Lidah
Matahari telah muncul di timur. Cahaya kuning menyeruak dan menguasi
permukaan langit. Bola api raksasa itu merangkak mendaki hingga sepenggalah
ketinggiannya. Biasanya di waktu seperti itu Rena sudah berada di dapur.
Memasak atau mencuci tumpukan piring kotor. Tapi tidak di pagi itu. Saat itu
dia merasakan tubuhnya capek dan kepala agak pening. Maka dia masih tiduran di
dalam kamar.
Di luar kamar, terdengar ibu mertuanya sibuk mengomel. Sesekali juga terdengar perempuan tua itu membentak-bentak.
”Dasar ayam pemalas. Sepagi ini masih nyekukruk, seperti ayam gering
(sakit). Sana keluar cari makan!”
”Wuttt, glontang, klotakkk, brukk!” bunyi sepotong kayu dilempar.
”Sial, dia lagi-lagi menyindirku,” umpat Rena dalam hati.
Ya, tidak sekali dua kali ucapan ibu mertuanya membikin merah telinga Rena.
Melukai perasaannya. Dan pagi itu entah yang keberapa. Rena menganggap
perempuan itu sudah keterlaluan. Dengan mengatakan dirinya sepagi itu masih
nyekukruk seperti ayam digampar penyakit.
Memang, Rena juga mendengar suara kokok ayam berlarian. Mungkin ternak itu berusaha menghindari lemparan kayu. Namun dalam
keyakinannya, ucapan ibu mertuanya tidak semata-mata ditujukan pada ayam. Sebab
mana mungkin ayam yang tak berakal disodori ucapan dan bentakan seperti itu.
Tentu yang dimaksud ibu mertuanya adalah dia yang saat itu masih mendekam dalam
kamar.
Teringat oleh Rena, kejadian seperti itu bukan satu-satunya yang membuatnya
makin membenci ibu mertuanya. Meski perempuan tua itu adalah ibu kandung
suaminya yang seharusnya dia anggap sebagai ibu kandungnya juga. Dua hari lalu
terjadi pula peristiwa lain yang tak kalah sengitnya.
Saat itu Dino, anak Rena yang berumur tiga tahun, bermain kejar-kejaran
dengan si Bidin, anak tetangga sebelah. Demi menghindari tangkapan Bidin yang
mengejarnya, Dino masuk rumah. Di waktu menutup pintu depan, Dino membantingnya
dengan amat keras. Maka ketika mendengar pintu berdentar, ibu mertuanya
terperanjat bagai mendengar bunyi petasan. Wajahnya merah padam karena marah,
dan dalam pandangan Rena keriput kulit wajah ibu mertuanya tampak makin menyeramkan.
”Eh, bocah kurang ajar. Jangan keras-keras kau banting pintu. Bisa sempal
nanti. Kau tahu, ini rumahku, bukannya rumahmu, bukan rumah ibumu. Kau tinggal
menempati saja pakai membanting pintu segala.”
Saat mendengar ocehan itu, Rena merasakan hatinya seperti dibakar. Ucapan
ibu mertuanya ibarat anak panah yang melesat dari busurnya dengan kecepatan
tinggi. Sekilas mengarah ke Dino, tapi ternyata berbelok dan menancap di ulu
hatinya.
Rena yakin, mustahil omongan penuh sindiran itu ditujukan pada Dino, bocah
tiga tahun yang belum jelas mengucapkan bunyi tiap-tiap abjad. Bocah itu bahkan
belum mampu menemukan perbedaan antara kidal kata sifat dan kadal sebagai kata
benda. Pastilah yang dimaksud ibu mertuanya sebagai ”orang yang tak punya rumah
dan tinggal menempati saja” adalah dirinya. Sementara Dino hanya cengengesan
mendengar celoteh neneknya. Renalah yang merasakan ulu hatinya bagai tertusuk
puluhan jarum berbisa.
Lambat laun, kebencian Rena pada ibu mertuanya makin menebal. Dia bahkan
merasa tak betah lagi tinggal di rumah itu. Hidup satu atap dengan seorang
perempuan renta, namun banyak sekali bicara. Rena mulai dihinggapi perasaan
muak. Gerah dengan segala tingkah mertuanya yang baginya terlalu mencampuri
urusan orang.
Hampir tiap hari Rena harus menyiapkan kelapangan dada ekstra. Merelakan
diri jadi papan sasaran bagi omelan, ocehan, serta sindiran ibu mertuanya.
Begitu bencinya, Rena sampai menduga memang ada susuk emas tertanam di kedua
bibir perempuan tua itu. Maka tak heran, meskipun tanpa deretan gigi yang
menopang sehingga mulutnya tampak ompong, toh dia masih begitu lincah berujar.
Selalu melimpah ruah dalam menumpahkan kalimat.
Pernah di satu kesempatan Rena mengadukan rasa tidak betahnya pada
suaminya. Namun saat mendengar pengaduan Rena, suaminya hanya tersenyum. Lelaki
itu seperti telah mengetahui kenyataan itu. Dan dengan enteng saja berkata
”Ya, namanya juga orang tua, Re. Saya kira di mana-mana seperti itu.”
”Tapi Mas, saya kira ibu sering keterlaluan.”
”Sudahlah. Tak usah diambil hati. Anggap saja
ucapannya hanya angin lalu. Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau tahu kan,
perilaku orang tua itu memang mirip anak kecil. Juga tuntutan dan
permintaannya. Bagaimana pun juga dia adalah ibuku.”
”Tapi, kalau begini terus rasanya aku tidak betah lagi tinggal di sini. Ayo
kita pindah saja. Kita mengontrak atau apalah, yang penting pergi dari rumah
ini.”
”Ah, kamu ini jangan mikir aneh-aneh. Kita punya rumah sendiri kok mau
mengontrak rumah.”
”Rasanya aku tidak betah lagi tinggal di rumah ini.”
Suami Rena tampak memahami apa yang menjadi akar masalah. Lelaki itu juga
tahu, ibunya yang telah renta itu memang banyak omong. Kadang sering mengurus
hal-hal sepele yang tak perlu. Namun tidak mungkin dirinya sebagai seorang anak
meninggalkan ibunya sendirian di rumah.
”Sabarlah, Re. Aku tahu, ada begitu banyak ketidakcocokan antara kau dan
ibu. Aku sadari kenyataan itu. Tapi aku mohon padamu Re, bersabarlah. Jangan
kau sodorkan padaku buah Simalakama. Kalau kita pindah dari rumah ini, lalu
bagaimana beliau yang sudah setua itu. Siapa yang akan mengurusnya. Ah sekali
lagi, sabarlah, please,” ucap lelaki itu memohon. Dan Rena tak bisa berbuat
apa-apa.
Pernah juga Rena keceplosan bicara. Dia mengumbar masalahnya dengan ibu
mertuanya di depan teman-temannya. Rena pikir sesama wanita tak apalah bila dia
membicarakan soal itu. Saat itu mereka berkumpul di halaman sekolah taman
kanak-kanak tempat anak-anak mereka belajar dan bernyanyi. Seperti biasa, saat
anak-anak asyik belajar mengeja dan menyanyi bersama guru mereka, para ibu yang
mengantar tak mau kalah. Mereka membentuk kelompok diskusi di luar kelas. Ah,
bukan ”diskusi” yang terdengar intelek, tapi sekadar kelompok ngerumpi di
antara para wanita pengantar anak sekolah.
”Ah, kalau aku jadi kamu, sudah kusuruh suamiku memilih antara dua pilihan.
Apakah mau tinggal terus dengan ibunya atau denganku. Daripada kumpul satu
rumah berantem terus sama mertua,” ucap ibu Jeny. Perempuan yang selalu
berdandan wah saat mengantar anaknya ke sekolah.
”Betul jeng, biar tidak makan hati lalu bisa-bisa mati ngenes sampean.”
Ibunya Agus menambahkan.
”Tapi, aku kasihan pada suamiku. Dia harus menghadapi pilihan yang amat
dilematis,” ucap Rena mencoba membantah usul teman-temannya
”Halah! kasihan apanya. Salah sendiri punya ibu banyak cingcong. Ngapain
juga kita berkumpul dengannya di satu rumah. Eh, kalau gitu terus, bisa habis
dagingmu sebab memikirkan ibu mertuamu, ya nggak Bu Agus?”
Mendengar namanya disebut, ibunya Agus mengangguk. Rena makin bingung dalam
pusaran bermacam usulan yang dilontarkan teman-temannya. Salah seorang teman
Rena yang bernama Monar mengajak Rena sedikit menjauh dari kelompok itu. Lalu setelah menoleh kiri-kanan, Monar membisikkan sesuatu ke telinga Rena
Rena mengangguk-angguk saat Monar menjelaskan sesuatu.
Begitulah. Hari terus berlalu dan perang saraf antara Rena dan ibu
mertuanya pun terus berlanjut. Hingga pada akhirnya, Rena benar-benar kalah
melawan diri sendiri. Lapisan kesabaran yang selama ini dia bangun mulai
ambruk. Rena terperosok dalam kondisi gelap mata, lalu mengambil keputusan
nekad. Dirinya nekad akan melakukan apa yang pernah disarankan Monar.
***
Tanpa sepengetahuan siapa pun, Rena mendatangi rumah lelaki itu. Seorang
lelaki tua yang kerap dijuluki orang sebagai ’orang pintar’. Seperti juga
pernah diceritakan Monar.
Di depan orang pintar itu Rena mengadukan masalahnya. Terlebih kebenciannya
pada ibu mertuanya yang telah sampai ubun-ubun. Rena memang telah gagal
menjalani nasihat suaminya untuk bersabar. Maka di depan lelaki berusia uzur
itu, Rena menceritakan niatnya untuk melenyapkan ibu mertuanya.
”Emm, apa kamu serius ingin melakukan itu?” tanya lelaki tua.
Rena hanya mengangguk. Dia merasakan dadanya bergemuruh
”Lalu ingin cara yang bagaimana? Maksudku, cepat atau perlahan?”
”Kalau bisa secepatnya Mbah. Saya sudah tidak
betah.”
”Heh, ingat! Terlalu cepat malah bisa menimbulkan kecurigaan. Nanti bila
polisi membongkar, malah kau akan menanggung risikonya.”
”Lalu bagaimana, Mbah?”
”Menurutku, gunakan cara halus. Meski perlahan namun
hasilnya pasti. Tak apa agak lamban, tapi aman. Saya jamin semua akan beres.”
Begitulah, saat pulang lelaki tua itu memberi Rena sebungkus serbuk. Dia
katakan serbuk itu mengandung zat arsenik mematikan, namun baru bereaksi
setelah lewat satu bulan. Setelah serbuk itu bekerja, maka tak akan ada yang
tahu bahwa ibu mertuanya mati sebab diracuni orang. Orang akan mengira
perempuan itu meninggal sebab usia tua. Saat mendengar orang pintar itu
menyebut kata arsenik, Rena sempat teringat kasus kematian seorang aktivis di
atas pesawat terbang. Saat orang yang getol memperjuangkan HAM itu bepergian ke
negeri Belanda. Ya, Rena pernah membaca berita itu.
Orang pintar itu juga berpesan pada Rena agar bersikap sopan dan manis pada
ibu mertuanya. Meskipun semua itu hanya sebatas pura-pura. Bahkan jika
perempuan tua itu mengomel atau memarahinya. Toh dia akan mati juga. Rena tak
keberatan melaksanakan pesan orang pintar itu.
***
Tiap pagi dan sore, Rena rajin menaburkan serbuk putih itu dalam makanan
yang dikonsumsi ibu mertuanya. Dia juga pura-pura bersikap manis dan sopan pada
ibu mertuanya. Seperti pesan lelaki tua itu. Bahkan saat ibu mertuanya
mengomel-ngomel atau berteriak marah, Rena menyambut semua itu dengan keramahan
dan senyuman. Meski dalam hatinya, Rena ingin segera melihat serbuk itu
bereaksi walau belum sebulan.
Belum genap sebulan, Rena merasakan ada yang berubah. Sikap ibu mertuanya makin melunak. Perempuan tua itu juga amat ramah dan
sopan pada Rena. Tak pernah lagi dia mengucapkan kata-kata kasar atau
memperlihatkan sikap yang menyakitkan hati Rena. Karena perubahan itu,
kebencian Rena pada ibu mertuanya seperti terkikis lalu longsor. Dan anehnya,
Rena menjadi khawatir bila serbuk yang tiap hari dia tabur di atas makanan
perempuan tua itu bereaksi.
Rena mulai bimbang, hingga akhirnya dia putuskan datang lagi ke rumah orang
pintar itu.
”Mbah, sekarang saya kok malah takut bila racun itu bereaksi.”
”Bereaksi? Ah, tidak akan pernah itu.”
”Lho memangnya, Mbah?” Rena belum mengerti
”Sejujurnya, itu bukan arsenik. Tapi penyedap rasa untuk setiap masakan.
Dan rupanya serbuk itu telah menaklukkan lidah ibu mertuamu. Pulanglah, kukira
masalahmu dengan ibu mertuamu telah selesai.”
Rena tak menyangka dengan semua itu. Namun dia bersyukur sebab tak sampai
menjadi seorang pembunuh. Meski dirinya selamat dari pengetahuan polisi, namun
dirinya tak akan selamat dari vonis nuraninya sendiri. Dan dia mengakui, lelaki
tua itu memang sangat pantas serta sesuai jika dijuluki ’orang pintar’. Seperti pernah dibisikkan Monar saat berada di halaman sekolah TK. Gresik
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar