Phantasmagoria
Phantasmagoria adalah berbaurnya rentetan gambar, citra, figur-figur
yang menipu penglihatan, sampai kita susah membedakan mana nyata mana tidak
nyata. Tanata berdiri di pinggir jalan di depan rentetan toko-toko, kafe,
butik, melihat bayangannya sendiri terpantul membaur dengan manekin,
benda-benda, dan huruf-huruf besar yang melekat di kaca etalase. Ia terpesona.
Sekedar
mengingatkan: Walter Benjamin juga pernah tertegun melihat citraan
bayang-bayang yang berbaur dengan kenyataan seperti itu di Paris. Seperti
sebuah mimpi-phantasmagoria meminjam istilah filsuf Jerman mazhab Frankfurt
itu.
Bagaimana seorang
terjebak dalam phantasmagoria?
***
Senja di Kuta.
Tiba-tiba timbul ide di benak Tanata untuk terjun ke arena di mana kenyataan
tak bersekat dengan mimpi tempatnya berdiri. Ia pun menembus kaca, menembus
bayang-bayang, dan ketika mendapati wanita yang serasa pernah dikenalnya:
Marianne.
“Marianne,
bagaimana kamu berada di sini?” tanyanya takjub.
Yang disapa
tersenyum.
“Aku tahu kamu akan
datang, cepat atau lambat,” kata Marianne. “Kamu penghayal sejati.”
Marianne masih seperti
dulu. Dia mengenakan blouse
putih lengan pendek, memperlihatkan putih kulit lengannya. Celana jins membalut
pinggangnya yang padat, terangkat oleh selop bermodel sederhana-selempang kulit
hitam dengan hiasan manik-manik-bertumit tinggi. Kuku-kuku jarinya ber-cutex merah. Wanita ini
melayani percakapan sambil membereskan meja bar, menaruh gelas-gelas yang
diangkatnya dari tempat pencucian di bibir pantry
dalam posisi terbalik.
“How’s life…” tanyanya.
Tanata terdiam tak tahu
harus menjawab apa.
Kembali Marianne
tersenyum. Ia menuju alat pemutar lagu. Kuku-kuku jarinya yang juga ber-cutex merah menyala
memencet tombol alat pemutar yang kelihatan sangat kuno modelnya. “Adanya ini…”
katanya demi melihat Tanata memerhatikan alat pemutar lagu tadi. “Aku tahu kamu
menyukai ini…” lanjutnya. Mengalun lagu lembut berjudul seperti namanya.
Dari dulu terus terang
aku memujanya…
“Problemnya pasti irama ya, iya kan?” ucap Marianne
seperti hendak menebak, mengapa Tanata tak menjawab pertanyaannya. “Kamu
menyebut, semua adalah soal irama. Irama kamu sebenarnya di sini.”
“Bersamamu,” tukas Tanata.
“Kamu masih suka merayu.”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, seusai ini pada keadaan yang lain lagi kamu berkata hal serupa pada perempuan lain.”
“Bersamamu,” tukas Tanata.
“Kamu masih suka merayu.”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, seusai ini pada keadaan yang lain lagi kamu berkata hal serupa pada perempuan lain.”
Kali ini Tanata tersenyum. Marianne selalu benar. Meski,
mungkin tidak kali ini.
***
Marianne, nama ini, kosa kata ini, berada dalam jajaran
kosa kata-kosa kata lainnya dalam lintasan hidup Tanata, misalnya Vila Ulangun,
Lila Buana, Kayuapi, Bumi Shanti, dan lain-lain. Pertama kali Tanata melihatnya
di Vila Ulangun-sebuah proyek kawasan hiburan yang pada masa itu belum jadi.
“Siapa dia?” tanya Tanata ketika melihat wanita itu
melintas masuk Vila Ulangun. Bahkan masih diingatnya apa yang ditentengnya.
Yakni, perangkat pantry
untuk persiapan pembukaan bar.
“Adik Pak Franky,” kata seorang di situ.
“Adik Pak Franky?” Tanata mengulangi. “Siapa namanya?”
“Marianne. Cantik ya… ” yang diajak bicara berkomentar tanpa diminta. “Pernah jadi Miss Minahasa.”
“Ooh…”
“Adik Pak Franky?” Tanata mengulangi. “Siapa namanya?”
“Marianne. Cantik ya… ” yang diajak bicara berkomentar tanpa diminta. “Pernah jadi Miss Minahasa.”
“Ooh…”
Diingatnya percakapan-percakapan mereka di masa awal
perkenalan. Tanata memperkenalkan diri sebagai orang baru di situ, sebagai
pemain band yang baru saja lolos audisi, yang dilakukan sendiri oleh Pak
Franky.
“Dari mana asalnya?” tanya Marianne.
“Magelang,” kata Tanata. Dia selalu menyebut kota ini. “Di mana itu?”
“Di Jawa Tengah. Bayangkanlah Minahasa. Kota itu sama indahnya dengan Minahasa. Berbukit-bukit dan dingin.”
Marianne tersenyum.
“Saya juga belum lama di sini,” kata Marianne. “Baru dua bulan.”
“Sudah ke mana saja?” tanya Tanata.
“Tidak pernah ke mana-mana…” jawabnya. “Tahunya hanya Bumi Shanti dan sini,” tambahnya tertawa. Bumi Shanti adalah nama banjar di mana Franky tinggal.
“Magelang,” kata Tanata. Dia selalu menyebut kota ini. “Di mana itu?”
“Di Jawa Tengah. Bayangkanlah Minahasa. Kota itu sama indahnya dengan Minahasa. Berbukit-bukit dan dingin.”
Marianne tersenyum.
“Saya juga belum lama di sini,” kata Marianne. “Baru dua bulan.”
“Sudah ke mana saja?” tanya Tanata.
“Tidak pernah ke mana-mana…” jawabnya. “Tahunya hanya Bumi Shanti dan sini,” tambahnya tertawa. Bumi Shanti adalah nama banjar di mana Franky tinggal.
Marianne cukup sering membantu beres-beres di Vila
Ulangun. Ketika sedikit-sedikit operasi Vila Ulangun dimulai, termasuk
dibukanya bar, kadang ia tinggal di situ sampai malam, ikut sibuk.
Tanata tahu belaka bagaiman menyenangkan adik “sang bos”.
Di panggung dia bercuap-cuap kepada siapa lagu yang hendak dinyanyikan
ditujukan. Lalu
mengalunlah lagu ini:
Where are the roses that I brought you, my love
Where are the poems that I wrote…
Where are the poems that I wrote…
Lalu,
sejak malam itu, Marianne pulang ke Bumi Shanti tidak lagi dengan mobil
jemputan keluarga. Tanata mengantarnya pulang, memboncengkannya dengan Yamaha trail yang dipakainya
sehari-hari. Kadang tidak langsung menuju rumah. Mereka nongkrong dulu di
lapangan tengah kota bernama Lila Buana, yang pada tengah malam hari sampai
dini hari diramaikan penjual makanan. Di situlah mereka yang biasa hidup di
malam hari mencari makan pada lewat tengah malam, termasuk beberapa seniman,
yang namanya cukup terkenal.
Di
Lila Buana-orang-orang menyingkatnya “Lebanon”-Tanata menulis beberapa puisi
itu. Itu masa hidupnya yang dirasakan paling produktif. Sebagian puisinya
dimuat oleh surat kabar lokal dengan di bawahnya tertulis: “untuk M”.
***
Sebuah
masa, masa hujan sajak dan puisi. Seperti pisau bermata seribu, sajaknya
mengena pada siapa saja: kalau toh tidak pada seribu wanita, setidaknya pada
satu, dua, atau tiga orang. Nama dari satu, dua, atau tiga orang itu masih
diingatnya. Inisialnya, sebut saja dua di antaranya, Y dan S. Tentu
saja selain M-Marianne
Bersama Marianne ia membelah pulau, menuju arah utara,
kehujanan, sama-sama menggigil kedinginan berteduh di dangau di daerah
Batubulan. Tak ada suar apa pun senja itu. Sawah berundak-undak rapi itu sunyi
dalam guyuran hujan senja hari.
Mereka sering melewatkan waktu di kawasan selatan, yang
ramai dengan kafe dan klub-klub musik, antara lain Kayuapi. Di sana-sini masih banyak pepohonan kelapa, di mana di bawahnya sapi-sapi
berkeliaran. Sapi-sapi itu membuang kotoran, yang ketika mengering menghasilkan
jamur, dan jamur dari tahi sapi itulah pada masa itu dikenal menghasilkan
camilan yang membuat mereka fly:
mushroom omelette.
Berdua mereka fly,
melayang dalam sajak dan jamur tahi sapi…
***
Sebenarnya banyak yang bisa diceritakan Tanata, terlebih
ketika bersama keluarga, mereka memilih liburan di pulau ini. Hanya saja siapa
yang hendak mendengar ceritanya kini? Siapa yang masih bersedia mendengar
cerita mengenai sajak-sajaknya, mengenai lagunya, mengenai sepeda motor Yamaha trail yang dijualnya
untuk ongkos pindah ke Jakarta, mengenai William Butler Yeats, mengenai Umbu
Lambu Paranggi, mengenai teman sekamarnya yang menguangkan wesel kiriman dari
surat kabar yang memuat tulisannya tanpa sepengetahuannya, setelah itu
mentraktirnya, dengan uang yang sebenarnya uangnya sendiri? Tanata tersenyum
mengenang masa itu.
Kini, semua orang di sekelilingnya, anak istrinya sibuk
dengan gadget
masing-masing dari handphone,
Blackberry sampai laptop
yang pada liburan seperti ini pun tetap menyertai mereka semua. Begitu masuk
hotel, mereka langsung membuka laptop.
Pada kegiatan di luar, entah di mobil atau di manapun, semua sibuk dengan
perangkat teknologi informasi di tangan masing-masing. Pada masa sebelumnya,
hanya satu tangan sibuk memencet-mencet. Kini, dengan peralatan makin canggih,
kedua tangan mereka terpacak di situ, kepala menunduk, tak pernah melihat
kiri-kanan. Sawah-sawah yang masih tersisa, pintu pura yang mereka lewati,
Taman Ayun, langit jingga, anak-anak main layang dengan bentuk menakjubkan,
semua tak ada artinya bagi mereka.
Mata mereka hanya mengarah ke layar handphone. Ketika diajak
berbicara paling berujar “hehh”, atau “apa?”, justru ketika penjelasan telah
berlalu. Saat berjalan berendeng-rendeng kadang Tanata harus menoleh
kesana-kemari, mencari anggota keluarganya entah itu istri atau anak, yang
tercecer karena mereka berjalan sambil menunduk, sibuk memperhatikan layar handphone, bukan keadaan
sekeliling di mana mereka berada.
“Perhatikanlah sekeliling, supaya tidak kehilangan ruang
dan waktu,” ucap Tanata.
“Apa?” kata yang diajak bicara, sebelum sibuk lagi dengan handphone-nya.
“Apa?” kata yang diajak bicara, sebelum sibuk lagi dengan handphone-nya.
Dunia kenyataan, telah menjadi dunia niskala. Lagi-lagi
Tanata tersenyum. Kenyataan-realitas darah dan daging-telah lenyap bagi mereka.
***
Tiba-tiba saja, di depan toko-toko, butik, kafe, dan
restoran yang sudah ramai dibanding puluhan tahun lalu ketika dia menghasilkan
sajak-sajaknya di sini, Tanata mendapati dirinya sendirian. Benar-benar
sendirian. Ia hanya dengan bayangannya sendiri yang menyatu dengan manekin,
benda-benda dan huruf-huruf di kaca etalase.
Bagaimana kalau aku terjun ke situ, pikirnya. Maka
masuklah Tanata menembus bayang-bayang, masuk ke dunia phantasmagoria. Seperti
mimpi-ah, benar-benar seperti mimpikah, atau sebaliknya malah ini kenyataan-dia
bertemu lagi dengan Marianne. Marianne yang masih seperti dulu: cantiknya,
wanginya, dan dayanya mendengar setiap potong ucapannya.
“Dengarkan, sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu
tadi,” kata Tanata pada wanita yang sangat menyenangkan ini.
“Pertanyaan yang mana?” tanya Marianne.
“Bukankah kamu tadi mengatakan, aku jujur mengungkapkan apa yang aku rasakan, meski menurut kamu, seusai ini pada keadaan yang lain aku akan berkata hal serupa pada perempuan yang lain…”
“Itulah dirimu yang kukenal,” kata Marianne.
“Itulah aku yang kamu kenal dulu,” tukas Tanata. “Kini aku hendak mengatakannya, bahwa aku mengatakan ini padamu.”
“Kamu bermimpi…”
“Aku tidak bermimpi.”
“Ini dunia phantasmagoria…” ucap wanita cerdas itu. “Kamu tidak bisa pulang ke duniamu”
“Aku memang tidak ingin pulang.”
“Pertanyaan yang mana?” tanya Marianne.
“Bukankah kamu tadi mengatakan, aku jujur mengungkapkan apa yang aku rasakan, meski menurut kamu, seusai ini pada keadaan yang lain aku akan berkata hal serupa pada perempuan yang lain…”
“Itulah dirimu yang kukenal,” kata Marianne.
“Itulah aku yang kamu kenal dulu,” tukas Tanata. “Kini aku hendak mengatakannya, bahwa aku mengatakan ini padamu.”
“Kamu bermimpi…”
“Aku tidak bermimpi.”
“Ini dunia phantasmagoria…” ucap wanita cerdas itu. “Kamu tidak bisa pulang ke duniamu”
“Aku memang tidak ingin pulang.”
***
Di manakah realitas virtual, simulakra, phantasmagoria,
atau apa pun namanya tergantung referensi apa yang kita gunakan, berakhir, dan
sesuatu yang nyata, real, berdarah daging, memulai dirinya kembali? Tak jelas.
Walter Benjamin sendiri tak pernah menyelesaikan proyek arkade-nya, passangenwerke-nya.
Manusia=mesin. Realitas=ilusi. Marianne=ilusi.
Marianne=benar-benar ada. Masa lalu=masa kini.
Bagaimana membedakan itu semua? Pada musim liburan itu,
sebuah keluarga, seorang ibu dan anak-anaknya, panik ketika menyadari telah
kehilangan kepala keluarga.
Keluarga itu real=keluarga itu tidak real. Istri itu
real=istri itu tidak real. Marianne real=istri tidak real. Nah, semembingungkan
itu implikasi phantasmagoria di mana Tanata terseret di dalamnya.
Keluarga itu sibuk dengan handphone dan peralatan teknologi
informasinya, mengabarkan hilangya Tanata. Seluruh anggota jemaat dunia maya
menyambut ramai. Berita berseliweran, baik lewat SMS, Facebook, maupun
percakapan handphone.
Ada yang menanggapi serius, ada juga satu-dua yang main-main.
“Dia nyeleweng…” begitu seorang berkomentar.
“Suamiku tidak nyeleweng. Dia hilang,” kilah sang istri.
“Hilang=nyeleweng. Nyeleweng=hilang,” yang berkomentar tidak mau kalah.
“Suamiku tidak nyeleweng. Dia hilang,” kilah sang istri.
“Hilang=nyeleweng. Nyeleweng=hilang,” yang berkomentar tidak mau kalah.
Mereka terus sibuk satu sama lain. Semua menatap layar handphone atau
komputernya masing-masing. Tak ada yang meoleh ke kiri ataupun ke kanan.
Giliran dunia phantasmagoria memanipulasi mereka. Tak ada
yang menyadari, Tanata sebenarnya di situ-situ saja. Ia bersama Marianne,
menertawakan semua orang. Suwung, September 2009