Al Furqon, Sebuah Malam Sebuah Sajak
Malam. Bulan timbul tenggelam di lautan awan. Gerimis sesekali menyapa
bumi dan mengabarkan langit masihlah ada. Namun tak benar-benar turun hujan.
Sesekali segaris cahaya mengerjap dan gemetar di angkasa. Bukanlah kilat atau
petir, hanya segaris cahaya mengerjap dan gemetar.
Orang-orang di kampungku menyebutnya kingkilaban. Seperti sebuah isyarat
atau gelagat. Kau ingin memahaminya, tapi bagiku menghayati sudah cukup. Sebab
ada banyak rahasia yang tak terurai dalam bening pikir manusia. Semakin ingin
memahami, semakin jauh tersesat dalam pemahaman yang terkadang memasuki wilayah
amarah.
Kita masih di teras sebuah mesjid. Menunggu gerimis reda. Kau tak ingin
menyeberangi titik-titik air itu. Kau ingin berteduh dan menunggu. Menghitung
gerimis yang malas. Atau angin yang benar-benar nyaris diam. Cahaya-cahaya
temaram di sekitar pelataran mesjid ini semakin meremangkan suasana, koridor
yang melingkari mesjid, sungguh sunyi, memanjang dan berkelok, namun di sanalah
sesungguhnya matamu mengembara, entah kepada kenang atau harapan, namun aku tak
terletak di sana. Entah di mana aku malam ini pada dirimu.
Kau menyandarkan tubuh pada tembok yang mulai lembab. Menggenggam
pemantik dan memainkan percikan api. Seperti ada sesuatu yang ingin kau bakar.
Entah apa. Sebab masa silam tak bisa dibakar dengan apa pun. Seperti juga dosa
yang tak bisa dihapus.
”Di mesjid ini dulu aku sering kali tidur dan koridor itu tidaklah
seperti ini.” Bisikmu saat percikan api semakin sering di jarimu.
”Ada banyak burung bersarang di kubah masjid ini. Kicaunya menyusup
dalam sujudku.” Kataku sesaat menatap matamu yang asyik menatap api lantas
pandanganmu menyeberang ke setiap lekuk koridor. Pada salah satu tiang
penyangganya kau katakan, kau sering kali duduk dan bersandar. Mungkin seperti
posisi dudukmu sekarang.
”Ada banyak malam yang terjaga.” Ucapmu sesaat setelah kupinjam pemantik
dan kunyalakan rokok terakhirku.
Aku seperti mendengar malam-malam yang resah. Entahlah, barangkali aku
salah mengartikan namun kata terjaga terucap sedemikian berat. Seperti
memanggul beban dan murung.
Asap rokok keluar masuk paru-paruku, lalu melayang di udara basah. Seperti
juga kabut yang pelan-pelan muncul di matamu. Melayang, naik, kemudian hilang
begitu saja. Sering kali kutanyakan kepadamu. Ke mana sesungguhnya api lenyap,
ke manakah asap sirna. Dan sering kali kau hanya diam.
”Terdapat banyak sajak dalam malam-malam terjagamu.” Pada isapan ketiga aku
menimpali. Dengan berusaha mengulang intonasimu pada kata terjaga.
”Bukankah kita disarankan untuk terjaga ketika orang lain terlelap.” Kau
menggeser duduk dan berbalik menatapku. Sepertinya kau terganggu dengan cara
pangucapanku yang terkesan seperti meledek. Padahal aku cuma ingin sedikit
merasakan suasana terjaga.
”Ya. Teramat banyak malam-malamku terjaga lantas terlalu lelap dalam
terjaga itu.” Aku kini terseret jauh ke belakang pada malam-malam yang dipenuhi
hujan. Terjaga dengan gigil. Tanpa api sama sekali. Tak ada api.
Beberapa helai rambut nampak lolos dari perangkap kerudungmu. Garis-garis hitam lembut itu begitu tegas pada pipimu. Sementara di
langit garis-garis bulan nampak perlahan membongkar awan. Angin mulai bangkit di bumi maupun di langit, di teras mesjid maupun di
hati. Gerimis belum usai. Di lampu-lampu temaram, jarum
gerimis masih berguguran. Pada koridor beberapa orang melangkah dengan hening.
Tak ada suara sama sekali.
Kau seperti merindukan sesuatu, sementara aku kembali merindukan gaduh
kicau burung-burung di kubah mesjid. Barangkali kau merindukan gaduh yang lain,
kicau yang lain, burung yang lain pula. Aku merindukan kembali sujud yang riuh
itu. Tak bisa kusebut khusyu namun aku mendapati sebuah pengembaraan yang
ajaib, ketika tiba-tiba mendapati seluruh burung menyusup dalam sujudku.
Kukatakan padamu, bahkan aku tak mengingat apakah membaca doa atau tidak pada
sujud itu. Entah berapa lama aku tersungkur. Karena seluruh yang ada di mesjid
telah kosong ketika aku ucapkan salam ke arah kanan dan kiri hidupku, padahal
sebelum aku shalat masih banyak yang shalat maupun dzikir. Tinggal aku, suara
burung dari kubah, detik waktu dari jam dinding.
Mesjid sungguh lengang namun terasa sangat berisi. Utuh. Dan aku ada
dalam lingkaran keutuhan itu, menjadi bagian di dalamnya. Dan ini saat aku
mengenal sesuatu yang bernama haru. Tadinya aku ingin mengajakmu untuk shalat
berjamaah. Tapi sayangnya ini masa saat kau sedang tak shalat. Seandainya tadi
kita jadi berjamaah, mungkin kau pun merasakan apa yang kurasakan.
”Tuliskan dalam sajak-sajakmu.” Pintamu, matamu semakin jauh menerawang.
Mungkin masih mengembara. Masih tak kutemukan diriku di sana. Di mana kau
letakkan diriku sesungguhnya.
”Ah, barangkali kau sekarang sedang menemukan getar sajak dari tanah
kenanganmu.” Sesungguhnya aku meraba kegelisahan dari tatapanmu. Akar seluruh
sajak-sajakmu.
”Masa itu telah usai pada sajak-sajak yang telah lewat. Aku tak bisa lagi
menulis sajak sejak menemuimu. Seluruh sajakku melulu tentang duri waktu.
Tentang manis kematian. Telah kau rontokkan seluruh duri itu. Kini aku hidup.
Ingin hidup. Maka aku tak menemukan sajak lagi.” Kau kembali mengambil pemantik
dari jariku, mempermainkannya layaknya anak kecil menemukan mainan.
”Sajak tak pernah mati, bukan?”
”Ya.”
”Dan kau merindukannya?”
”Aku lebih merindukanmu.”
”Dan kau gelisah.”
”Ah, pada setiap sajakmu, sekarang ini, aku mencecap kenikmatan seketika
aku menulis sajak. Pada setiap kata-katamu kutemukan
kata-kataku.”
”Lantas di mana kau tempatkan aku pada dirimu?”
”Utuh pada diriku.”
”Belum seluruhnya utuh.”
”Kau tak percaya padaku?”
”Utuhkan diriku pada sajak-sajakmu.”
”Dirimu hidup dalam doa-doaku.”
”Doa adalah penyatuan dengan-Nya. Sedang denganku akan utuh dengan
sajak-sajakmu. Aku merindukan kata-katamu, terlebih jika diriku terdapat di
dalamnya. Jangan membuat sajak untukku. Sebab itu hanya akan membuatmu
kehilangan kata-kata. Jadikan aku kata-kata dalam
sajakmu. Mungkin kau akan kembali menulis. Karena aku pun begitu.”
”Kau hanya membujukku untuk menulis kembali.”
”Kau gelisah. Diam hanya akan mengasahnya menjadi gelisah lain yang liar.
Kau tahu? Aku tak bisa melukiskan kicau burung tadi, ataupun sujudku tadi.
Sampai kapan juga kau tak bisa merangkainya jadi kata. Tapi burung dan sujud
adalah kata itu sendiri. Sajak itu sendiri. Karena itu aku akan menulis diksi
burung dan sujud dalam sajakku. Seperti apa sajakku, entahlah. Aku hanya akan
menuliskannya. Baru niat. Tapi ini lebih baik dari tidak sama sekali.
Setidaknya gelisah sedikit reda. Jika menunggu memahaminya, aku tak tahu kapan
aku akan mulai menulisnya.”
”Kaulah yang meredakan gelisahku.”
”Lantas gelisah yang kini mekar di matamu, nyatanya tak reda dengan
kehadiranku. Gelisah yang murni lahir dari persinggunganmu dengan hidup, dengan
semesta.”
”Sudahlah. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita kali ini. Mungkin
lebih pekat, karena tempat ini menyimpan beragam kenangan bagiku.” Kau berusaha
tersenyum seperti ingin menyudahi percakapan dan kembali sama-sama hening dan
sunyi. Seperti koridor itu, seperti koridor itu.
Gerimis tinggal jejaknya. Bulan purnama begitu bulat merayap di langit yang
mulai ditinggalkan awan. Bintang bersinar terang di puncak langit, tepat di
tempat kita menengadah. Terdengar bunyi saklar dari dalam mesjid. Satu per satu
lampu ruangan padam. Seseorang membawa sapu lantas menyapu lantai.
”Kenapa kau mengantarku shalat di mesjid ini?” ucapku sembari berdiri dan
mengajakmu untuk segera beranjak, karena gerimis tak lagi hadir.
”Karena aku ingin menulis sajak.” Ucapmu menggenggam jemariku.
”Sudah?” ucapku sedikit terkejut.
”Telah lunas seluruh kenangan, maka kau akan temukan dirimu dalam
sajak-sajakku. Tak lama lagi. Aku akan kembali menulis.”
”Aku tak sabar untuk membacanya. ”Bisikku, saat dua pasang kaki menyusuri
koridor yang sunyi. Dan kutemukan dirimu pada setiap tiangnya. Tersenyum
padaku. Tanpa kutahu artinya. Tapi kutemukan diriku dalam senyum itu.
”Kau telah membacanya.”
”Yang mana?”
”Aku mengirim seluruh burung dari hutan hatiku untuk bersarang di kubah
mesjid ini, telah kususupkan seluruh kicau rindu pada sujudmu, telah kau dengar
seluruhnya, sajak-sajakku kembali hidup. Di mesjid itu kusimpan seluruhnya,
kata dan kalimat, cinta dan perjalanan. Telah kau reguk seluruh isinya. Kini
kata-kata kembali mengalir dengan dirimu berdenyut di sajakku.” Kau berbicara
dengan tenang dan pelan. Aku perlahan melayang dalam kata-katamu. Meninggalkan
mesjid dengan sesuatu yang tak terkatakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar