Perpisahan
|
HANS, tiap kali kita
berdiri di tepi sungai itu, kamu selalu mengatakan hal yang sama, seraya
menunjuk permukaan sungai yang kehijauan dan memantulkan bayangan kita: mereka
menemukan tubuh Rosa*) di sini. Alirannya membelah kotamu, mengalir sampai ke
Berlin, kota terakhir yang kamu bayangkan sebagai tempat memulai kehidupan baru
setelah letih mengelana dan menjauhinya berulang kali.
Tiga hari setelah ibumu
meninggal, kamu, kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai Spree dan
mengenang masa silam yang kini bagai mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat
dengan mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan sekali setidaknya jika
menetap dan bekerja di Berlin.
Kita
sekarang berdiri dan menatap sungai yang sama, di bagian tubuhnya yang lain.
”Hampir
tiga belas tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya. Setelah Ibu tidak ada,
keinginan saya untuk menengok rumah jadi lebih kuat. Kamar saya juga masih
ada,” katamu memandang ke seberang sungai.
Sudah
dua kali kita bertemu di kota ini. Setelah seminar tentang negara-negara
berkembang dan masalah-masalah yang tidak pernah selesai, kita bergegas mencari
tempat untuk minum kopi dan menghirup udara luar. Bedanya, ibumu sudah tidak
ada.
Namun,
ibumu tidak pergi seperti Rosa. Ia meninggal dalam kamar yang tenang ketika
kamu tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi untuk menemuinya terakhir kali.
Empat
hari sebelum itu, ia minta dipindahkan ke sebuah rumah tempat orang-orang
menunggu kematian. Ia ingin menyongsong mautnya sendiri.
Seperti
apa ibumu waktu hidup, aku ingin tahu, menyesal tidak sempat bertemu dan mulai
hanyut dalam kenangan kematian itu.
”Ibu
saya seorang guru, kepala sekolah yang baik dan serius bekerja, sangat
memperhatikan anak-anaknya, sedikit tidak sabar, dan kadang-kadang khawatir,”
katamu.
Kamu
menatapku, tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh. Kamu melihat seseorang yang
tidak ada.
”Ibu
saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu berseru sambil mengamati permukaan
sungai yang mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ.
Tidak
ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat
sama seperti dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang mengenalnya, yang
pernah mesra. Mereka sengaja mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang
ketika perpisahan itu benar-benar datang.
Ibumu
ingin kalian terbiasa dengan ketidakhadirannya atau ia memang ingin melepas
semua ikatan dengan kehidupan lebih dini, seperti menuang ikan-ikan kecil di akuarium
ke dalam sungai ini dengan kesadaran untuk tidak mencari mereka lagi dan memang
mustahil. Ia bahkan berkata pada ayahmu untuk mencari seseorang yang lain
sebagai penggantinya. Ia juga sudah melepas ikatan mereka yang membuat kamu dan
Fabian ada.
Kamu
masih ingat suatu hari bersama ibumu. Musim panas terakhir. Fabian belum
kembali dari Frankfurt karena ia harus menunggu pembukaan pameran lukisannya.
Ayahmu di lantai bawah. Dari jendela apartemen, puncak-puncak gedung dan langit
bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-hari sebelumnya karena
baru sekarang perhatianmu benar-benar tercurah pada pemandangan di luar sana,
ketika tidak banyak yang menyita pikiran kecuali sosok kurus yang terbaring
sakit di ranjang.
Ibumu
tiba-tiba berkata, lirih, ”Hidup saya begitu indah.”
Kamu
tertegun. Tidak percaya Ibumu mengucap kalimat itu, kata-kata yang sangat dalam
maknanya dan menghapus seketika sedih yang muncul dari rasa tidak berdaya
sekaligus kegagalan untuk berbuat lebih baik dan lebih sering terhadapnya sejak
dulu.
Setelah
itu, ia tidak berkata sepatah kata pun selama hampir tiga jam. Kamu memijat
lembut kaki-kakinya. Kamu belum siap berpisah.
Ketika
suara ibumu benar-benar hilang karena sakit yang makin parah, percakapan kalian
bertukar dengan sentuhan, sama seperti saat kamu lahir dulu, saat terdorong
keluar dari rahimnya yang hangat. Kamu mencari-cari tubuhnya dan sentuhan ibumu
adalah rasa aman dan tenang. Kamu ibarat ulat mungil dalam sebuah kepompong,
sebelum menjadi kupu-kupu dan terbang.
”Saya
sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya
tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada,”
tuturmu seraya tertawa.
Usiamu
10 tahun saat tembok itu hancur. Orang-orang di timur bebas pergi ke barat, lalu kata
”timur” dan ”barat” itu benar-benar lenyap.
Kesenyapan
dalam kamar ibumu masih terasa dalam hati, di satu bagian yang selalu kosong
setelah ia pergi. Kesenyapan itu pernah menjelma luka yang dalam dan kini
bekasnya tetap ada.
”Selalu
di sana.” Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Barangkali orang-orang
yang lewat menyangka kita pasangan kekasih.
Di
kamar ibumu, benakmu dipenuhi kenangan dari masa kanak-kanak, masa yang sudah
lama berlalu serta paling berarti dari semua kenangan, dan inilah yang ganjil
dari bagian yang seharusnya sayup itu: semua kesedihan dan kebahagiaan berasal
dari sana, ada di masa kini dan terbawa ke masa depan. Suatu hari kamu, Fabian,
dan orangtuamu tamasya ke pantai. Angin bertiup dari Laut Baltik. Kamu
berlari-lari di pasir. Ibumu berdiri di pinggir pantai, memandang kejauhan.
Kamu merasakan butir-butir pasir yang hangat, melihat ombak putih
bergulung-gulung. Tiba-tiba ibumu menoleh ke arahmu, melambai seraya tersenyum.
”Musim
panas seharusnya lebih panjang.” Suaramu terdengar jauh dan kelam.
Kutatap
matamu yang coklat dan ingin mengatakan sesuatu, lalu menganggapnya tidak lagi
perlu. Mungkin nanti saja, saat kita punya waktu lebih panjang
atau saat kamu sudah siap. Tapi kelihatannya waktu kita pendek, tidak pernah
terulang. Apa ya nama perasaan semacam ini? Rasanya seperti sesak dan aku
memang mengidap asma. Kamu tersenyum, lalu menatapku sungguh-sungguh, ”Mungkin
itu namanya kesedihan.” Setelah itu, kamu melihat ke sungai dan berkata lagi,
datar dan pelan, ”Saya tidak tahu. Mungkin juga bukan kesedihan. Hanya kamu
yang tahu.” Kita sama-sama menghela napas.
Ayahmu
juga terlambat sampai di rumah itu. Perawat mengabarkan bahwa kematian datang
lima menit yang lalu dan Ibumu telah pergi bersamanya. Suntikan morfin membuat
rasa sakit sama sekali tidak mengganggu prosesi itu, perawat meyakinkan ayahmu
yang pucat dan sedih. Ayahmu lantas menghibur diri lebih keras bahwa inilah
cara pergi yang diinginkan istrinya.
”Ayah
sudah punya seseorang sekarang, yang dia sedikit cinta. Saya senang dia
kembali hidup”. Kamu terdengar merestui hubungan mereka.
Udara
dingin. Apakah kita akan makan siang di restoran yang sama? Seperti tahun lalu?
”Kita
makan di restoran yang sama saja, ya. Pelayannya mungkin masih ingat kita.”
Aku
benar-benar letih. Kita melangkah bersisian, meninggalkan tepi sungai.
Pohon-pohon menaungi kita. Daun-daun berguguran di trotoar. Kamu sudah memiliki
seseorang.
Semalam
kamu mimpi aneh.
”Dalam
mimpi itu saya berbaring dan ketika saya membuka mata saya, saya melihat Ibu
saya berbaring di arah yang berlawanan. Saya lalu bertanya kepadanya, bukankah
Ibu sudah meninggal. Ibu saya bilang, dia belum meninggal, tapi hanya koma.
Waktu itu saya panik sekali, waduh, bagaimana ini Ibu saya kok hidup lagi
padahal Ayah saya sudah dengan seseorang.” Kamu menghela napas.
”Mungkin
saya belum sepenuhnya bisa menerima orang lain yang menggantikan Ibu saya dalam
hidup Ayah.”
Tiba-tiba
kamu berhenti melangkah, ”Tolong kamu pikirkan ini baik-baik. Jangan hidup
sendirian. Siapa pacarmu sekarang?”
Aku
merengkuh pundakmu, mengajakmu terus melangkah, tiada berkata-kata. Kamu
tertawa. Rasanya enak berjalan seperti ini.
”Sudah
lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.” Kamu memelukku.
Atau
kukatakan saja sekarang?
Tapi
aku malah bercerita tentang kematian Ayahku. Setelah dia meninggal, aku pulang
ke rumah sebentar untuk menengok ibuku.
Di
kamar orangtuaku, ada satu lemari besar khusus untuk menyimpan barang-barang
ayah agar tidak berdesakan dengan milik ibu di lemari yang lain. Aku
membukanya, melihat pakaianpakaian Ayah tergantung dan terlipat rapi. Waktu
kubuka salah satu laci, kutemukan baju baletku waktu berusia tujuh tahun,
sepatu baletku yang tali-talinya telah kumal, kacamata-kacamataku waktu di
sekolah dasar, jepit-jepit rambut dengan hiasan beruang kecil.
”Barangkali
Ayahmu merindukan kamu yang tidak pernah pulang dan benda-benda itu
menghiburnya,” katamu pelan.
Udara
benar-benar dingin. Patung beruang di muka satu galeri itu tampak begitu tua.
Hans,
kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba.
Setelah meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat terakhir untukmu: tentang
sel-sel penyakit yang berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan hari-hari
yang tidak akan kita miliki lagi di mana pun.***
*) Rosa
Luxemburg, seorang tokoh sosialis Jerman. Dia meninggal ditembak pada 1919,
mayatnya dibuang ke sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar