Nima
Sobri bersiul.
Jari-jari tangannya yang kasar terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh Arni. Gadis
berusia enam tahun itu sesekali tertawa cekikikan. Kadang terdengar teriaknya,
”Jangan keras-keras, Pak!” Sobri tertawa. Kadang menggelitik ketiak bocah itu.
Setelah selesai menjelajahi seluruh tubuh anak itu dengan sabun di tangannya,
Sobri menyambar gayung dan menyendok air di bak mandi lalu mengguyur tubuh
bocah itu. Arni berjingkrak- jingkrak seperti tengah bermain lompat tali. Mengusir
rasa dingin. Dengan handuk yang baru dicuci, Sobri serta-merta
menyergap wajah bocah itu. Arni gelagapan. Sobri memindahkan balutan handuk itu
ke tubuh bocah itu. Lalu memapahnya keluar dari kamar mandi. ”Seger kan?”
katanya kepada gadis itu.
Betul hari ini Makku
pulang, Pak?” gadis itu bertanya kepada ayahnya ketika Sobri dengan telaten
menyeka sisa-sisa air dari tubuhnya.
”Jika tidak ada
halangan, Mak pulang hari ini,” jawab Sobri. Wajah gadis itu berbinar-binar.
Matanya berkilat-kilat. Sobri menyimpan sukacitanya dalam dadanya. Menahannya
sekuat tenaga agar letupannya tak terlihat Arni. Tiga tahun sudah Nima tak
pulang dari Jepang dengan berbagai alasan dan selama tiga tahun itu pula
kerinduan Sobri tertahan.
”Mak bawa apa nanti,
Pak?” Arni mengusik khayal Sobri yang mulai liar dibakar api kerinduan yang
begitu lama diperam.
”Boneka. Boneka
Jepang,” jawab Sobri. ”Makmu pernah bilang begitu. Apa namanya? Ah ya,
momotaro. Namanya momotaro.”
Arni cekikikan melihat
wajah ayahnya ketika mengucapkan kata itu. ”Tapi, seperti apa itu momo…
momotaro itu, Pak?”
”Wah, Bapak juga nggak
tahu. Nanti saja kita lihat sendiri seperti apa.”
”Lalu, bawa apa lagi?”
Arni melanjutkan pertanyaan sambil coba menyisir rambutnya yang panjang sebahu.
Sobri berpikir sesaat.
Matahari terus merambat mendaki kaki langit di sebelah timur, mengintip dari
balik gunung, satu-satunya gunung yang tinggal di Desa Cibaresah itu.
”Uang, Pak. Uang,” Arni
menjawab sendiri pertanyaannya. ”Uang untuk sekolah.”
Sobri mengambil sisir
dari tangan anak itu, membantunya menyisiri rambut anaknya. Ditatapnya wajah
bocah itu di kaca. Sobri mengagumi wajah Arni, wajah yang mirip dengan wajah
ibunya. Alis matanya yang hitam, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang
kemerahan, hidungnya yang mancung.
Dulu, Nima adalah
kembang di desanya. Bunga indah yang mekarnya tak cuma membuat banyak orang
terkagum-kagum, tapi juga harum menebarkan wewangiannya kepada siapa pun yang
berada di dekatnya. Sebagai putra kepala desa, Sobri beruntung akhirnya
berhasil memetik bunga indah bernama Nima itu. Tapi hidup ternyata berubah
begitu cepat. Sobri menjadi bukan siapa-siapa ketika ayahnya meninggal dunia
setahun setelah pernikahannya dengan Nima sampai kemudian datang seorang
pengerah tenaga kerja dan menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan di
Chiba, Jepang. ”Chiba itu seperti Depok. Letaknya tak begitu jauh dari Tokyo,
seperti juga Depok yang tak begitu jauh dengan Jakarta,” kata sang pengerah
tenaga kerja. ”Banyak orang yang bekerja di Tokyo, tapi tinggalnya di Chiba.
Jadi, Chiba itu kawasan permukiman, sedangkan Tokyo itu kawasan bisnis.” Sobri
cuma manggut- manggut. Baginya tak penting di mana Chiba berada. Yang
terpenting adalah Nima mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit untuk memperbaiki
kehidupan keluarga dan rumah tangganya.
”Mak pulang jam berapa,
Pak?” Arni mengusik lamunan Sobri lagi.
”Agak sore katanya,”
jawab Sobri.
Nima tentu sudah berada
dalam perut bus kota yang kini tengah berlari menuju arah barat dengan angin
menampar-nampar pipinya serta mencerai-beraikan rambutnya, Sobri membatin. Nima
pun tentu tengah dibakar kerinduan setelah tiga tahun bekerja. Dia pasti sudah
tak sabar ingin memeluk Arni, buah cinta mereka setelah tiga tahun bekerja
keras mengumpulkan uang demi keluarganya. Tentu dalam koper yang dibawanya
telah terselip barang-barang bagus untuk Arni. Kimono baru untuk anak-anak
seperti biasa dibawanya setiap kali pulang. Boneka-boneka Jepang yang tak
pernah dilupakannya. Hadiah buat Sobri adalah api cintanya, kehangatan
tubuhnya, dan gelegak gairahnya.
Satu hal lagi yang
diinginkan Sobri. Nima tak perlu lagi kembali ke Jepang. Dengan uang- uang
kirimannya selama ini, Sobri telah memiliki dua sepeda motor yang digunakannya
untuk ngojek dan satunya lagi disewakan. Untuk ukuran warga Desa Cibaresah,
rumah mereka juga sudah lumayan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu. Bukan
dari kayu atau bambu seperti umumnya rumah tetangga-tetangganya. Biarlah hidup
sederhana, asalkan setiap hari bisa bersama, pikir Sobri. Sobri juga ingin
memberi Arni adik.
Adik?
Sobri mendengar ketukan
di pintu. Ibunya berdiri dengan sesungging senyum. ”Kapan mantuku katanya tiba
di rumah, Sobri?” Dia langsung menyergap Sobri. ”Siapa saja yang pulang
bersamanya? Ainun, Sarti, apa juga ikut pulang?”
Arni melompat mendengar
suara neneknya. Menghampiri dan mencium tangan keriput neneknya.
”Mak pulangnya sore,
Wak,” Arni membantu Sobri menjawab pertanyaan ibunya. ”Kata Bapak….”
”Betul, Sobri?” Wanita
itu mengambil kursi dan duduk perlahan-lahan.
”Kabarnya begitu, Bu.
Tapi, Ainun dan Sarti mungkin tidak ikut pulang,” kata Sobri menyebut dua nama
TKW yang ikut bekerja bersama Nima di Jepang. Ainun dan Sarti adalah tetangga
mereka. ”Lagi pula, kabarnya mereka sudah pindah ke… ke… ke Malaysia kalau saya
tidak salah.”
”Kenapa rupanya?”
”Biasa, Ibu. Kontrak
mereka di Jepang sudah habis.”
Satu per satu keluarga
dekat dan keluarga jauh serta tetangga Sobri datang dan kemudian meramaikan
rumah di tikungan jalan di mana di depannya terdapat sungai kecil yang bening
airnya membuat ikan-ikan kecil yang berlari-larian ke sana kemari terlihat
sangat jelas. Arni pun sudah asyik bercengkerama dan bercanda dengan
sepupu-sepupunya. Dalam beberapa saat saja rumah itu sudah berubah menjadi
layaknya pasar. Sesekali Sobri mendapat sindiran-sindiran nakal. Sobri
menanggapinya dengan senyum-senyum.
”Ingat, Sobri,” kata
abangnya, ”jangan kau izinkan lagi Nima ke luar negeri. Selama ini kan dia baru
tiga kali pulang setelah lima tahun bekerja. Dia harus berhenti. Semua kau
sudah punya. Ada rumah. Ada sepeda motor. Apa lagi?”
”Yang kurang cuma adik
buat Arni,” sambung yang lain.
”Ya itu penting. Kau
laki-laki tulen. Apa mau kau bertahun-tahun terus kesepian? Lagi pula, Nima itu
kan tidak jelek. Berbahaya kalau dia pun terlalu lama di luar negeri.”
***
Tapi, sepekan setelah
kepulangannya di Cibaresah, Nima mengatakan akan kembali ke Jepang, mendahului
keinginan Sobri untuk mengatakan Nima tak boleh kembali ke luar negeri.
”Minggu depan saya
sudah harus kembali ke Jepang, Pak,” kata Nima ketika suaminya tengah
memanaskan sepeda motor di depan rumah.
Sobri menahan degup
jantungnya. Rasa sesal juga menyelinap di lubuk hatinya. Kenapa aku tak
mengatakan dia harus berhenti bekerja sejak kemarin? Sobri mengutuk
keterlambatannya.
Nima mengatakan tak
bisa berlama-lama di Cibaresah karena perusahaannya di Jepang hanya memberikan
izin cuti selama dua minggu. ”Kantor saya buka setiap hari, Pak,” kata Nima
ketika Sobri pura-pura mengutak-atik motornya sambil menahan gejolak di
dadanya.
Dia tahu, Nima takkan
mudah dicegah. Akan jadi perkelahian besar jika dia bersikeras Nima tak boleh
kembali ke Jepang. Dan, jika Nima benar-benar pergi, yang akan kehilangan bukan
cuma dirinya, tapi juga Arni, putrinya. Kepadanya Arni juga mengatakan ingin ibunya
tak bekerja lagi di luar negeri.
”Bilang sama Makmu,”
kata Sobri dua hari lalu ketika Arni mengungkapkan hal itu.
”Aku takut, Pak.”
”Kenapa takut?”
”Takut Mak marah.”
”Kenapa Makmu marah?”
Arni tak bisa menjawab.
”Makmu takkan memarahi kamu cuma karena kamu mengatakan kamu ingin Makmu tak
kembali ke luar negeri,” kata Sobri meyakinkan putrinya.
”Bapak yang bilang,”
Arni merajuk.
Berdiam sesaat, Sobri
kemudian mengatakan, ”Ya, nanti Bapak yang akan bilang.” Dan Arni pun
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi ternyata dia belum sempat mengatakannya.
Dan kini dia harus menahan rasa gundah di dadanya.
Terbayang di wajahnya
duka Arni kelak begitu ibunya kembali ke Jepang. Duka seorang bocah yang
menginginkan dekapan hangat dan kasih sayang orangtuanya. Duka seorang bocah
yang tak lagi bisa bercerita kepada ibunya jika dia terluka karena terjatuh,
tak lagi bisa menyampaikan rasa bangganya setelah bisa menghafalkan ayat-ayat
suci Al Quran dari guru mengajinya, karena tak bisa lagi meminta uang jajan
jika ayahnya sedang tak ada di rumah, atau mengantarkannya berjalan-jalan di
pematang sawah sambil menikmati hamparan padi yang menguning indah seperti
permadani.
Kepulangan Nima memang
membawa uang yang sangat banyak. Mereka bisa membeli pesawat televisi baru,
membeli sepeda kecil untuk Arni, membangun pagar rumah. Malahan Nima sempat
membawa Arni ke kota dan membuka tabungan untuk putrinya. Andaikan daya listrik
di rumah besar, Nima juga sanggup membelikan keluarganya kulkas dan mesin cuci.
Tapi, uang itu sama sekali tak bisa menggantikan sosok Nima. Yang mereka
butuhkan bukan cuma uang yang banyak, tapi juga kasih sayang yang berlimpah dan
tak tersekat oleh jarak. Karena itu Sobri lebih suka Nima tetap berada di
rumah, di Cibaresah, bahkan meskipun mereka tak memiliki apa-apa.
Tapi, kepergian Nima
tak bisa dicegah. Seminggu kemudian, Arni cuma bisa menjerit-jerit ketika
ibunya melangkah meninggalkan rumah. Tak satu orang pun bisa menahan Nima.
Bahkan air mata dan tangis Arni sekalipun.
***
Dalam perut pesawat
terbang yang akan membawanya ke Jepang, air mata Nima meleleh. Tangis dan
jeritan Arni terdengar melengking di telinganya. Sesaat kemudian tawa
kebahagiaan Arni juga bermain-main dalam benaknya. Juga dekapan Arni yang
begitu ketat menyambut kedatangannya. Dekapan yang seolah tak ingin
dilepaskannya. Sesaat Nima mengutuk dirinya yang pada akhirnya tega
meninggalkan Arni, bocah yang begitu membutuhkan kasih sayangnya. Berkali-kali
dia mencoba, tetapi selalu gagal untuk menepis semua bayang-bayang Arni.
Dari dalam tasnya dia
kemudian mengeluarkan sebuah foto. Foto Erica. Nima ingat, foto itu diambil
Eric Sato ketika gadis berusia dua tahun itu tengah berlari di sebuah taman
bermain di Chiba, tak jauh dari Hotel Ambassador. Gadis itu sangat
menggemaskan. Erica jadi gadis kebanggaan Eric, laki-laki yang menyergapnya di
suatu malam yang begitu dingin di bulan Februari tiga tahun yang lalu. Segunung
sesal karena dia lupa mengunci pintu kamar apartemennya tak lagi punya arti
ketika semuanya terjadi begitu cepat. Sesudahnya Nima cuma bisa mengurai air
mata sia-sia hingga pagi menjelang dan bongkahan-bongkahan air yang membeku di
atas jendela sedikit demi sedikit mengalirkan cairnya.
”Aku melakukannya
dengan nafsu,” ujar Eric setelah benih- benih mulai tumbuh dalam rahim Nima. ”Tapi
nafsuku bukan tanpa cinta. Besok kita menikah. Aku memaksamu untuk menjadi
istriku. Aku akan menjadi ayah dari janin dalam kandunganmu.”
Berkali-kali Nima
menegaskan bahwa dia sudah memiliki suami dan seorang anak, namun Eric tak mau
memercayainya. ”Kamu masih sangat muda. Tidak mungkin kamu sudah menikah. Kamu
haru menjadi istriku,” katanya.
Kenyataannya Eric
memang sangat mencintainya. Dia memberi Nima segala perhatian yang dibutuhkan
seorang perempuan, sampai kemudian Erica lahir, sampai kemudian dia menemukan
dirinya sudah terperangkap dalam labirin kebingungan antara cintanya kepada
Sobri dan Arni dengan rasa sayang yang diam-diam tumbuh dan tumbuh dan tumbuh
terhadap Erica dan Eric.
Di sebuah apartemen tak
seberapa jauh dari stasiun kereta MRT di Chiba (Nima selalu berjalan kaki ke
stasiun itu kemudian naik kereta cepat ke Narita dan kemudian terbang ke
Indonesia), Nima tahu Erica kini tengah menantikan kedatangannya. Juga Eric
yang melepaskan kepergiannya ke tanah airnya dengan ancaman mematikan. ”Aku
akan menyusulmu, aku akan menjemputmu jika kamu tidak kembali dalam waktu dua
minggu.”
Nima tahu dia tak
mungkin mengabaikan ancaman itu. Eric akan benar-benar menyusulnya jika dia
mengingkari janjinya. Nima tahu siapa suaminya. Nima tak tahu kegemparan apa
yang akan melanda Cibaresah jika hal itu sampai terjadi.
Nima kemudian
menyandarkan kepalanya setelah diam-diam menelan beberapa butir obat tidur di
toilet. Dalam pejam matanya tiba-tiba bayangan Arni melintas. Tengah
berlari-lari bersama Erica sambil tertawa-tawa di sebuah taman entah di mana. Tanah Kusir, Juli
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar