Romansa Merah Jambu
Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah
berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.
Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang
bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu,
dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam.
Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar
nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di
permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan
sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.
Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat,
dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu
menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak
dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi
ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga
mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan
pemandangan alam.
Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya
mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati
orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka
cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.
Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak
makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi
ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si
Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak
Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan
manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak
uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya
rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku
bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini.
Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau
pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima
kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.
Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.
”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang
budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,”
sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok
menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis
diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.
Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa
hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis
bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu,
dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada
Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek
Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek
Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil,
Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek
KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng,
Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah
Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar
nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.
Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga
anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang
diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya
sajalah, Pak.”
Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak
memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka
ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah
berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu,
putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar
dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar
cerita.
”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama
lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.
”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku
dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang
disulamnya.
”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.
”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah
belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku
menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan
macam-macam lagi,” cerita Gadis.
”Kau hebat sekali,” puji Gindo.
”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.
Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya
membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam
waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan
tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa
kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak
hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air
danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain
pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi
kecantikan dan kepribadian Gadis.
Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek,
satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum
pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar
belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis.
Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak
berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas,
kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di
kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan
sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.
”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis
melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri
menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,”
lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo
kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan
ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.
”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak
memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.
Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi,
tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum
mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah
dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia
sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa
berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si
Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut
keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis
terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.
Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis
sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di
seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi.
Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari
matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi
bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di
selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang
Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar
hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman
untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus
disediakannya untuk Gindo.
Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis
di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung
datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru,
Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan,
melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua,
berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.
Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si
Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan
pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu
tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang
mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada
bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:
”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal
Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah
lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah
ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera
menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di
dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya?
Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik
Gadis sedang mengalami error.
Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau.
Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar
yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman
kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang.
Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan
tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk
lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para
petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak,
Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?
(Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun
Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang).
Villa Kalisari, Depok, 04 Juni 2010
*) Pohon yang kayunya merah, getahnya sangat tajam, dan gatal bila
tersentuh, dapat menyebabkan kulit melepuh. Getahnya dapat dijadikan cat pernis
atau minyak kayu. Buahnya mirip jeruk purut, warna cokelat, tak dapat dimakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar