Sonya Rury
Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong panjang, penuh
kelokan. Pada setiap tikungan, aku menemukan jejak luka yang dalam. Aku tak
ingin mencari sebab di balik matanya yang sembab. Aku sangat menghormati
keputusannya untuk menangis, di antara detak jarum jam yang menikam dan
mengiris.
Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa
permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di
leher jenjang perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit
menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia tiba-tiba
menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?”
Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah
menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk
mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega
dan dia pun meneruskan tangisnya.
Mendengarkan tangisnya yang panjang dan menyayat, aku menduga dia sangat
terlatih menangis atau setidaknya dia punya pengalaman yang panjang dalam soal
tangis-menangis. Tentu saja, dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan
dirinya yang perempuan. Tangis bukan hanya milik perempuan, tapi juga
laki-laki.
Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi menghubungkannya
dengan raut wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku ia menangis karena
memang harus menangis. Tidak setiap tangisan punya alasan. Karena itu, aku
tetap kukuh untuk tidak bertanya kenapa dan untuk apa dia menangis. Kupikir itu
tidak sopan.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih.
Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang
mengambang. Mungkin aku dianggapnya aneh dan berbeda dengan banyak laki-laki
lain yang selalu ingin tahu alasan seorang perempuan menangis. Lalu, laki-laki
itu mencoba menjadi tukang pemberi nasihat dengan kata-kata yang gagah dan
gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh cinta. Simpati seperti itu,
kupikir, tak lebih dari jebakan.
“Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?”
Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri
dengan mengambil nafas dalam dan panjang. Kegugupan mendorongku untuk menghunus
sebatang rokok dan menyulutnya. Kuhisap rokok itu kuat-kuat dan kuhembuskan
asapnya.
Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan
pada botol-botol bir yang kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan
berisi kacang goreng. Aku merasa kecanggungan itu mencair ketika perempuan
pelayan kafe datang dan mengangkat botol-botol itu. Tanpa berpikir panjang,
kupesan dua botol bir dan satu porsi kentang goreng. Perempuan pelayan itu
cepat melesat setelah pesananku dicatat. Kurasakan suasana canggung kembali
mengurung.
Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi
berambut coklat mengalunkan lagu. Irama dan suaranya menjelma sembilu.
“Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?”
Kembali ia menohokku. Hatiku merasa tersodok. Aku sulit menjawab. Kurasakan
aku gagal menyusun setiap kalimat atau suaraku seperti tercekat di tenggorokan.
“Aku selalu tertarik pada kisah-kisah perempuan. Namun, aku tidak bisa
memaksa setiap perempuan untuk menceritakan. Apalagi kita saling kenal belum
cukup lama.”
“Bagaimana kalau aku yang bercerita, tanpa kamu merasa bersalah untuk
mendengarnya?”
“Tapi aku lebih suka mendengar tangismu.”
“Kenapa? Kamu merasa terhibur?”
“Bukan. Bukan. Jangan salah paham.”
“Lalu, kenapa? Bukankah umumnya setiap orang menangis? Apa istimewanya
tangisku?”
“Tangismu sangat indah….”
Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku
sangat khawatir, ucapanku tadi menyakiti hatinya.
Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil.
“Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang
usiaku….”
Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan
menghilang diringkus kesunyian malam.
Tanpa kutanya, perempuan itu bercerita. Pertama kali dia menangis dengan
perasaan terluka sangat dalam ketika dia masih tumbuh remaja. Waktu itu,
seorang laki-laki setengah baya—yang telah dianggapnya sebagai orang tuanya
sendiri—menggagahi tubuhnya. Tangis dalamnya yang kedua adalah, ketika semasa
mahasiswa: seorang laki-laki mencoba memerkosanya. Tangis ketiganya pecah
ketika ia dilecehkan secara seksual oleh seorang laki-laki, bos dari sebuah
perusahaan, tempat ia melamar pekerjaan. Tangis keempat, tangis kedua puluh
lima, tangis keseratus satu… ah dia sudah tidak ingat.
“Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika
bersamamu.”
Darahku berdesir. Degub jantungku meningkat cepat.
“Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?”
“Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku
merasa aman dan nyaman. O ya, meskipun kita baru seminggu ini saling kenal, aku
merasakan kita sudah bersahabat sangat lama.”
Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku ini tak lebih
dari keranjang sampah yang baik dan santun.
“Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui dalam
hidupku. Kamu tak pernah ingin tahu apa alasanku menangis? Aku
merasakan tangisanku ini sia-sia….” Kembali dia “menyerangku”.
Darahku kembali berdesir. Beban rasa bersalah mendadak menindihku. Aku
menenggak bir langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu kurasakan tak
bertenaga meredam gebalau galau dalam hatiku.
“Aku baru saja cerai dengan suamiku,” ucapnya tiba-tiba.
Aku tersentak, tapi aku tak kuasa untuk mencari sebab. Aku hanya berani
menebak-nebak dalam benak. Mungkin, dia merasa dikhianati suaminya yang
berselingkuh dengan wanita lain. Atau, justru dirinya yang meninggalkan
suaminya karena tertarik pada pria lain? Atau alasan klise lainnya. Aku sama
sekali tak tertarik mengusutnya.
“Sekarang aku tinggal sendirian. Kebetulan, kami belum dikaruniai anak,
meskipun kami telah berumah tangga selama hampir empat tahun.” Perempuan itu
berbicara dengan pasti, tanpa emosi. Aku heran, kenapa kini dia tidak menangis?
“Aku ingin mengakhiri tangis hidupku malam ini, bersamamu. Kamu tidak
keberatan?”
Aku mengangguk.
Malam telah menjelma gelaran kain waktu yang lusuh, mungkin juga basah oleh
air mata perempuan yang sepanjang pertemuan kami tadi selalu menagis. Aku
kaget, mendadak ia menggenggam tanganku kuat-kuat. Aku ingin menariknya, tapi
tak kuasa. Kurasakan kehangatan mengaliri jiwaku. Aku pun pasrah dalam
genggamannya.
“Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi di sini,”
bisiknya.
“Kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu?” aku memberanikan diri
bertanya.
Agak lama dia diam. Menimbang-nimbang, mungkin dengan bimbang. Namun,
gumpalan kecemasanku pun runtuh oleh anggukan kepalanya. Kurasakan sayap-sayap
dalam tubuhku tumbuh.
Rumah perempuan yang kukenal bernama Sonya Rury itu terletak di sebuah
perbukitan yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari kota. Mobilku pun cepat
melesat, mencapai rumahnya yang mungil tapi indah itu.
Ia menggenggam erat tanganku, membimbingku memasuki ruang tamu. Ketika ia
masuk kamar tidurnya, aku duduk mengatur nafas dan degup jantungku. Saat itu
aku baru sadar, aku lelaki yang miskin petualangan.
Mendadak ia memanggil namaku. Ia memintaku masuk ke
kamarnya. Jantungku cepat berdegup. Aku gugup dan hanya bisa
terpaku diam di sofa. Ia mengulangi permintaannya. Kegugupan membimbing
langkahku.
Di kamar yang bercahaya temaram itu, ia berdiri memunggungiku. Hanya
separoh tubuh kuning langsatnya yang dibalut kain. Kutatap tubuhnya
lekat-lekat. Namun, perasaanku yang campur-aduk mendorong niatku untuk berbalik
keluar dari kamar. Dia mencegah.
“Kamu tidak melihat punggungku?”
“Ya, punggungmu penuh bekas luka. Bahkan beberapa luka masih tampak baru
dan segar…,” ucapku lirih.
“Kamu ingin tahu, kenapa luka-luka itu terpahat di punggungku?”
Dia memelukku.
“Siapa yang melukaimu?” aku gagap bertanya.
Sonya pun berkisah. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah
menawan di sebuah kafe. Mereka pun lama berpacaran. Laki-laki itu menyatakan
jatuh cinta dan berniat mengawininya.
“Tapi sebenarnya kami tak pernah menikah…. Maafkan aku telah berbohong di
kafe tadi…. Kami hanya kumpul kebo….”
Di bawah ancaman pembunuhan, ternyata laki-laki itu menjual Sonya kepada
para pelanggannya.
“Seluruh pukulannya telah merata dalam tubuhku. Juga sayatan dan tikaman
pisau lipat.”
Dengan sukma yang selalu meradang, Sonya terpaksa melayani beberapa laki-laki
yang bisa membayarnya. Setiap malam. Seluruh tubuh dan jiwanya terasa ngilu.
“Tapi aku tak pernah melihat uang hasil keringatku, apalagi memilikinya….”
Sonya nekat berlari.
“Inilah rumah persembunyianku. Liang hidupku….”
Malam telah menyusut, kegelapan pun semakin surut. Angin pagi bertiup
memasuki seluruh ruangan rumah ini, mengusap tubuh Sonya yang penuh luka.
Kutatap wajah Sonya yang tertidur pulas. Mungkin ia sedang menyusun
kedamaian dalam hatinya, di tengah pelarian yang penuh kecemasan.
Aneh, aku merasa telah menjadi bagian dari dunia Sonya yang cemas.
Kulihat mata Sonya tak lagi sembab. Ia telah mengakhiri tangis dalam hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar