tentunya
tahu belaka, mengapa sebuah acara keluarga seperti pernikahan itu begitu
perlunya dihadiri seorang menteri, bahkan kalau perlu bukan hanya seorang,
melainkan beberapa menteri!
Ia
ingin mengatakan sesuatu, tetapi menteri itu sudah bergegas lari ke toilet
pribadinya. Dari luar perempuan berseragam pegawai negeri itu seperti mendengar
suara orang muntah.
”Hueeeeeeekkkk!!!”
Perempuan
itu masih tetap berada di sana ketika menteri tersebut muncul kembali dengan
mata berair.
”Bapak
muntah?”
Menteri
yang kini rambutnya seperti baru tertiup angin kencang, meski hanya ada angin
dari pendingin udara di ruangan itu, membasuh air di matanya dengan tissue.
”Sayang
sekali tidak,” jawabnya, ”kok masih di sini Bu?”
”Kan
Bapak belum bilang mau menghadiri undangan yang mana.”
”Hadir?
Untuk apa? Cuma foto bersama terus pergi lagi begitu,” kata menteri itu seperti
ngedumel lagi.
“Jadi,
seperti biasanya? Kirim karangan bunga saja?”
”Iyalah.”
”Bapak
tidak ingin tahu siapa-siapa saja yang mengundang?”
”Huh!”
Sekretaris
tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu
menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti. Kadang-kadang orang yang
mengawinkan anak ini tak cukup hanya mengirim undangan, melainkan datang
sendiri melalui segala saluran dan berbagai cara, demi perjuangan untuk
mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak menteri yang terhormat sudi
datang ke acara pernikahan anak mereka.
Apakah
pengantin itu yang telah memohon kepada orangtuanya, agar pokoknya ada seorang
menteri menghadiri pernikahan mereka?
”Jelas
tidak!”
Menteri
itu terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia merasa bersyukur karena sekretaris
tua yang tiba-tiba muncul lagi itu tidak mendengarnya.
”Apa
lagi Bu?”
”Karangan-karangan
bunga untuk semua undangan tadi….”
”Ya
kenapa?”
Menteri
itu melihat sekilas senyum merendahkan dari perempuan berseragam pegawai negeri
tersebut.
”Mau
menggunakan dana apa?”
Menteri
itu menggertakkan gerahamnya.
”Pake
nanya’ lagi!”
***
Seperti
penulis skenario film, Siti bisa membayangkan adegan-adegan selanjutnya.
Pertama
tentu pesanan kepada pembuat karangan bunga. Karangan bunga? Hmm. Maksudnya
tentu bukan ikebana yang artistik karena sentuhan rasa, yang sepintas lalu
sederhana, tetapi mengarahkan pembayangan secara luar biasa. Bukan. Ini
karangan bunga tanpa karangan. Tetap sahih meskipun buruk rupa, karena yang
penting adalah tulisan dengan aksara besar sebagai ucapan selamat dari siapa,
dan dari siapa lagi jika bukan dari Menteri Negara Urusan Kemajuan Negara Bapak
Sarjana Pa.B (Pokoknya Asal Bergelar), yang berbunyi SELAMAT & SUCCESS ATAS
PERNIKAHAN PAIMO & TULKIYEM, putra-putri Bapak Pengoloran Sa.L (Sarjana
Asal Lulus) Direktur PT Sogok bin Komisi & Co.
Lantas
karangan bunga empat persegi panjang yang besar, memble, hanya mengotor-ngotori
dan memakan tempat, boros sekaligus mubazir, dalam jumlah yang banyak dari
segala arah, berbarengan, beriringan, maupun berurutan, akan berdatangan dengan
derap langkah maju tak gentar diiringi genderang penjilatan, genderang
ketakutan untuk disalahkan, dan genderang basa-basi seperti karangan bunga yang
datang dari para menteri, memasuki halaman gedung pernikahan yang telah menjadi
saksi segala kepalsuan, kebohongan, dan kesemuan dunia dari hari ke hari sejak
berfungsi secara resmi.
Satu
per satu karangan bunga itu akan diurutkan di depan atau di samping kiri dan
kanan pintu masuk sesuai urutan kedatangan, agar para tamu resepsi bisa ikut
mengetahui siapa sajakah kiranya yang berada dalam jaringan pergaulan sang
pengundang.
”Bukan
ikut mengetahui,” pikir Siti, ”tapi diarahkan untuk mengetahui. Tepatnya
dipameri. Ya, pamer. Karangan bunga untuk pamer.”
Siti
jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para tamu
melihat sendiri, bahwa memang ada karangan bunga dari menteri. Ini juga berarti
para pengundang seperti berjudi, tanpa risiko kalah sama sekali, karena meski
yang diundang adalah sang menteri, yang datang karangan bunganya pun jadi!
Begitulah,
saat karangan-karangan bunga itu datang, Siti telah mengaturnya sesuai urutan
kedatangan. Ia mencatat dari siapa saja karangan bunga itu datang, karena ia
merasa sepantasnyalah kelak membalasnya dengan ucapan terima kasih, atau
mengusahakan datang jika diundang pihak yang mengirim karangan bunga, atau
setidaknya mengirimkan karangan bunga yang sama-sama buruk dan sama-sama
mengotori seperti itu.
”Ah,
dari Sinta!”
Ternyata
ada juga yang tulus. Mengirim karangan bunga karena merasa dekat dan
betul-betul tidak bisa datang. Sinta, sahabat Siti semasa SMU, mengirim
karangan bunga seperti itu. Dengan terharu, Siti menaruh karangan bunga dari
Sinta di dekat pintu, antara lain juga karena tiba paling awal. Di sana memang
hanya tertulis: dari Sinta; bukan nama-nama dengan embel-embel jabatan, nama
perusahaan atau kementerian dan gelar berderet.
Tiga
karangan bunga dari menteri, karena datangnya cukup siang, berada jauh di urutan
belakang, nyaris di dekat pintu masuk ke tempat parkir di lantai dasar. Siti
tentu saja tahu suaminya telah mengundang tiga orang menteri, yang
proyek-proyek kementeriannya sedang ditangani perusahaan suaminya itu. Suaminya
hanya kenal baik dengan para pembantu menteri tersebut, meski hanya tanda
tangan menteri dapat membuat proyeknya menggelinding. Tentu pernah juga mereka
berdua berada dalam suatu rapat bersama orang-orang lain, tetapi sudah jelas
bahwa menteri yang mana pun bukanlah kawan apalagi sahabat dari suaminya itu.
Sama sekali bukan.
Maka,
dalam pesta pernikahan putri mereka, bagi Siti pun karangan bunga dari menteri
itu tidak harus lebih istimewa dari karangan bunga lainnya.
Namun
ketika suaminya datang memeriksa, Siti terpana melihat perilakunya.
Itulah,
setelah 25 tahun pernikahan, masih ada yang ternyata belum dikenalnya.
Suaminya,
yang agak gusar melihat tiga karangan bunga dari tiga menteri saling terpencar
dan berada jauh dari pintu masuk, memerintahkan sejumlah pekerja untuk
mengambilnya. Ia mengawasi sendiri, agar terjamin bahwa ketika melewati pintu
masuk, setiap tamu yang datang akan menyaksikan betapa terdapat kiriman
karangan bunga dari tiga menteri.
”Yang
ini ditaruh di mana Pak?”
Siti
melihat seorang pekerja bertanya tentang karangan bunga dari Sinta, sahabatnya
yang sederhana, cukup sederhana untuk mengira karangan bunga empat persegi
panjang seperti itu indah, dan pasti telah menyisihkan uang belanja agar dapat
mengirimkan karangan bunga itu kepadanya.
”Terserahlah
di mana! Pokoknya jangan di sini!”
Siti
melihat suaminya dari jauh. Suaminya juga minta dipotret di depan ketiga karangan
bunga itu!
Ia
merasa mau muntah.
”Hueeeeeeeeeekkkk!!!”
***
Itulah
yang terjadi saat Ira bertanya.
”Emang
elu bunting, Sit?”
Kampung Utan, Sabtu 3 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar