Kunang-kunang di Langit Jakarta
Ia
kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap
menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya
selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena
kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
|
Mata
Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung
spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori
evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan
itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan
bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya
keturunan.
Ada
benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya
pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk
membuatnya tertarik bercinta denganmu.”
”Justru
itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik
memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia
tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut
perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.
Peter
pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama
rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran
rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum
pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau
burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen.
Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas
yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di
pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai
terbang.
Setiap
saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap
menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu
yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah,
galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong
panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh
apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih
hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah
Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri
duyung di pelabuhan Newfoundland St James….
Langit
mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup
masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe
ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di
pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu
mendekati mejanya.
”Kau
tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama
Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa
dengan tenang menikmati house
lemonade-mu itu…”
Entahlah,
kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya,
sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu
mengulang kenangan.
***
”Bukankah
kau ingin melihat kunang-kunang?”
Dulu,
semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada
dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal
sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia
melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam
stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.
”Ini
kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae
pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari
roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”
Saat
menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering
memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter
menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang
megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita
bercinta di bawahnya….”
Tapi ia
tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena
saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan
mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan
bising ini.
Ini
jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim
libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko
kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan
nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu
berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis
eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan.
Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan
beberapa peralatan lain dari ranselnya.
Ia
menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya
gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan
bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti
ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam
dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan,
terbang melayang-layang.
”Lihat,”
Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah
detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia
menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung
gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang
berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun
yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran
mendekatinya.
”Pejamkan
matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan
kisahnya padamu….”
Ia
merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara
Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic,
yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter
alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu.
Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir.
Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap
kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan
yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan
kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah
api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku
hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara
itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan
api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang
berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit
langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa
orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda
motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke
dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah
gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka
begitu beringas!”
”Mayat
saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh
kami kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah…
lihatlah….”
Ia
melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang
mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke
dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut
terseret suara-suara itu.
”Ayo,
ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Jane!!”
Ia
dengar teriakan cemas.
”Jane!!”
Ada
tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane!
Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak
akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian
dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan
terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub
pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang
gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak
kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti
sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota
dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip
bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam
itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman
yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah
hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke
kota ini dan kenangan.
***
Pertama
kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun
setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung
gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus
berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya,
kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang
disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya,
kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati
itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis
muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu
seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Peter
menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu
pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak
keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan
logika?”
Memang,
ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang
itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa
begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di
dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu
kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk
kunang-kunang dan kenangan.
Ia
selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit
menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah
yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di
atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota.
Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama
langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.
”Kelak,
bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam
koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara
kunang-kunang itu….”
Saat
itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika
telah menjadi kenangan.
***
Ia
tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter
meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh
Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin
seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala,
bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian
yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar
seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena
berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang
bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.
Dari
tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan
kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar
biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia.
Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang
itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian
menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak
sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah
menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan
beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika
kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira
ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit
kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.
Mata
Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di
antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya
kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia
tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca,
ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering
membuat kita sedih….”
Jane
tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu
muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”
Orang
itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi
mengingat peristiwa kerusuhan itu.
Jakarta,
2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar