Orang Bunian
”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang
bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata
sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik,
di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun,
merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar.
Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di
balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam
kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia
lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang
menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda
semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.
Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak
ceruk, lembah, dan lakuak
(bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil di antara undukan bukit) yang
bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan akar, menghalangi rembes rambat
cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta, tak bisa mengenali atau melihat
apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri atau krosak langkah dan gerung
salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula, di lapis bawah ini, bukannya
tak ada apa yang ia sebut rahasia.
Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba terbentang dunia
terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga adalah cahaya.
Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan pilar-pilar. Di
situlah singgasana, alam jihin
dan lelembut, dunia orang bunian. Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak
boleh menyebut apa-apa. Karena jika bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan,
hidup selamanya di dunia orang bunian.
***
Dunia di balik kabut, dunia mereka para pemburu, dan dunia orang bunian
baginya adalah dunia sendiri-sendiri. Ketiganya punya dan berjalan dalam ruang
waktu masing-masing. Bahkan bagi ninik mamak, tetua kaumnya, setiap alam yang
berbeda dikatakan samo
manjago (saling jaga). Dan sebagai keturunan para peladang yang tak
asing dengan hutan, dunia jihin
dan lelembut, sebetulnya, tentu pula baginya biasa. Berbeda dari
teman-temannya, para pemburu lain, yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil
di sekitar.
Teman-temannya itu, bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di
kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan.
Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang
bersih, gagah, dan terpelihara. Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan
mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari
alam ini. Bukan bagian dari hutan ini. Dan, bila begitu, tidakkah sebenarnya
teman-temannya bukan bagian dari lapis bawah, tempat di mana dirinya juga
berada, salah satu dari tiga dunia?
Tetapi sebetulnya, bukan hanya antara dirinya dan teman-teman pemburu dari
kota-kota kecil sekitar itu saja yang tampak berbeda. Antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu
babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak
sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain
lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran
entah larangan. Tentang orang bunian itu misalnya.
Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan
ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan.
Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun
peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada
yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang
dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang
(atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga
apa yang mereka sebut sumangaik.
Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya
memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang
menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa
jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi
gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah
yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka
untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna,
sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka.
Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan.
Seperti halnya juga di hari itu.
Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia
kenali, sejak malam sampai dini hari, menunjukkan besoknya siang bakal
cemerlang. Malam dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan
air dari pori-pori tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi melekap lama,
menyuruk dalam ke kehangatan sarang, dan buru-buru keluar begitu subuh
menjelang. Waktu yang pendek, jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan
embun dilibas matahari tiba-tiba, babi-babi masih akan berada di perlintasan.
Itulah saat yang tepat. Mereka menyebutnya bakutiko:
babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di hutan.
Jarang sekali mereka bisa memilih buruan. Tapi hari itu sungguh istimewa.
Ada empat ekor babi yang mereka lihat di perlintasan, dan mereka memilih yang
gemuk, betina, besar, seekor induk muda, untuk mereka giring ke lembah. Saat si
babi telah mengarah dan masuk ke jalan setapak yang mereka inginkan,
anjing-anjing pun mereka lepaskan. Dan begitulah anjing-anjing segera
menghambur, memburu. Dan, seperti para anjing itu, mereka pun ikut berlarian
menerobos jalan pintas mengikuti perburuan anjing-anjing. Itulah saat paling
riang, paling tegang, sekaligus paling heboh dalam berburu. Karena
masing-masing mereka, selain bersorak, juga akan berteriak, mengabarkan segala
apa yang mereka lihat kepada para pemburu lain yang mengepung dan memintas dari
arah lain.
”Hoooiii, dia mengarah ke lakuuuaakk!”
”Pinggulnya dikoyak Si Puncooo!”
”Pintas dari Bukit Buraaaii!”
Punco adalah nama salah seekor anjing mereka. Dan rupanya anjing itu berhasil
melukai si babi dan si babi lari ke lakuak.
Bukit Burai adalah undukan beberapa bukit kecil di hutan itu. Bila mereka tak
ingin kehilangan jejak karena banyaknya lakuak,
memang, mereka harus memintas dari bukit itu. Sebelum si babi mencapainya, mereka
harus menghadang lebih dulu.
Dan, saat itulah tiba-tiba lindap. Tiba-tiba gelap. Entah dari mana, gumpal
kabut bagai muncul begitu saja. Apakah bukan kabut? Pada saat cuaca begitu
cerah! Semua bunyi, semua suara, juga jadi senyap. Tak ada teriak, riuh sorak
teman-temannya. Tak terdengar salak, hondoh-posoh anjing-anjing mereka. Ia,
tiba-tiba, juga merasa seolah sendiri. Padahal sebelumnya ia yakin ada beberapa
teman mengikutinya. Apakah karena gelap?
Ia memanggil, tapi tak ada jawaban dari teman-temannya. Ia berteriak, tapi yang membalas hanya gema sunyi suara sendiri. Apakah
teman-temannya telah memilih jalan pintas lain? Mengandalkan naluri, ia
teruskan langkah mengira arah ke Bukit Burai. Entah seratus meter, entah dua
ratus meter, saat tiba-tiba kembali terang. Secepat hilang, secepat itu pula
kembali benderang. Butuh beberapa detik baginya mengenali sekitar, sebelum
kemudian merasa asing. Dunia di sekelilingnya, betapa indah. Pepohon besar
melengkung seperti kubah. Akar-akar membelit, menjalin, seperti tirai
berbaku-pilin. Di antara itu semua, dedaun merumbul dikepung bunga. Beberapa
kuntum mencuat, mendongak, bagai berkilau karena cahaya.
Entah berapa lama ia terpana. Saat sadar, dadanya berdesir: dunia orang
bunian?
Kesadarannya sebetulnya belumlah lengkap, belum sempurna, saat lamat-
lamat ia dengar suara: orang merintih?
Dan, tak butuh lama untuk mencari. Tak jauh darinya, di belakang salah
satu pohon yang melengkung itu, sesosok tubuh tersender ke sebongkah batu. Dan betapa ia sangat terkejut. Seorang perempuan! Perempuan muda. Merintih.
Mengerang. Seperti terluka. Sebelah tangannya membekap pinggul, sebelah yang
lain memegang akar menahan tubuh agar tak jatuh. Memang, di belakang batu itu
menganga jurang.
Belum sempat ia melakukan apa- apa, sesosok lain bergerak, merangkak keluar
dari semak-semak. Dan betapa ia lebih terkejut. Bayi! Seorang bayi!
Ia akan melangkah, bergegas hendak menolong ketika matanya terarah ke bekap
tangan si perempuan. Luka itu! Sobek itu! Pinggul babi yang dikoyak Punco! Kembali
ia sadar. Awas pada diri. Sumangaik.
Entah berapa lama ia tak bersuara. Hanya memandang si perempuan yang
merintih minta tolong dan sosok bayi yang merangkak ke arahnya. Tiba-tiba,
sayup, tapi makin lama semakin jelas, ia dengar suara itu: sorai-sorak,
hondoh-posoh, gonggong salak. Dari ketinggian tempat ia berada, ia bisa melihat
mereka: teman-temannya, bersama anjing-anjing yang menghambur, memburu,
mengejar seekor babi yang tampak telah terluka.
Segera ia sadar. Ada yang salah.
Saat ia bergegas, si perempuan telah melorot. Tangannya tak lagi
berpegang pada akar dan tubuh itu terguling, meluncur ke dalam jurang.
Lama ia terpaku. Dadanya sesak napasnya memburu. Di bawah, sedepa di depan kakinya, si bayi mendongak, menatapnya dengan
mata itu. Mata itu. Mata yang bertahun-tahun—sampai remaja—berusaha ia kenali,
tapi selalu ada kabut yang menutupi.
***
”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki bagai tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata, menarik tatapan dari
mata putrinya. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Menahan desah,
dialihkannya pandang. Lihatlah kini semua berubah. Bukit Burai bagai tak lagi
ada, berganti dengan undukan-undukan tanah pribadi; pepohon bertinggi sedang
yang teratur dan tertata dan vila di sana-sini.
Tiga dunia; dan tiga bagian tubuh, di manakah kini berada? Kalau saja ia
seorang asing, seorang yang darahnya bukan tertumpah di tanah ini, ia yakin
semua akan berlalu dalam lupa. Tak akan ada tempat, bahkan walau tempat itu
sesal terbesar dalam hidupnya. Ia ceritakan semua pada putrinya. Perburuan,
teman-temannya, anjing-anjing, babi-babi, dan terutama orang bunian. Tapi, tak
pernah sanggup ia bercerita tentang seorang ibu muda yang terluka, merintih,
mengerang, yang ia biarkan mati meninggalkan anaknya.
”Ayah?”
Sekilas, kembali ia menatap ke mata putrinya. Tetapi kabut itu, tiga dunia
itu, bagai deras menolak, mendorong ia balik ke alam nyata: segala yang
terbentang di hadapannya. Undukan-undukan itu, pepohonan yang teratur,
vila-vila, Bukit Burai yang berubah. Terbayang pula ladang mereka,
ladang-ladang penduduk sekitar dan kaumnya, yang telah jauh pindah ke lembah.
Orang bunian itu, masih adakah? Sangat ingin ia menjawab: Tidak. Tetapi, lirih,
mulutnya berkata, ”Masih.”
Payakumbuh, 15 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar