Janji
Ini sepenggal cerita yang kupunya, dari serpih-serpih masa silam yang
tersisa. Cerita tentang seorang lelaki bermata surya. Penuh dengan
muatan energi. Juga, nyalang dan kejam.Lelaki yang dengannya aku pernah
menghabiskan sepersepuluh dari usia yang telah dijatahkan Tuhan untukku. Dan
sepersepuluh waktu itu adalah impian tentang sarang lebah yang menggantung
ringkih di pohon tua, dengan kubangan hitam pekat di sekeliling bawahnya.
Lelaki bermata surya itu bukanlah seorang pria tampan bak pangeran. Toh,
tak juga terlalu buruk rupa. Ia juga bukan belia pengobral kata. Hanya seorang
lelaki yang tak lagi muda, dengan beberapa gurat keriput di wajahnya. Bibir
tipis yang nyaris terkatup sepanjang hari. Sehingga suaranya pun aku lupa
seperti apa persisnya.
Yang bersemayam dalam ruang ingatanku hanya cengkeraman tangannya.
Cengkeraman yang kukuh, liar dan menyakitkan. Cengkeraman yang begitu intim
dengan lenganku dan menyisakan beberapa lekukan, jejak hunjam kuku hitamnya.
Serta beberapa birat, yang dulunya mengalirkan darah segar. Darah yang
kuperoleh dengan susah payah dari sisa makanan yang disedekahkan tetangga.
Baiklah, kumulai saja ceritanya. Sebelum temaram yang menggantung di mataku
semakin pekat. Kisah hidupku dengan lelaki itu dimulai saat ibu membawa pulang
seseorang di suatu pagi yang cemerlang. Dan bayangan yang menghalangi masuknya
sinar matahari dari pintu itu ternyata milik seorang lelaki yang dikenalkan ibu
sebagai ayah.
Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku asing dengan wajahnya, tubuhnya,
tatapannya bahkan untuk menyapanya, Ayah! Aku tak mengerti dan sedikit tak mau
tahu, apakah ia benar-benar ayahku atau seseorang yang dipungut ibu entah dari
rimba mana, untuk menjadi ayahku. Yang aku tahu, setelah kehadirannya, aku
memiliki seorang ayah. Satu figur yang tak pernah kupunya, bahkan sejak saat
pertama aku berkenalan dengan aroma dunia.
Sejak kehadiran ’ayah’ di rumah, ibu semakin tak punya waktu untukku. Ia
bahkan tak pernah lagi memandikanku. Menggosok tengkukku—tempat di mana daki
begitu cepat menutupi putih kulit asli—apalagi memijat kulit kepalaku dengan
minyak kemiri. Tak! Yang ada, ibu sibuk mengurusi ayah. Makan ayah, pakaian
ayah, air hangat untuk mandi ayah, serta menempeli ayah sepanjang waktu ia
berada di rumah.
Ibu juga tak peduli padaku, meski ia tahu ada yang berubah pada tampilan
fisikku. Aku mulai berlekuk. Sama seperti ibu! Aku juga mulai ketiban ’tamu
bulanan’. Yang pertama kali kutemukan saat mengganti pakaian dalam
sepulang sekolah. Yang kutatap dengan nanar dan ketakutan, lalu menyurukkannya
pada kolong lemari usang di sudut kamar. Cemas dan panik yang memeluk seluruh
benak, membuatku menarik selendang usang yang tersampir di balik pintu. Punya
ibu. Aku melipatnya tanpa pola. Mengganti celana dalam lalu menyelipkan lipatan
selendang di antara selangkangan. Berbagai praduga mengisi benak.
Menebak-nebak, benda apa yang tadi mencederai organ keperempuananku?
Meski tanya itu tak pernah terjawab, meski ibu tak pernah menyadari
kehilangan beberapa selendangnya, meski darah terus mengalir selama enam hari
berturut-turut, toh setelah semuanya kembali normal tanyaku juga hilang begitu
saja. Dan bulan-bulan selanjutnya aku menjadi terbiasa. Terbiasa mengambil kain
apa saja, untuk mencegah darah mengalir. Setelah terkumpul banyak, memberanikan
diri untuk mencucinya di sungai kecil beberapa kilometer di belakang rumah.
Meski dengan gumpalan rasa jijik, toh aku merasa terhibur dengan aliran darah
yang mengalir dari kain-kain basah, lalu menghilang dalam lumatan riak-riak
sungai.
Tapi itu tak lama. Karena yang terjadi sesudahnya, tiga bulan kemudian,
jauh dari gapai duga yang kupunya. Tak terlintas sedikit
pun. Ibu pergi. Pergi di suatu pagi. Pergi meninggalkan banyak luka. Luka di
tubuhnya dan luka di hatiku. Ia juga meninggalkan banyak darah dan tanya. Darah
yang menciprat tak hanya di sekujur tubuh, juga di pematang sawah, di baju
ayah, di tangan dan tubuhku yang memeluk tubuh kakunya. Banyak tanya yang
tersisa. Namun diam ayah memenjarakan tanya itu di palung hatiku.
Kami mengubur ibu di belakang rumah. Tak ada yang mengetahui kematian ibu,
selain kami, angin dan helai daun padi yang berayun di sekitar jasad ibu. Aku
kerap membeo kalimat ayah bila ada yang bertanya tentang ibu. ”Ibu ke Malaysia,
jadi TKW.” Dan dari sudut mata kulihat ia tersenyum samar, puas dengan
jawabanku. Lalu semua tanya menguap begitu saja, raib bersama waktu yang
berlari.
Setahun berlalu seperti angin. Ayah menghabiskan waktunya di rumah dan
sawah. Hanya itu. Ia tak pernah mampir di warung, berbincang seperti kebanyakan
lelaki penghuni kampung. Ia selalu pulang di jam yang sama. Dan aku, penunggu
rumah yang setia. Jauh melampaui anjing tetangga, yang terkadang berlari
kesana-kemari.
Sepeninggal ibu, kami lebih miskin dari sebelumnya. Makan hanya sekadarnya.
Lauk pauk adalah barang mewah yang bersemayam di ranah impian. Tak terjangkau.
Paling jauh, sepotong kecil ikan asin yang disuguhkan tetangga bersama sepiring
nasi hangat. Hadiah untukku yang membantu menjaga balita mereka. Ayah memang
menghabiskan waktunya di sawah. Tapi setengah dari waktu itu dihabiskannya
dengan duduk merenung di pinggir pematang. Memandang kosong ke tempat di mana dulu ibu terkapar bermandi darah!
Ayah sepertinya memang akrab dengan darah. Beberapa kali dalam sebulan,
Ayah selalu pulang dalam keadaan berdarah-darah. Kulitnya berbarut-barut,
seperti tergores senjata tajam. Toh, aku tak yakin ia baru berkelahi dengan
seseorang. Dan aku tak berani bertanya. Seperti biasa. Aku hanya mencuci
pakaiannya yang bernoda ke sungai kecil di belakang rumah. Dan menikmati darah
yang mengalir dari baju basah, beringsut mencumbu beningnya air sungai yang
mengalir. Entah kenapa aku menikmatinya. Begitu seterusnya.
Dan neraka itu mulai menunjukkan aromanya, beberapa bulan setelah fenomena
baju berdarah. Ayah kerap marah tanpa alasan. Ia kerap mencengkeram lengan dan
mendorong tubuh kurusku ke sudut ruang. Tatap nyalangnya memerintahkanku untuk
tetap di situ berjam-jam lamanya. Menghitung detik dalam gelap, yang rasanya
lebih panjang dari empat purnama. Dan itu merupakan awal!
Ayah bukan lagi figur asing yang pertama kukenal. Ayah berubah menjadi
sosok tak terjamah kewarasan. Kehadirannya bukan saja mimpi buruk tapi sebuah
reinkarnasi makhluk tak berperadaban. Aku tak mengenalinya. Sama sekali. Tak.
Aku ingat malam ketiga dalam hukuman, ketika bayangnya hadir di celah sinar
yang menyeruak kegelapan. Membawa pisau berkilau dan secangkir minuman. Hatiku
bergetar. Tubuhku menggeletar. Jiwaku tersirap memikirkan apa yang akan
dilakukannya dengan pisau di tangan. Akankah aku bernasib sama dengan ibu?
Akankah aku mati sebelum menikmati cinta pertama, surga dunia masa remaja yang
kucuri dengar dari pembicaraan gadis-gadis di sungai belakang rumah?
Namun, sepertinya ketakutanku terlalu hitam. Lelaki itu menyodorkan cangkir
di tangannya. Tanpa bicara. Hanya dagunya bergerak sekadarnya, menyuruhku
minum. Meski ragu, dahaga lebih dulu mengambil keputusan. Mengalahkan bayang-bayang
menyeramkan. Begitu gelas kosong kuletakkan di lantai, ia bergerak membantuku
berdiri. Memapah ke ruang tengah. Meja kayu tua satu-satunya yang ada di
ruangan itu telah dipenuhi dengan sepiring nasi berteman telur mata sapi yang
kuningnya tak bulat lagi. Hmm.., jadi ini bau yang tadi menggugah lelap
gelisahku di ruang gelap.
”Makanlah. Hanya ini yang ada..” ujarnya seraya mendekatkan tubuhku ke meja
dan meninggalkanku begitu saja. Ia menghilang di balik pintu kamar.
Dengan ragu dan berkali-kali menoleh ke pintu kamar yang tertutup
sepertiga, aku mengulurkan tangan. Mencoba menjamah nasi yang telah tiga hari
tak kunikmati. Tersendat-sendat suap demi suap mengalir di kerongkongan,
memenuhi organ pencernaan.
”Sudah?” Aku nyaris terjengkang dari duduk ketika mendengar suara hangat di
belakangku. Astaga?! Aku mengangguk gentar.
”Kalau begitu, tolong pijat sebentar, ya? Ayah lelah.” Aku kembali
mengangguk. Tak punya pilihan. Aku mengekori langkahnya menuju kamar depan,
ruang yang penuh debu, sarang laba-laba dan seperangkat perabot usang.
Aku mulai memijat kakinya. Naik ke punggung dan akhirnya kepala. Aku
melihat lelaki itu memejamkan mata. Hmm, mungkin ia telah terbang ke alam
mimpi, pikirku. Sayangnya tak demikian setelah beberapa saat aku menikmati
keras lekuk wajahnya. Mencoba mengenalinya dari jarak yang nyaris tak pernah
ada. Ia membuka mata. Tepat menghunjam ke wajahku. Ia menatapku dalam diam,
tajam dan menyulut dingin ke sekujur tubuhku. Aku bergidik samar.
”Kau tahu? Kau bukan anakku.” Aku mengangguk.
”Kau tahu? Kau bukan apa-apaku?” Lagi-lagi aku
mengangguk.
”Kau tahu? Kenapa aku tetap bersamamu?” Kali ini aku
menggeleng, bimbang sesaat.
”Karena ibumu telah menitipkanmu di ambang ajalnya. Dan ia pun telah menitipkan sebuah janji untukku.” Aku terdiam.
”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa
neraka! Lebih dari kiamat! Tapi aku sudah berjanji. Dan sekarang, saatnya aku
menepati janjiku pada ibumu.” Aku menatapnya tak mengerti. Namun, sebuah jejak
samar dari gerak tubuhnya kemudian menyadarkanku. Membalutku dalam dingin dan
geletar tak berkesudahan. Meski sepasang tangan dan sebidang kehangatan
mengungkungku dalam kecepatan dan keliaran. Merobek segalanya. Harapan, tangis
dan masa depan. Dan dalam erang dan kesakitan aku menghapus nama Tuhan dalam
ruang ingatan!
Waktu tak sekadar berlalu bagai angin namun waktu juga tak meninggalkan
bekas pada kehadiranku. Aku hanya mampu mencerna darah berbeda yang kucuci di
sungai belakang rumah. Aku hanya mampu membelai hunjam kuku yang menghitam di
lenganku. Dan aku hanya mampu menekuri bayang ibu yang tersisa dalam kubangan
dangkal di pematang sawah. Selebihnya, tak!
Kau tahu apa artinya darah bagi seorang anak perempuan? Khususnya darah
yang mengalir dari organ kewanitaan selama tujuh hari berturut? Itulah pertanda
tapak kedewasaan yang tengah diretasnya. Kedewasaan menyikapi hidup dan
sekitar. Termasuk kedewasaan menyimak makna darah itu sendiri. Dan kubungkus
itu semua di palung hati terdalam. Tersembunyi dalam kegelapan.
Purnama. Dan berahi menemukan tambatannya. Aku lunglai di bingkai jendela.
Membiarkan lelaki di belakangku mengemasi pakaiannya dan beringsut meninggalkan
kamar. Aku terus mengulum amarah, melumatnya perlahan-lahan. Mengendapkannya
pada jejalan catatan buram di sudut ruang.
Aku menghitung detik. Menunggu pintu berderit dan langkah-langkah menjauh
dari jangkauan pendengaran. Rasanya sangat menyiksa. Jauh melampaui malam-malam
penuh erang kesakitan. Sekejap sepi mengurungku. Tak ada suara apa-apa, kecuali
teriakan tokek yang sesekali memecah hening. Aku beranjak keluar dan berdiri
tepat di ambang pintu, mencoba melihat dalam gelap samar-samar. Kuhirup udara
dalam-dalam dan memenuhi rongga yang ada di sekujur tubuh. Perlahan mulai
mengeja, seiring lambat langkah menembus hitamnya malam yang berpendar secercah
cahaya purnama.
Pagi terang-benderang. Tapi itu justru menyulitkan untukku melihat dan
bernapas. Kepalaku masih terasa sakit. Juga tubuh. Kupegangi kepala yang terasa
lembab. Sedikit memicing untuk memastikan cairan apa yang telah mengeramasi
kepala. Merah. Aku menangkap warna itu dengan hati menggigil. Hidungku membaui
amis. Darah. Hei.., dimana aku? Kepalaku benar-benar sakit. Bahkan untuk
mengangkat tubuh pun sudah tak mampu.
Mataku mengerjap-ngerjap, mencoba mengenali sekitar. Sejauh mata memandang
hanya batang padi yang kulihat, dengan bulir-bulir buahnya yang tertimpa surya
bagai keping emas. Menyilaukan. Tempatku terkapar menyerupai ceruk dangkal.
Aku mencoba mengingat. Apa yang terjadi? Namun sepertinya itu menjadi pe-er
yang rumit. Karena aku tak bisa mengingat apa yang membuatku berada di tempat
ini. Tempat di mana aku pernah memeluk ibu dalam kubangan darah. Susah payah
kucoba untuk duduk. Tak mudah. Karena sakit di sekujur tubuh telah menghunjam
tulang dan urat kesadaran. Namun itu tak seberapa. Karena pemandangan seorang
lelaki yang tertelungkup di sawah membuatku tersengat. Sebilah belati
menghunjam punggungnya, tempat dimana darah mengucur. Deras dan tak terbendung.
Mengalir hingga ke genangan air di sawah. Namun tak seperti di sungai belakang
rumah, darah itu menggenang lama di sana. Dan tak berganti warna.
Aku menggumam perlahan, Ibu, aku telah menepati janji. Janji saat memelukmu
terakhir, di sini.. Dan kulepas senyum terakhir untuk pagi. Pagi yang telah
lama tak kunikmati..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar