Jumat, 12 Juni 2015

Cerpen Nima



Nima


Sobri bersiul. Jari-jari tangannya yang kasar terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh Arni. Gadis berusia enam tahun itu sesekali tertawa cekikikan. Kadang terdengar teriaknya, ”Jangan keras-keras, Pak!” Sobri tertawa. Kadang menggelitik ketiak bocah itu. Setelah selesai menjelajahi seluruh tubuh anak itu dengan sabun di tangannya, Sobri menyambar gayung dan menyendok air di bak mandi lalu mengguyur tubuh bocah itu. Arni berjingkrak- jingkrak seperti tengah bermain lompat tali. Mengusir rasa dingin. Dengan handuk yang baru dicuci, Sobri serta-merta menyergap wajah bocah itu. Arni gelagapan. Sobri memindahkan balutan handuk itu ke tubuh bocah itu. Lalu memapahnya keluar dari kamar mandi. ”Seger kan?” katanya kepada gadis itu.
Betul hari ini Makku pulang, Pak?” gadis itu bertanya kepada ayahnya ketika Sobri dengan telaten menyeka sisa-sisa air dari tubuhnya.
”Jika tidak ada halangan, Mak pulang hari ini,” jawab Sobri. Wajah gadis itu berbinar-binar. Matanya berkilat-kilat. Sobri menyimpan sukacitanya dalam dadanya. Menahannya sekuat tenaga agar letupannya tak terlihat Arni. Tiga tahun sudah Nima tak pulang dari Jepang dengan berbagai alasan dan selama tiga tahun itu pula kerinduan Sobri tertahan.
”Mak bawa apa nanti, Pak?” Arni mengusik khayal Sobri yang mulai liar dibakar api kerinduan yang begitu lama diperam.
”Boneka. Boneka Jepang,” jawab Sobri. ”Makmu pernah bilang begitu. Apa namanya? Ah ya, momotaro. Namanya momotaro.”
Arni cekikikan melihat wajah ayahnya ketika mengucapkan kata itu. ”Tapi, seperti apa itu momo… momotaro itu, Pak?”
”Wah, Bapak juga nggak tahu. Nanti saja kita lihat sendiri seperti apa.”
”Lalu, bawa apa lagi?” Arni melanjutkan pertanyaan sambil coba menyisir rambutnya yang panjang sebahu.
Sobri berpikir sesaat. Matahari terus merambat mendaki kaki langit di sebelah timur, mengintip dari balik gunung, satu-satunya gunung yang tinggal di Desa Cibaresah itu.
”Uang, Pak. Uang,” Arni menjawab sendiri pertanyaannya. ”Uang untuk sekolah.”
Sobri mengambil sisir dari tangan anak itu, membantunya menyisiri rambut anaknya. Ditatapnya wajah bocah itu di kaca. Sobri mengagumi wajah Arni, wajah yang mirip dengan wajah ibunya. Alis matanya yang hitam, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang kemerahan, hidungnya yang mancung.
Dulu, Nima adalah kembang di desanya. Bunga indah yang mekarnya tak cuma membuat banyak orang terkagum-kagum, tapi juga harum menebarkan wewangiannya kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Sebagai putra kepala desa, Sobri beruntung akhirnya berhasil memetik bunga indah bernama Nima itu. Tapi hidup ternyata berubah begitu cepat. Sobri menjadi bukan siapa-siapa ketika ayahnya meninggal dunia setahun setelah pernikahannya dengan Nima sampai kemudian datang seorang pengerah tenaga kerja dan menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan di Chiba, Jepang. ”Chiba itu seperti Depok. Letaknya tak begitu jauh dari Tokyo, seperti juga Depok yang tak begitu jauh dengan Jakarta,” kata sang pengerah tenaga kerja. ”Banyak orang yang bekerja di Tokyo, tapi tinggalnya di Chiba. Jadi, Chiba itu kawasan permukiman, sedangkan Tokyo itu kawasan bisnis.” Sobri cuma manggut- manggut. Baginya tak penting di mana Chiba berada. Yang terpenting adalah Nima mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan rumah tangganya.
”Mak pulang jam berapa, Pak?” Arni mengusik lamunan Sobri lagi.
”Agak sore katanya,” jawab Sobri.
Nima tentu sudah berada dalam perut bus kota yang kini tengah berlari menuju arah barat dengan angin menampar-nampar pipinya serta mencerai-beraikan rambutnya, Sobri membatin. Nima pun tentu tengah dibakar kerinduan setelah tiga tahun bekerja. Dia pasti sudah tak sabar ingin memeluk Arni, buah cinta mereka setelah tiga tahun bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarganya. Tentu dalam koper yang dibawanya telah terselip barang-barang bagus untuk Arni. Kimono baru untuk anak-anak seperti biasa dibawanya setiap kali pulang. Boneka-boneka Jepang yang tak pernah dilupakannya. Hadiah buat Sobri adalah api cintanya, kehangatan tubuhnya, dan gelegak gairahnya.
Satu hal lagi yang diinginkan Sobri. Nima tak perlu lagi kembali ke Jepang. Dengan uang- uang kirimannya selama ini, Sobri telah memiliki dua sepeda motor yang digunakannya untuk ngojek dan satunya lagi disewakan. Untuk ukuran warga Desa Cibaresah, rumah mereka juga sudah lumayan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu. Bukan dari kayu atau bambu seperti umumnya rumah tetangga-tetangganya. Biarlah hidup sederhana, asalkan setiap hari bisa bersama, pikir Sobri. Sobri juga ingin memberi Arni adik.
Adik?
Sobri mendengar ketukan di pintu. Ibunya berdiri dengan sesungging senyum. ”Kapan mantuku katanya tiba di rumah, Sobri?” Dia langsung menyergap Sobri. ”Siapa saja yang pulang bersamanya? Ainun, Sarti, apa juga ikut pulang?”
Arni melompat mendengar suara neneknya. Menghampiri dan mencium tangan keriput neneknya.
”Mak pulangnya sore, Wak,” Arni membantu Sobri menjawab pertanyaan ibunya. ”Kata Bapak….”
”Betul, Sobri?” Wanita itu mengambil kursi dan duduk perlahan-lahan.
”Kabarnya begitu, Bu. Tapi, Ainun dan Sarti mungkin tidak ikut pulang,” kata Sobri menyebut dua nama TKW yang ikut bekerja bersama Nima di Jepang. Ainun dan Sarti adalah tetangga mereka. ”Lagi pula, kabarnya mereka sudah pindah ke… ke… ke Malaysia kalau saya tidak salah.”
”Kenapa rupanya?”
”Biasa, Ibu. Kontrak mereka di Jepang sudah habis.”
Satu per satu keluarga dekat dan keluarga jauh serta tetangga Sobri datang dan kemudian meramaikan rumah di tikungan jalan di mana di depannya terdapat sungai kecil yang bening airnya membuat ikan-ikan kecil yang berlari-larian ke sana kemari terlihat sangat jelas. Arni pun sudah asyik bercengkerama dan bercanda dengan sepupu-sepupunya. Dalam beberapa saat saja rumah itu sudah berubah menjadi layaknya pasar. Sesekali Sobri mendapat sindiran-sindiran nakal. Sobri menanggapinya dengan senyum-senyum.
”Ingat, Sobri,” kata abangnya, ”jangan kau izinkan lagi Nima ke luar negeri. Selama ini kan dia baru tiga kali pulang setelah lima tahun bekerja. Dia harus berhenti. Semua kau sudah punya. Ada rumah. Ada sepeda motor. Apa lagi?”
”Yang kurang cuma adik buat Arni,” sambung yang lain.
”Ya itu penting. Kau laki-laki tulen. Apa mau kau bertahun-tahun terus kesepian? Lagi pula, Nima itu kan tidak jelek. Berbahaya kalau dia pun terlalu lama di luar negeri.”
***
Tapi, sepekan setelah kepulangannya di Cibaresah, Nima mengatakan akan kembali ke Jepang, mendahului keinginan Sobri untuk mengatakan Nima tak boleh kembali ke luar negeri.
”Minggu depan saya sudah harus kembali ke Jepang, Pak,” kata Nima ketika suaminya tengah memanaskan sepeda motor di depan rumah.
Sobri menahan degup jantungnya. Rasa sesal juga menyelinap di lubuk hatinya. Kenapa aku tak mengatakan dia harus berhenti bekerja sejak kemarin? Sobri mengutuk keterlambatannya.
Nima mengatakan tak bisa berlama-lama di Cibaresah karena perusahaannya di Jepang hanya memberikan izin cuti selama dua minggu. ”Kantor saya buka setiap hari, Pak,” kata Nima ketika Sobri pura-pura mengutak-atik motornya sambil menahan gejolak di dadanya.
Dia tahu, Nima takkan mudah dicegah. Akan jadi perkelahian besar jika dia bersikeras Nima tak boleh kembali ke Jepang. Dan, jika Nima benar-benar pergi, yang akan kehilangan bukan cuma dirinya, tapi juga Arni, putrinya. Kepadanya Arni juga mengatakan ingin ibunya tak bekerja lagi di luar negeri.
”Bilang sama Makmu,” kata Sobri dua hari lalu ketika Arni mengungkapkan hal itu.
”Aku takut, Pak.”
”Kenapa takut?”
”Takut Mak marah.”
”Kenapa Makmu marah?”
Arni tak bisa menjawab. ”Makmu takkan memarahi kamu cuma karena kamu mengatakan kamu ingin Makmu tak kembali ke luar negeri,” kata Sobri meyakinkan putrinya.
”Bapak yang bilang,” Arni merajuk.
Berdiam sesaat, Sobri kemudian mengatakan, ”Ya, nanti Bapak yang akan bilang.” Dan Arni pun berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi ternyata dia belum sempat mengatakannya. Dan kini dia harus menahan rasa gundah di dadanya.
Terbayang di wajahnya duka Arni kelak begitu ibunya kembali ke Jepang. Duka seorang bocah yang menginginkan dekapan hangat dan kasih sayang orangtuanya. Duka seorang bocah yang tak lagi bisa bercerita kepada ibunya jika dia terluka karena terjatuh, tak lagi bisa menyampaikan rasa bangganya setelah bisa menghafalkan ayat-ayat suci Al Quran dari guru mengajinya, karena tak bisa lagi meminta uang jajan jika ayahnya sedang tak ada di rumah, atau mengantarkannya berjalan-jalan di pematang sawah sambil menikmati hamparan padi yang menguning indah seperti permadani.
Kepulangan Nima memang membawa uang yang sangat banyak. Mereka bisa membeli pesawat televisi baru, membeli sepeda kecil untuk Arni, membangun pagar rumah. Malahan Nima sempat membawa Arni ke kota dan membuka tabungan untuk putrinya. Andaikan daya listrik di rumah besar, Nima juga sanggup membelikan keluarganya kulkas dan mesin cuci. Tapi, uang itu sama sekali tak bisa menggantikan sosok Nima. Yang mereka butuhkan bukan cuma uang yang banyak, tapi juga kasih sayang yang berlimpah dan tak tersekat oleh jarak. Karena itu Sobri lebih suka Nima tetap berada di rumah, di Cibaresah, bahkan meskipun mereka tak memiliki apa-apa.
Tapi, kepergian Nima tak bisa dicegah. Seminggu kemudian, Arni cuma bisa menjerit-jerit ketika ibunya melangkah meninggalkan rumah. Tak satu orang pun bisa menahan Nima. Bahkan air mata dan tangis Arni sekalipun.
***
Dalam perut pesawat terbang yang akan membawanya ke Jepang, air mata Nima meleleh. Tangis dan jeritan Arni terdengar melengking di telinganya. Sesaat kemudian tawa kebahagiaan Arni juga bermain-main dalam benaknya. Juga dekapan Arni yang begitu ketat menyambut kedatangannya. Dekapan yang seolah tak ingin dilepaskannya. Sesaat Nima mengutuk dirinya yang pada akhirnya tega meninggalkan Arni, bocah yang begitu membutuhkan kasih sayangnya. Berkali-kali dia mencoba, tetapi selalu gagal untuk menepis semua bayang-bayang Arni.
Dari dalam tasnya dia kemudian mengeluarkan sebuah foto. Foto Erica. Nima ingat, foto itu diambil Eric Sato ketika gadis berusia dua tahun itu tengah berlari di sebuah taman bermain di Chiba, tak jauh dari Hotel Ambassador. Gadis itu sangat menggemaskan. Erica jadi gadis kebanggaan Eric, laki-laki yang menyergapnya di suatu malam yang begitu dingin di bulan Februari tiga tahun yang lalu. Segunung sesal karena dia lupa mengunci pintu kamar apartemennya tak lagi punya arti ketika semuanya terjadi begitu cepat. Sesudahnya Nima cuma bisa mengurai air mata sia-sia hingga pagi menjelang dan bongkahan-bongkahan air yang membeku di atas jendela sedikit demi sedikit mengalirkan cairnya.
”Aku melakukannya dengan nafsu,” ujar Eric setelah benih- benih mulai tumbuh dalam rahim Nima. ”Tapi nafsuku bukan tanpa cinta. Besok kita menikah. Aku memaksamu untuk menjadi istriku. Aku akan menjadi ayah dari janin dalam kandunganmu.”
Berkali-kali Nima menegaskan bahwa dia sudah memiliki suami dan seorang anak, namun Eric tak mau memercayainya. ”Kamu masih sangat muda. Tidak mungkin kamu sudah menikah. Kamu haru menjadi istriku,” katanya.
Kenyataannya Eric memang sangat mencintainya. Dia memberi Nima segala perhatian yang dibutuhkan seorang perempuan, sampai kemudian Erica lahir, sampai kemudian dia menemukan dirinya sudah terperangkap dalam labirin kebingungan antara cintanya kepada Sobri dan Arni dengan rasa sayang yang diam-diam tumbuh dan tumbuh dan tumbuh terhadap Erica dan Eric.
Di sebuah apartemen tak seberapa jauh dari stasiun kereta MRT di Chiba (Nima selalu berjalan kaki ke stasiun itu kemudian naik kereta cepat ke Narita dan kemudian terbang ke Indonesia), Nima tahu Erica kini tengah menantikan kedatangannya. Juga Eric yang melepaskan kepergiannya ke tanah airnya dengan ancaman mematikan. ”Aku akan menyusulmu, aku akan menjemputmu jika kamu tidak kembali dalam waktu dua minggu.”
Nima tahu dia tak mungkin mengabaikan ancaman itu. Eric akan benar-benar menyusulnya jika dia mengingkari janjinya. Nima tahu siapa suaminya. Nima tak tahu kegemparan apa yang akan melanda Cibaresah jika hal itu sampai terjadi.
Nima kemudian menyandarkan kepalanya setelah diam-diam menelan beberapa butir obat tidur di toilet. Dalam pejam matanya tiba-tiba bayangan Arni melintas. Tengah berlari-lari bersama Erica sambil tertawa-tawa di sebuah taman entah di mana. Tanah Kusir, Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar