Air Matamu, Air Mataku, Air Mata Kita
Ketika
kamu bercerita tentang apa yang dilakukan lelaki tua itu terhadapmu, kita
menangis bersama dalam sebuah kamar bermandikan cahaya. Hujan di luar telah
mengembunkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menggoreskan namaku dan
namamu di permukaannya. Cahaya lampu kendaraan bergerak buram di bawah sana.
Dari gerak cahaya yang lamban dan kadang berhenti, aku tahu kemacetan sedang
terjadi. Hujan selalu menimbulkan kemacetan, tetapi air mata kita telah
melegakan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Dada kita tak jauh beda.
Lelaki
itu kamu panggil Ayah John karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi
anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan farmasi. Dia memperlakukanmu
seperti anak, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya. Dia
memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Menyewakan sebuah rumah
buatmu dengan seorang pembantu dan seorang sopir, tapi dia selalu menjemputmu
dari rumah ke kantor dan mengantarmu dari kantor ke rumah. Sopir hanya bekerja
kalau Ayah John sedang ada tugas keluar daerah, sehingga dengan waktu yang
demikian panjang, sopir menyambi kerja sebagai tukang ojek.
Kalau
ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke Bali,
Yogya, Lombok dan beberapa daerah lainnya di dalam negeri. Keluar, kalian hanya
mengunjungi Singapura, Malaysia dan Thailand karena waktu yang sempit. Namun
Ayah berjanji akan membawamu ke sebuah negara di Eropa nanti. “Aku harus
menabung untuk itu. Yakinlah apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,”
kata Ayah John kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu.
Kamu
pun bahagia, setidaknya sampai saat itu. Ayah John memberikan semua yang tidak
kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu
miliki termasuk kehormatanmu. “Ayah John akan menjadi suamiku. Aku tak peduli
jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Ayah
John.”
Di luar
rumah dia memperlakukan kamu seperti anaknya sendiri. Di dalam rumah
ia memperlakukan kamu seperti istrinya sendiri. Akhirnya kamu hamil sebelum
Ayah John sempat menikahimu. Untuk menenangkanmu dia hanya berjanji segera
menikahimu setelah kesibukannya di kantor selesai. Kamu yakin itu benar adanya
sampai kemudian kamu menemukan beberapa tablet kecil obat peluruh kandungan
dalam mobilnya. Ketika kamu tanyakan, Ayah John berdalih mobilnya dipakai
teman dan obat itu milik temannya. Kamu tidak percaya dan kalian bertengkar
hebat. Saat itulah Ayah John memukul perutmu. Pukulan untuk
pertama kali tapi dilakukan beberapa kali. DIa tak berhenti menangis histeris.
Semakin kencang tangisanmu, semakin keras pukulannya.
“Aku
tidak tahu apakah itu pukulan seorang ayah terhadap anaknya atau pukulan suami
terhadap istrinya. Tapi aku tidak percaya Ayah John melakukan itu.”
Ketika
memeriksakan diri ke dokter kandungan, kamu baru menyadari kandunganmu sudah
hancur. Ternyata kamu sudah meminum banyak obat peluruh kandungan yang
dilarutkan Ayah John dalam minuman kamu, jauh sebelum kamu menemukan sisa obat
itu dalam mobilnya. Dokter mengatakan kamu harus dikuret dan dia bertanya
apakah kamu sudah menikah.
Kamu
mengangguk di tengah kegalauan yang melanda.
“Saya
akan memberi rekomendasi untuk dikuret,” kata dokter itu.
Kamu
pulang bukan saja dengan kandungan yang hancur, tetapi juga hati yang lebur.
Pupus sudah impianmu untuk memiliki anak dari Ayah John. Isi rahimmu
dikosongkan sekosong hatimu. Lalu Ayah John pun pergi darimu tanpa pernah
mengatakan apa pun. Rumah kontrakan tidak dibayar lagi, pembantu pulang kampung
dan supir sepenuhnya bekerja sebagai tukang ojek karena mobil ditarik Ayah
John. Bahkan kemudian kamu pun dikeluarkan dari tempatmu berkerja dengan alasan
yang tidak kamu pahami dan tanpa pesangon. Ayah John tidak pernah menjawab
panggilan teleponmu. Pesan-pesanmu tak pernah ditanggapinya. Semua kemanisan
hidup bersama Ayah John berubah menjadi pahit, lebih pahit dari obat yang
diam-diam dilarutkan Ayah John dalam minumanmu.
Dalam
keputusasaan itu, kamu kembali ingat masih memiliki keluarga. Kamu kembali
kepada keluarga hanya untuk membuat hatimu semakin hancur. Bapak dan ibu
menerimamu kembali tetapi tidak mau turut campur dalam persoalanmu karena sudah
mengingatkan jauh-jauh hari. Mereka bahkan tidak pernah mau mendengarkan
penderitaanmu akibat perlakuan Ayah John karena menganggapmu sudah cukup dewasa
menanggungnya sendiri.
Itu
kata-kata yang pernah kamu ucapkan ketika kamu pergi dari rumah untuk hidup
bersama Ayah John. “Ayah John bukan saja telah membunuh bayiku, tetapi juga
membunuh jiwaku.”
Kamu
mengucapkan itu dengan air mata yang mengalir di pipi sambil menatap air hujan
mengalir di permukaan kaca. Aku memelukmu dari belakang dan mencium pipimu
penuh perasaan. Air mata kita menyatu seperti tubuh kita. Ketika pernyatuan itu
terjadi, bahkan diriku dan dirimu tak bisa membedakan mana air mataku dan mana
air matamu. Keduanya mengalir di pipiku dan di pipimu menjadi air mata kita.
***
Ketika
kamu bercerita tentang apa yang kamu lakukan terhadap lelaki itu, aku menangis
sendiri di dalam kamar yang minim cahaya. Tidak ada hujan di luar sana, tidak
ada kemacetan dan tidak ada kamu di sini. Hanya ada aku, hati yang patah dan
air mata.
Dua
tahun kalian menjalin hubungan, jauh lebih lama dibandingkan denganku yang baru
dua bulan. Dua tahun bukanlah perjalanan cinta terlama yang pernah kamu lewati.
Masa tujuh tahun penuh cinta, tapi dua tahun itulah yang paling berkesan
sepanjang hidupmu.
Di
kamar sama, kita memulai percakapan soal masa lalumu, masa laluku serta masa
depan kita. Kamu tidak bisa datang malam ini karena “ingin mengujungi saudara
yang sakit”. Aku menelpon sabelum kamu berangkat. Kita berecerita tentang aroma
dan lagu, dua hal yang bisa membangkitkan memori ke masa lalu. Aroma dan lagu
mengundang kenangan, kita bersepakat soal itu.
Aku pun
menyemprotkan aroma lemon yang lembut ke seluruh tubuh agar bisa mengingatkanmu
sampai di dalam tidur. Aku ingat aroma tubuhmu saat kita menangis bersama dan
kuyakin itulah kenikmatan terbesar dalam hidupku. Kejadian itu lebih kuat
terpatri bahkan bila dibandingkan dengan desahan kita di kamar mandi.
Setelah
mengucapkan janji untuk tetap mencintaiku, suaramu lenyap dari telinga tetapi
tetap melekat di hatiku. Aku tidak pernah menyangka itulah kata cinta terakhir
yang kudengar darimu. Malam itu aku membawa kerinduanku ke keramaian, berharap
lelah datang dan pulang dengan kantuk yang mengundangmu lebih cepat dalam
impianku.
Sampai
hari berganti dan kamu tak hadir dalam mimpiku, kabar darimu belum juga datang.
Aku harus menghubungimu karena didorong rasa rindu yang tak tertahankan. Panggilan
pertama sampai panggilan yang tidak dapat kuingat tak juga mendapat tanggapan
dari kamu. Aku mengirim pesan dan tidak mendapatkan jawaban. Haruskah kudatangi
rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi?
Kamu
pernah mengundangku ke rumah dan memperkenalkanku kepada orang tuamu dan ketiga
adik lelakimu. Kamu anak perempuan satu-satunya dan sebagai anak sulung
orangtuamu mengharapkan kamu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik. Kamu
diharapkan menjadi tulang punggung keluarga bukan tumpuan tulang selangka Ayah
John. Itulah kedatanganku yang pertama sekaligus yang terakhir. Kamu melarangku
datang lagi karena kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita. “Bagaimana
mereka bisa tahu hubungan kita? Kamu menceritakannya? Bukankan kita sudah
sepakat akan merahasiakan sampai mereka dan dunia tahu dengan sendirinya?”
“Aku
masih ingat dengan kesepakatan itu. Tapi aku tak ingin mereka tahu lebih
cepat.”
“Mereka
takkan tahu kalau kamu tidak menceritakannya. Keluargamu mengira kita hanya
sahabat. Dunia juga mengira kita sepasang sahabat.”
“Aku
bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi tidak dengan mataku.”
Aku
menyukai kekhawatiranmu itu dan percaya memang karena itulah kamu melarangku ke
rumah lagi. Kalau sekarang aku nekat ke rumahmu untuk mengetahui apa yang
terjadi, apakah kamu akan marah?
Panggilan
kamu datang ketika aku berada dalam kebimbangan. Aku menyambut suaramu dengan
gembira, tetapi kemudian kamu membawa kabar duka. Ayah John kena stroke. Ketika
aku mendengar itu pertama kali aku malah menduga itulah kabar gembira
sesungguhnya. Kemudian kamu mengatakan dengan jujur selama ini kamu berada di
rumah sakit untuk merawat Ayah John.
“Mengapa
harus kamu? Bukankah sudah ada keluarganya?”
“Ayah
John yang mengharapkan aku datang. Kami merawatnya bersama.”
“Kami?
“Aku,
istri Ayah John, dan ke empat anaknya.”
Aku
masih belum dapat memahami. Bahkan setelah kamu menjelaskan panjang lebar
kalian (kamu, Ayah John, istrinya dan anak-anaknya) sudah berdamai dan sepakat
melangsungkan pernikahanmu dengan Ayah John. Itu janji yang akan dipenuhi
setelah Ayah John benar benar sembuh.
“Ayah
John pernah mengucapkan janji yang sama dulu. Tapi dia mengingkarinya…”
“Beda,
sekarang janji di depan keluarganya sendiri dan semuanya menerima. Kami
sekarang seperti sebuah keluarga.”
Kamu
percaya dengan janji dan perubahan yang cepat sehingga suaramu terdengar sangat
bahagia ketika mengucapkan itu. Kamu tidak peduli dengan hariku yang terluka
sehingga dengan enteng mengatakan hal itu seperti mengabarkan sebuah berita ada
film bagus yang main malam ini.
“Kenapa?”
aku mulai tidak mampu mengendalikan emosi setelah sekian lama terdiam, “mengapa
kamu lakukan ini kepadaku?
“Maaf,
sayang. Aku tahu ini membuatmu sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Aku
menginginkan seorang anak dari rahimku sendiri.”
Kita
pernah sepakat mengadopsi bebrapa anak saat kita hidup bersama. Masihkan kamu
ingat dengan semua itu?
Suaramu
lalu lenyap dari telingaku dan luka hatiku semakin menganga. Aku tidak percaya
kamu melakukan semua ini kepadaku, apa pun alasannya. Kamu membunuh jiwaku
dengan membuka kembali cinta lama yang ingin kamu kubur di dasar hatimu paling
dalam. Jiwaku baru saja mati tetapi jiwamu baru hidup kembali.
Malam
mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil terus
menangis. Aku ingin kamu berada di sini dan kita menangis bersama sampai air
mata kita menyatu seperti dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar