Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara
Dewa Made Dinaya sudah menduga di mana ia akan berakhir. Di tempat ini
dengan posisi seperti ini.
Inilah alasan mengapa Dinaya dulu selalu menolak untuk meneruskan
sekolahnya. Betapapun ia menyukai ilmu yang serasa melambungkannya ke cakrawala
dunia, ia tahu semua itu akan sia-sia belaka. Ketika kedua orangtuanya
memintanya untuk meneruskan kuliahnya, Dinaya menolak mentah-mentah anjuran
itu.
Dinaya merasa tidak penting baginya untuk melanjutkan kuliah. Perkuliahan
akan membuka pikirannya dan membuatnya mengembara ke tempat-tempat yang jauh. Buat apa? Toh pada akhirnya ia akan kembali ke tempat di mana ia
berasal. Di sini, dengan posisi seperti ini.
Dinaya menyeka peluh yang membasahi pipinya. Tubuhnya sudah terasa begitu
lengket. Kedua kakinya pegal luar biasa. Mukanya tentu saja terlihat sangat
berantakan. Dinaya tidak ingat lagi berapa banyak pekerjaan yang sudah
dikerjakannya sejak subuh tadi. Begitu satu pekerjaan selesai, pekerjaan
lainnya menunggu. Begitu seterusnya seolah tidak ada habisnya.
Dinaya belum sempat mendudukkan pantatnya barang sejenak pun sejak tadi
pagi. Pekerjaan dapur dan tetek bengek rumah tangga ini seolah memutarnya
seperti gasing yang tidak tahu kapan akan berhenti.
Suaminya, Gusti Nyoman Ghana, tampaknya baru bangun. Dinaya mendengar suara
gayung menciduk air di kamar mandi. Ghana pasti sedang bersiap-siap untuk
berangkat kerja. Sebentar lagi, ia akan mengenakan seragam coklatnya dan
berangkat ke Denpasar.
Gusti Nyoman seorang pegawai negeri. Pekerjaan yang selalu membuat suaminya
itu bisa membusungkan dada dan menegakkan bahu. Sebaliknya bagi Dinaya,
pekerjaan tidak lebih hanya kulit. Yang penting adalah bagaimana orang itu
menjalankan pekerjaannya.
Satu hal yang tidak dimengerti Dinaya adalah suaminya tidak pernah
betul-betul mengajaknya bicara. Ghana memang sering berkata-kata, namun
kata-kata itu hanya membutuhkan pendengar, bukan lawan bicara. Ghana lebih
sering terlihat seperti bermonolog, berbicara dan kemudian memberikan komentar
sendiri atas pembicaraannya. Di manakah posisi Dinaya pada saat itu, mungkin ia
hanya menjadi cermin yang memantulkan bayangan suaminya.
Ghana juga sering terlihat terlalu sibuk dengan kegemarannya sendiri. Ghana betah seharian dengan permainan play
station-nya dan tidak memedulikan apa pun. Secangkir kopi dan
sepiring pisang goreng selalu menemaninya mengerjakan kegemarannya itu. Apakah
laki-laki ini betul-betul membutuhkan seorang istri?
Dinaya tidak ingat kapan terakhir ia betul-betul bicara dengan suaminya.
Apakah Ghana mewakili kemiripan sifat yang dimiliki oleh sebagian besar orang
di kampung mereka? Lebih suka menutup mulutnya rapat-rapat dan pelit
mengucapkan kata-kata. Bukankah bicara bisa memekarkan pikiranmu?
Ah sudahlah, tidak ada gunanya ia mengeluh tentang laki-laki yang sudah
dipilihnya itu. Laki-laki yang dipilihkan Biyang untuknya dan Dinaya
menerimanya ketika ia merasa putus asa untuk menemukan seorang kekasih pada
saat batang usianya semakin tinggi. Pernikahan ini mungkin hanya menjadi tempat
berlindung baginya karena ia takut disebut perawan tua. Dulu, Dinaya tidak
pernah mencintai Ghana. Ternyata makin hari ia makin membenci laki-laki itu.
Masih layakkah apa yang sedang dijalaninya ini disebut sebagai sebuah
pernikahan?
Dinaya menyesal tidak pernah memberi ruang pada perasaannya sendiri.
Seharusnya ia biarkan perasaan itu memilih laki-laki yang akan menjadi
pendamping hidupnya. Perasaan cinta ternyata hanya tumbuh sekali dalam
hidupnya. Cinta itu untuk teman kuliahnya di Malang. Seorang laki-laki Jawa.
Cinta itu terpaksa ia telan bulat-bulat ke dalam kerongkongan dan membiarkannya
tersekap di ruang sempit di dalam ususnya.
Biyang dan Aji tidak pernah bisa menerima laki-laki Jawa menjadi suami Dinaya.
Mereka tidak dapat menerima segala kerumitan yang mungkin terjadi bila ia
menikahi orang yang begitu berbeda latar belakangnya. Ratusan pertanyaan pun
bermunculan di benak mereka dan jawaban dari ratusan pertanyaan itu adalah
tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin sebanyak seratus kali. Dinaya
seolah dibenturkan dengan dinding yang mahatebal.
Namun, di balik itu, bagi Dinaya, kedua orangtuanya selalu memiliki sikap
yang mendua. Mereka begitu terobsesi menambahkan huruf SH di belakang namanya seperti
anak kecil yang begitu menginginkan mainan kegemarannya. Biyang dan Aji terus
mendorongnya rajin belajar dan meraih gelar sarjana hukum. Waktu itu, Dinaya
mengira kedua orangtuanya memang sungguh-sungguh berharap ia akan menjadi
perempuan yang intelek. Kini ia tahu, apa yang Biyang dan Aji lakukan tidak
semata-mata demi gengsi bahwa anak-anak mereka adalah orang yang berpendidikan.
Mereka sendiri tidak siap menerima anak-anaknya yang berubah karena pendidikan
yang telah mereka pelajari.
Biyang dan Aji sangat menginginkan gelar itu di belakang nama Dinaya, namun
mereka tidak ingin ia lebih pintar dari yang mereka kenal dahulu. Dinaya yang
masih bocah dan mengenakan seragam sekolah dasarnya. Pada saat itu Biyang dan
Aji sering memarahinya karena belum bisa menulis dan membaca. Mereka selalu
mengenang Dinaya sebagai anak mereka yang itu. Tidakkah mereka tahu bahwa
pengetahuannya sudah jauh melesat ke angkasa? Apakah gelar dapat dipisahkan
dengan ilmu yang dimilikinya?
Tepat seperti dugaannya. Dinaya hanya bisa pasrah ketika keluarganya
menuntut ia membuang semua ilmu yang dimilikinya ke tempat sampah. Kesarjanaan
itu kata mereka hanya membuat Dinaya menjadi perempuan yang tinggi hati. Ia
direnggut dari tempat yang dicintainya dan dipaksa menempati ruang sempit yang
ia rasakan bagaikan penjara. Di sinilah segala kekuatannya dilucuti sehingga
segala bentuk pikiran yang pernah dimilikinya dipaksa hanya bisa meringkuk di
sudut.
Dinaya tahu bahwa suatu saat pikiran itu akan sekarat dan tewas. Dan semua
orang di sekelilingnya malah bersorak dengan segala derita yang dialaminya.
Seolah-olah Dinaya bukan seorang anak manusia. Dinaya selalu ingin
bertanya-tanya dalam hati mengapa laki-laki selalu mendapat pembelaan yang
berlebih-lebih?
”Suamimu memintamu untuk berhenti bekerja, Dinaya. Dia bilang begitu pada Biyang.”
”Kenapa dia tidak bicara langsung pada tiang? Bukankah dia masih punya mulut.”
”Dia takut kamu menjadi marah karena ia tahu kamu perempuan yang keras.”
”Apakah dia memang seorang laki-laki?”
”Kenapa kamu mengatai-ngatai suamimu sendiri?”
”Suami pilihan Biyang tepatnya.”
”Kenapa kamu masih saja suka membangkang seperti dulu. Apa umur belum juga
mendewasakanmu?”
”Menurut tiang Biyang-lah yang belum dewasa di umur Biyang yang sekarang.
Tiang amat mencintai pekerjaan tiang sebagai dosen. Mengapa tiang harus
berhenti? Bukankah tiang bisa membantunya secara ekonomi?”
”Suamimu merasa kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada dirinya. Dia
cemburu pada pekerjaanmu.”
”Laki-laki kurang kerjaan.”
”Belajarlah menghargai suamimu!”
”Bli Gusti yang tidak pernah menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa aku
tidak boleh mengembarakan pikiranku? Apa yang dia inginkan dari aku?”
”Dia ingin kamu lebih banyak di rumah untuk menemaninya, bukannya sibuk
dengan urusanmu di kampus. Lagi pula pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Urusan mebanten saja harus minta
tolong orang lain. Bukankah seorang istri yang seharusnya mengerjakan semua
itu?”
Dinaya hanya mendesah panjang. Ia sama sekali tidak setuju dengan kalimat
terakhir Biyang. Sebuah keluarga yang harus mengerjakan semuanya. Sebuah
keluarga terdiri dari istri dan suami. Mengapa semua orang tidak pernah
berubah? Apakah ketika seorang perempuan dilahirkan ke dunia ia telah terlahir
sebagai manusia atau hanya sebuah barang yang kebetulan bernyawa?
”Bagaimana kalau tiang menolak?”
”Biyang dan seluruh keluarga tidak akan menjadi keluargamu lagi. Biyang
tidak mau anak Biyang menjadi tinggi hati karena pendidikannya.”
”Bukankah Biyang adalah keluarga tiang. Mengapa Biyang malah membela Bli Gusti?”
”Karena kamu sudah menyimpang dari kewajibanmu sebagai istri.”
Dinaya meradang. Namun ditekannya kuat-kuat segala amarah jauh di dasar
hatinya. Bahkan untuk marah saja Dinaya tahu ia tidak memiliki tempat. Biyang
yang dikenalnya sejak bocah tidak pernah berubah. Seorang ibu yang
terus-menerus mengkritik anak perempuannya. Dinaya selalu merasa menjadi anak
yang penuh kesalahan di hadapan Biyang.
Sejak kecil Biyang selalu mengata-ngatai Dinaya dengan kata-kata yang
menghancurkan harga dirinya. Perempuan kok bangun siang. Makan kok belepotan
seperti babi. Itu badan apa gentong air. Mana ada sih laki-laki yang mau
melihat tampangmu. Sekali-kali ke salon dong biar tidak dikira babu. Di hadapan
Biyang, Dinaya merasa menjadi manusia yang paling gagal.
Dinaya tahu ini bukan kesalahan Biyang semata-mata. Barangkali seluruh
cakrawala pikiran Biyang dipenuhi oleh kepercayaan bahwa sumber kebahagiaan
perempuan adalah apabila ia memuaskan kebutuhan laki-laki. Biyang tidak ingin
putrinya gagal memenuhi kewajiban itu. Mungkin itulah satu-satunya yang
dimengerti Biyang mengenai peranan perempuan. Karena Biyang juga pernah
merasakan semua yang Dinaya rasakan.
Bukankah Biyang lahir dan dibesarkan dengan luka batin yang sama di lubuk
hatinya? Sebagai perempuan ia selalu dipandang sebagai barang, sebagai obyek.
Yang menjadi berharga sejauh mana ia bisa memuaskan laki-laki. Hanya saja
Biyang tidak pernah menyadarinya. Ia terus saja menuntut Dinaya untuk mengamini
nilai-nilai yang dipercaya oleh Biyang. Hanya saja bagi Dinaya, ia tidak sudi
mengamini nilai-nilai itu. Sebagai manusia ia merasa berhak diperlakukan sama
dengan laki-laki.
”Baiklah tiang menuruti Biyang sekarang, tapi bukan karena tiang merasa
Biyang benar. Tiang akan berhenti bekerja, tapi jangan harap tiang akan
menghormati Bli Gusti. Pernikahan ini memang masih ada, tapi bagi tiang ini
bukan pernikahan tiang. Tiang sudah mati dalam pernikahan ini. Yang tinggal
hanya raga tiang.”
Wajah Biyang terlihat memerah. Dengusan napasnya terdengar sangat keras.
Dinaya hanya memandangnya dengan mata tenang. Dinaya tahu hanya ketenangannya
yang membuat ia menjadi pemenang.
Hari-hari berikutnya Dinaya memusatkan perhatiannya pada setumpuk pekerjaan
rumah tangga yang harus dikerjakannya. Dinaya bangun subuh dan mulai menyiapkan
masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan layu.
Tepat jam tujuh pagi ia menyiapkan kopi untuk suaminya. Ghana terlihat
menyeruput kopinya dengan begitu nikmat. Tidak pernah ada senyum atau sapa yang
diperlihatkan Dinaya untuk suaminya, namun Ghana kelihatannya tenang-tenang
saja. Dia sibuk mengoceh mengenai pekerjaannya sendiri. Dinaya semakin sadar,
bagi suaminya ia bukanlah seorang istri, namun tak lebih dari perhiasan
rumahnya saja. Perempuan yang akan mengabulkan seluruh mimpi-mimpinya akan
kesempurnaan dan kekuasaan sebagai laki-laki.
Dinaya selalu mengingat dirinya dengan posisi yang sama. Ia dengan mata
kosong memandang ke luar dari jendela dapur. Ia merasa terkurung dalam penjara
yang disediakan untuk perempuan. Seolah dapur menjadi satu-satunya takdir bagi
perempuan sekalipun memasak bukan kegemarannya. Bukankah di luar sana ada
begitu banyak macam warna-warni dunia yang bisa dicoba oleh perempuan.
Namun ia dipaksa berada di tempat yang tidak diinginkannya. Dan ia pun
harus menyediakan waktunya dari subuh hingga malam hari untuk mengosongkan
seluruh energi yang dimilikinya. Semua pekerjaan yang tiada habisnya itu akan
menghampakan dia sehingga tidak akan pernah ada ruang untuk berpikir. Mungkinkah
dunia begitu takut pada pikiran perempuan? Betulkah pikiran perempuan akan
menjelma bom waktu yang akan meledakkan dunia?
Nb: biyang: ibu aji: ayah
tiang: saya bli: kakak/mas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar