Pilihan Ibu
Sudah dua minggu ini Farida panik mencari seorang pembantu rumah tangga.
Sebab seminggu lagi dia harus masuk kantor. Sebuah perusahaan periklanan telah
menerima lamaran kerjanya tiga minggu lalu dengan gaji seperti yang dia minta.
Sebuah harapan yang terwujud ketika rumah tangganya harus segera mendapat
tambahan pemasukan keuangan. Ekonomi rumah tangganya harus segera disokong.
Mengingat Alya, anaknya, empat bulan lagi sudah harus masuk sekolah dasar.
Sedang mengandalkan gaji Gunadi, suaminya, menurut perhitungan mereka berdua
tak cukup.
Sesungguhnya memang sudah menjadi perjanjian sebelum menikah, rumah tangga
mereka akan ditopang oleh dua tiang pemasukan keuangan. Jadi Gunadi tak
keberatan bila Farida bekerja. Mereka sadar, bekerja tak sekadar sebagai aktualisasi
hidup, tapi yang lebih penting adalah pemenuhan kebutuhan dan ekonomi rumah
tangga. Mereka tahu, zaman terus berkembang dan kebutuhan ke depan semakin
beraneka macam.
Sudah sejak tahun lalu Farida rajin mengirim lamaran-lamaran ke
perusahaan-perusahaan. Beberapa kali juga sudah mendapat panggilan tes dan
wawancara. Namun gagal. Kini, sebuah perusahaan periklanan menerimanya sebagai
karyawan. Bergembiralah ia.
Persoalan yang muncul kemudian, seperti yang sudah diduga sebelumnya,
mereka membutuhkan seorang pembantu rumah tangga untuk menemani Alya di rumah. Seseorang yang dapat dipercaya untuk menangani kebutuhan Alya, sementara
Farida tak di rumah.
Seorang pembantu dengan kriteria; telaten dengan seorang anak kecil dan
mengerjakan pekerjaan standar, seperti mengepel dan menyetrika. Tak usah
mencuci karena sudah diwakili oleh sebuah mesin. Tak bisa masak, tak apa. Toh,
sekarang pun mereka telah berlangganan makanan katering dan rencananya akan
tetap begitu.
Telah mereka cari berbagai informasi tentang bagaimana mendapatkan seorang
pembantu rumah tangga. Berbagai kemungkinan telah dijajaki. Dari mendapatkan
pembantu lewat agen-agen penyalur hingga menelepon teman dan kerabat apabila
mempunyai pembantu lebih atau teman dari pembantu yang telah bekerja.
Gunadi dan Farida sendiri sesungguhnya lebih suka memilih lewat jalur
kekerabatan dan pertemanan. Lebih nyaman saja menurut mereka. Karena dipastikan
sudah mengenal hubungan satu sama lain. Karena kesibukan di kantornya, Gunadi
menyerahkan sepenuhnya urusan ini pada Farida. Maka kini Faridalah yang pusing
tujuh keliling.
Namun hingga tinggal dua minggu lagi Farida bekerja, pembantu rumah tangga
yang mereka inginkan belum juga didapat. Beberapa hari yang lalu Gunadi sudah
mengajak Farida berdiskusi bilamana mereka mengambil pembantu lewat agen
penyalur saja. Namun Farida masih belum setuju. Farida masih menunggu kabar
dari ibunya di Solo yang katanya akan mencarikan dari sana. Gunadi tak dapat
menolak pertimbangan Farida. Karena menurutnya, kalau mertuanya yang mendapatkan
pembantu, tentu itu lebih baik. Pasti jaminan mutu. Paling tidak, pengalaman
mertuanya lebih dapat diandalkan dalam menilai seseorang. Masih terngiang di
telinga ketika ibu mertuanya bertelepon dengannya.
”Sudah, ibu saja yang cari dari sini. Nanti ibu seleksi. Kasian
Alya kalau dapet
pembantu yang ra karuan. Biar ibu saja yang cari di sini.”
Tapi sudah seminggu lebih belum juga ada kabar dari ibu mertuanya.
Tulululululut…, telepon rumah berbunyi ketika Farida dan Gunadi baru saja
menyelesaikan makan malamnya. Farida yang sedang membereskan meja makan segera
menghentikan pekerjaannya dan berjalan beberapa langkah ke belakang. Telepon
itu menempel di dinding tak jauh dari tempatnya tadi berdiri.
”Assalamualaikum,” sapanya.
”Waalaikum salam,” jawab suara lembut di seberang sana. Ibunya. ”Da, ibu
sudah dapat orangnya,” katanya kemudian.
Pasti ini tentang pembantu, pikir Farida. Inilah kabar yang dia tunggu dari
ibunya. ”Iya Bu, bagaimana?”
”Kamu pasti ndak
nyangka, siapa yang mau ibu tawarkan sama kamu,”
”Siapa?”
”Wong ibu
aja kaget kok…
tiba-tiba saja dia datang ke sini. Ya, mungkin ini
jodohmu, Da.”
”Iya, siapa Bu?”
”Masih ingat ndak,
siapa yang menolongmu waktu kamu kecemplung kali dulu?”
Emmmmm…” Farida memeras otaknya untuk melayangkan ingatan kembali ke masa
kecilnya. Ya. Waktu kecil dulu, mungkin lebih besar sedikit dari Alya, dia
pernah tercebur di sebuah kali kecil. Kali untuk pengairan persawahan yang
kebetulan sedang berarus deras sehabis hujan. ”Mbak Supriatun?” Tanyanya
kemudian ketika ingatan itu telah tergambar.
Terdengar tawa ibunya di seberang sana. ”Bener,”
katanya setelah tawanya mereda. ”Kok,
ya tiba-tiba dia mbejedul,
nongol di rumah. Mau cari kerja katanya.”
”Lalu, ibu tawarin?”
”Ya iya. Dan dia langsung mau. Kamu sendiri
gimana?”
Farida terdiam. Dia mencoba mengingat sosok Mbak Supriatun. Setua apakah
dia sekarang. Tak ada yang diingatnya dari perempuan yang pernah bekerja ikut
ibunya itu. Karena cukup banyak perempuan yang pernah bekerja di sana. Ah, tak
ada yang diingatnya.
”Aku lupa Bu, setua apa dia sekarang?”
”Ya lumayan lah. Dulu mungkin beda umurnya sama kamu sekitar lima belas
tahunan atau lebih. Lha,
itung aja sekarang kira-kira berapa.”
Farida menaksir, mungkin usia Mbak Supriatun sudah empat puluhan. Masih
kuatkah ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga? Tanyanya dalam hati.
”Ya sudah. Terima saja dulu. Kamu kan sebentar lagi
masuk bekerja. Kasihan Alya. Ibu pikir Supriatun ini bisa kok. Dia itu sudah punya
cucu satu lho.
Dia dulu kan kawin muda. Beberapa tahun setelah pulang ke desanya dia menikah.
Jadi sudah pasti terbiasa dengan anak-anak. Lagi pula bekerja di rumahmu kan nggak terlalu berat.”
”Nanti aku bicara sama Mas Gunadi, Bu. Biar dia juga tau dan ikut memutuskan.”
”Ya… ya… saran ibu sih sebaiknya terima saja ya. Kasihan Supriatunnya juga.
Dia butuh uang dan sudah mau bekerja di Jakarta.”
Setelah bertelepon dengan ibunya, Farida mendiskusikan kabar itu dengan
Gunadi. Juga cerita-cerita tentang jasa Supriatun yang telah menyelamatkan
nyawanya ketika tercebur kali irigasi persawahan. Dan beberapa cerita tentang
siapa Supriatun yang dia sendiri tak yakin benar mengingatnya. Gunadi pun
langsung setuju.
Empat hari setelah memberi kabar persetujuan, Supriatun langsung ke Jakarta
dengan kereta api sendirian. Farida, Gunadi dan Alya menjemputnya di Stasiun
Gambir. Sudah tergambar jelas di benak mereka berdua akan kesungguhan niat
bekerja. Supriatun. Melihat betapa berani perempuan itu pergi
sendiri ke Jakarta. Hal yang belum pernah dilakukannya.
Jarak berpuluh tahun tentu telah mengubur sebagian ingatan. Apalagi setiap
saat dunia berubah. Juga manusia, penghuninya. Setali tiga uang dengan Farida.
Dia betul-betul tak tahu, bagaimana sosok Supriatun sekarang. Namun, ibunya sudah
mengingatkan akan sebuah tahi lalat besar di kening kiri perempuan itu. Farida
sedikit mengingatnya. Namun, itulah petunjuk sosok Supriatun. Petunjuk lain
dari ibunya adalah di mana Supriatun duduk di gerbong kereta juga menjadi
andalan.
Dan pertemuan pun berlangsung. Supriatun mengenal sosok Farida lebih dulu.
Perempuan itu melambai-lambaikan tangan ketika turun dari gerbong kereta.
Dengan bersamaan pula ingatan-ingatan Farida keluar berhamburan. Supriatun
datang seperti membawa serta kenangan masa kecilnya. Farida memeluk tubuh
mungil Supriatun.
”Njenengan
tidak berubah Mbak. Masih suka memelihara rambut panjang,” kata Supriatun lalu
tersenyum.
”Walah… kok
saya malah lupa wajah Mbak Atun. Lagi pula Mbak Atun kok masih ingat saja
sih…” balas Farida.
”Ah… di desa itu orangnya sedikit jadi gampang mengingatnya. Sementara di
kota banyak ketemu orang. Pasti gampang lupa,”
Mereka tertawa berbarengan.
Selanjutnya Farida memperkenalkan Gunadi dan Alya.
”Ih… cantik seperti ibunya. Mirip Mbak juga di waktu kecil,” kata Supriatun
demi melihat Alya.
Supriatun, perempuan berusia 48 tahun, itu pun bekerja dan tinggal di
keluarga Gunadi. Keluarga dari anak perempuan majikannya yang pernah diasuhnya
dulu. Bagi dirinya, ini seperti mengulang masa lalu. Bedanya, hanya pada
zamannya.
Ya, zamannya. Dulu dia mengasuh Farida di halaman depan. Bawah pohon asam. Atau jalan-jalan ke sawah. Sampai terjadi kecelakaan
Farida terpeleset, tercebur kali irigasi. Beruntung Supriatun pemberani dan
pandai berenang. Farida yang sudah terseret arus ditariknya ke tepian. Lalu
dibantu naik oleh seorang penggembala kerbau.
Zamannya kini dia mengasuh anak dari anak majikannya dulu, Alya, di dalam
rumah. Di bawah embusan mesin penyejuk udara. Dengan beraneka mainan
warna-warni dan buku-buku cerita. Sayang, Supriatun tak dapat membaca. Bila
Alya memintanya mendongeng dari buku-buku itu, Supriatun hanya menebak-nebak
dari gambarnya. Atau dia dongengkan saja dari cerita-cerita yang pernah
dikenalnya, ”Utek-utek ugel”, ”Kancil dan Sabuk Nabi Sulaiman”, ”Kisah Kambing
dan Harimau”.
Tentu saja ada perasaan asing menyelimutinya. Supriatun merasa tercebur ke
dunia yang lain dari dunianya di desa. Meski Ndoro Putri, Ibu Farida, sudah
membekalinya dengan berbagai pengetahuan kehidupan di kota, tak urung dia tetap
merasa aneh. Tapi sudah menjadi tekadnya. Karena ini adalah kemauannya setelah
suaminya di-PHK dari pabrik tebu yang tak jauh dari desa. Tak ada lagi sumber
keuangan keluarga. Dua anaknya masih SMA dan butuh biaya. Meski satu anak
tertua sudah berkeluarga dan memberikan satu cucu, mereka tentu masih terlalu
repot mengurusi rumah tangganya sendiri. Apalagi diharapkan mengurusinya. Kini,
sambil menunggu sang suami mendapatkan pekerjaan kembali, dia memutuskan untuk
pergi bekerja.
Di rumah keluarga Gunadi, dia tak boleh memasak. Karena keluarga itu sudah
berlangganan makanan katering. Makanan yang diantar oleh seorang pemuda
seumuran anaknya yang terkecil dengan sepeda motor yang dirancang untuk membawa
banyak rantang makanan. Supriatun ingat sepeda anak laki-lakinya yang
boncengannya dipasangi dua buah keranjang untuk mengangkut rumput makanan
ternak.
Makanan katering tak disukai oleh Supriatun. Menurutnya, makanan itu kurang
bumbu. Terlalu banyak vetsin yang sering kali membuatnya mual. Diam-diam,
hampir setiap hari, Supriatun hanya makan berlauk sambal demi menghindari lauk,
sayur, atau makanan lain yang bagi lidahnya terasa terlalu gurih. Atau hanya
ditambah sekerat tempe, tahu. Meski makanan itu berasa vetsin juga.
Telah sebulan lebih Supriatun tinggal di keluarga Gunadi. Telah sekian lama
pula dia dapat menilai kehidupan rumah tangga Gunadi dan Farida. Tebersit dalam pikirannya; ternyata kehidupan berkeluarga di desa dan di
kota sangat jauh berbeda. Dia teringat sinetron-sinetron dan berita-berita
artis yang ditonton di layar TV-nya. Ternyata dunia seperti itu hampir benar
adanya.
Beberapa hari terakhir ini dia melihat Gunadi dan Farida bertengkar. Sumpah
serapah dan kata ”cerai, cerai, cerai” berhamburan ke udara. Kalau sudah
begitu, dia, tanpa disuruh, segera menyelamatkan Alya. Agar tak melihat
pertengkaran kedua orang tuanya. Menurutnya, orang tua tak baik bertengkar di
depan anak. Supriatun mengajaknya bermain sepeda di jalan aspal depan rumah.
Namun bila suara pertengkaran itu merembes keluar, membuat beberapa orang yang
lewat di depan rumah mereka menengok lalu melempar wajah tanya kepada
Supriatun, perempuan itu tak dapat menahan senyum kecutnya.
Meski baru dua bulan, dari pertengkaran-pertengkaran itu Supriatun dapat
membaca masalah-masalah yang sering kali dipersoalkan. Di antaranya adalah
teguran Gunadi kepada Farida akan berkurangnya perhatian terhadap Alya, lalu
keberatan Farida akan kesibukan Gunadi yang kian menjadi setelah Supriatun
datang. Laki-laki itu semakin kerap beberapa hari tak pulang
dengan alasan bisnis ke luar kota. Dan berdua mereka akhirnya saling
menyalahkan.
Supriatun sepenuhnya sadar, kehadirannya di keluarga ini sangat menjadi
tumpuan. Sendirian dia menangani Alya, mengantar jemput ke sekolah TK yang
hanya tak sampai seratus meter dari rumah, mengurus akuarium, dan taman depan,
menangani pekerjaan rumah tangga di luar mencuci dan memasak.
Namun, sekuat-kuat hati Supriatun, jebol pula pertahanan perasaannya. Suatu
malam dia menangis sedih. Meratapi hidup keluarga Farida dan Gunadi. Terbayang
dalam pikirannya sebuah perceraian yang seperti dia tonton di berita-berita
artis. Perceraian yang kata-katanya selalu mencuat di setiap pertengkaran
Farida dan Gunadi. Perceraian, yang dalam pikirannya, tentu membuat semua
sengsara, Alya, anak kecil itu tentu menjadi korban. Lalu bagaimana dengan Ndoro Putri di Solo? Pasti akan timbul pertanyaan pada
dirinya. Tak urung dia pun akan terlibat. Dia takut pula
dipersalahkan.
Perempuan desa itu kini mulai tak tahan dengan keadaan keluarga Gunadi dan
Farida. Tebersit di hati Supriatun untuk berhenti bekerja saja dari keluarga
itu. Kembali ke desa menjalani kehidupan apa adanya. Mencari pekerjaan di desa
seadanya.
Suatu hari tangis Supriatun didengar oleh Farida yang pulang menjelang
tengah malam. Farida terkejut dan agak takut mendengar tangisan lirih di kala
malam hendak mencapai puncaknya itu. Mengendap-endap dia di dekat kamar
perempuan desa itu. Mencari asal suara tangisan itu. Ternyata benar seperti
dugaannya. Itu suara tangis Supriatun. Farida mendekati pintu dan mengetuknya.
”Mbak… Mbak… Mbak Atun kenapa?” Tanya Farida.
”Eh… anu… sebentar…” jawab Supriatun dengan suara
lirih dan tergopoh-gopoh. Masih terdengar isakan di sana.
Tak lama pintu dibuka. Dan tampaklah muka sembap
perempuan desa itu. Air matanya masih menggenang di pelupuknya. Supriatun
memaksakan tersenyum. Lalu dia menghambur ke tubuh Farida. Memeluknya.
Farida sejenak terkejut dan kemudian mendekap tubuh
Supriatun.
”Mbak Atun kenapa menangis?” Tanya Farida.
”Saya sedih, saya ndak
kuat kerja di sini,”
”Lho…
sedihnya kenapa? Nggak
kuatnya kenapa?” Tanya Farida yang mulai diserang kebingungan kalau-kalau
Supriatun benar-benar tak tahan karena kangen anak dan suaminya.
”Saya sedih… karena Mbak Farida dan Mas Gunadi
bertengkar terus. Saya ndak
kuat Mbak…. Saya mau pulang saja,” kata Supriatun sambil menangis kembali.
Tersedu-sedu.
Farida melepaskan pelukannya. Begitu pula Supriatun.
Dalam jarak yang amat dekat mereka bersitatap. Mata Farida juga mulai berkaca-kaca. Beberapa menit mereka terdiam.
Seperti ada bahasa yang susah disampaikan.
Namun akhirnya, Farida, memecah keheningan sejenak itu, ”Mbak Atun…
maafkan saya. Saya memahami kesedihan Mbak. Maafkan kami. Kami sendiri sedang
menyesuaikan diri dengan kondisi kami sekarang ini. Tapi tolong Mbak… Mbak Atun
jangan pulang. Saya sepertinya akan membutuhkan Mbak Atun dalam jangka waktu
yang agak lama. Dua hari yang lalu saya mendapat kabar dari dokter
kandungan. Saya sudah isi lagi. Sudah hampir satu bulan. Saya janji, nggak akan bertengkar
lagi…”
Wajah mereka saling berhadapan. Mata mereka
saling menyelami perasaan dalam hati lawan bicaranya. Raut muka Supriatun
tampak mulai berubah berbinar, mensyukuri apa yang telah didapat oleh Farida.
Kemudian tersenyum dan pelan-pelan mengangguk. Farida pun tersenyum. Dalam
keheningan mereka kembali berpeluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar