Ketapang Kencana
Aku menanam pohon ketapang kencana (Terminalia mantaly) di halaman. Pohon
ini kurasa sangat cocok di halaman rumah Mami yang telah dibangun sangat bagus
oleh Teh Rani. Wujud bangunan benar-benar seperti Teh Rani. Sederhana, ringkas,
mencerminkan wawasan, pengalaman, dan cara hidupnya yang sangat modern di
berbagai negara. Bangunan ini paling modis di situ.
Tak ada pernak-pernik di fasat bagian luar. Ia seperti kotak-kotak beton,
mengikuti kontur tanah yang agak berundak. Bagian yang menghadap gunung dan bukit terekspos melalui kaca besar.
Alam menjadi lukisan terbaik ciptaan Tuhan. Aluminium hitam yang menjadi
bingkai kaca itulah piguranya. Penyiasatan ruang yang cerdas.
Dinding bagian dalam seluruhnya berwarna abu-abu,
sama dengan warna keramik lantai. Hanya ada dua kamar. Kamar Mami dan kamar
yang disiapkan untuk tamu, masing-masing dengan kamar mandi menggunakan shower. Di dekat dapur
ada kamar pembantu, dan satu kamar mandi lagi untuk dipakai beramai-ramai.
Ketapang kencana yang aku datangkan secara khusus
dari pembibit yang sangat berpengalaman ini tak akan mengganggu estetika
bangunan. Kalau besar nanti, dahan-dahannya yang teduh tak akan menutupi fasat
bangunan karena bentuknya renggang. Pohon ini kuanggap paling tepat untuk
bangunan yang dirancang Teh Rani itu.
Mami sendiri suka. Ia langsung mengomentari dahannya. Berundak-undak, seperti tangga ke surga, katanya. Itulah yang menyenangkan
pada Mami. Ia selalu memiliki komentar otentik.
***
Aku memanggilnya Mami, ikut-ikutan anak-anaknya. Dia kakak ibu. Seharusnya
aku memanggilnya Uwak. Ketika G30S meletus, keluargaku berantakan. Dari Jawa
Tengah, aku dikirim ke kota kecil di Jawa Barat ini, ikut Uwak yang selanjutnya
kupanggil Mami.
Kini praktis Mami tinggal sendiri. Anak-anaknya—kecuali Teh Rani—tersebar
di beberapa kota di Jawa Barat dan Jakarta. Teh Rani, anak nomor dua yang
paling sukses dan makmur, tinggal di luar negeri. Paris, Roma, New York.
Sesekali di rumahnya di Bali. Teh Rani pula yang mengatur kehidupan Mami. Di
rumah, Mami ditemani dua pembantu setia, Asep dan Kokom.
Semenjak Mami sering terganggu kesehatan belakangan, aku sangat sering
mengunjungi Mami. Keadaannya turun naik. Kadang tampak sangat sehat. Pada
kondisi seperti itu Mami seperti kami kenal dulu: ceplas-ceplos suka melucu.
Pada kali lain bisa tampak sangat drop.
Teh Rani—entah di mana pun—sering meneleponku, menanyakan keadaan Mami.
Sebenarnya aku juga tidak melihat keadaan Mami sehari-hari. Kami tinggal di
kota berjauhan. Aku sendiri bahkan tergolong sering bepergian, tidak di
Indonesia. Hanya saja semua tahu, dibanding dengan saudara-saudaranya sendiri
termasuk yang sekota dengan Mami, Teh Rani paling percaya padaku. Keluarga juga
tahu, selain Teh Rani, aku punya tempat khusus di hati Mami. Mami sering
bilang: rumah lengkap kalau ada Rani dan aku.
***
Bisa kupahami keresahan Teh Rani. Mami makin tua. Dulu mungkin tak terpikir
akan muncul keresahan akan Mami. Di rumah banyak orang. Rumah selalu ramai.
Apa-apa akan beres dengan sendirinya. Tak pernah kami sadari arti ”banyak orang
dan tidak ada orang bagi orang tua”.
Pada perkembangannya, jumlah orang di rumah menyusut dan menyusut.
Terakhir-terakhir seingatku masih ada Anti, Risma, dan Deden. Kemudian Anti
menikah. Suaminya pegawai Pertamina, bertugas di Cirebon. Ia diboyong ke
Cirebon. Menyusul Deden. Deden mendapatkan pekerjaan, setelah beberapa tahun
menganggur seusai kuliah di akademi perbankan. Deden diterima bekerja di sebuah
bank yang punya kantor cabang di kota-kota kecil. Ia ditempatkan di
Tasikmalaya.
Tinggal sendiri dengan Risma, mulai kami sadari bagaimana kalau Risma nanti
juga harus meninggalkan rumah. Siapa akan menemani Mami? Lalu, tahu-tahu Risma
hamil. Mau tidak mau, menikahlah dia. Aku kurang tahu suaminya kerja apa.
Mereka pindah ke Malangbong.
***
Apa yang bisa kami berikan kepada Mami? Teh Rani kutahu berbuat
sebisa-bisanya. Rumah dia rombak untuk membuat kenyamanan pada Mami yang
tinggal sendiri. Diharapkan itu menghibur Mami. Apa pun kebutuhan Mami
diharapkan Mami segera memberi kabar. Cuma sepengetahuanku, Mami jarang sekali
menelepon anak untuk menyatakan meminta sesuatu. Hal yang bahkan tak mungkin
dilakukannya.
Kegembiraan Mami sejatinya cuma kalau anak-anak dan cucu di rumah. Rumah
ramai. Apalagi dengan kehadiran Teh Rani.
Teh Rani—meski tak terucap—bukannya tak paham hal itu. Hanya saja—semua
dalam posisi seperti kami—juga tahu, apa yang bisa kami lakukan? Kami punya
kehidupan sendiri-sendiri. Menelepon setiap saat pasti. Meski, kami sadari itu
juga kurang cukup. Bahkan kadang meresahkan diri sendiri, kalau menangkap Mami
tampaknya kurang sehat. Setiap resah akan keadaan Mami, Teh Rani akan
terus-terusan meneleponku. Bertanya ini-itu, kapan terakhir menengok Mami, dan
seterusnya.
Sekarang ini baru saja Teh Rani meninggalkan Mami setelah berlibur di situ
sekitar satu minggu. Seusai itu Teh Rani ke Jakarta, sempat ketemu aku
sebentar, sebelum pulang ke Bali dan kemudian balik ke Paris.
Teh Rani meneleponku agar menengok Mami. Ia sempat pula bilang rencananya
akhir tahun. Ia akan bertahun baru di New York, bersama Marita, anak perempuan
semata wayangnya.
Aku tak jadi ke Bangkok. Aku akan segera menengok Mami, janjiku pada Teh Rani.
***
Rumah sepi. Mami di kamar, tiduran ditemani Kokom yang ikut tidur di kasur
sembari memijat-mijat Mami. Asep berbisik, Mami begitu sejak Teh Rani pergi.
Bisa kurasakan perasaan sepi Mami. Kuperhatikan sekeliling kamar. Dinding
dan lantai abu-abu yang dalam keadaan biasa bercita-rasa berkelas, pada saat
seperti ini rasanya malah menambah rasa dingin. Apalagi, belakangan hujan terus-terusan turun. Daerah ini tambah sering
berkabut.
Di dinding kamar terpajang foto Teh Rani dan Marita. Marita sudah besar. Sudah hendak masuk sekolah fotografi di Paris. Kuamati
cantiknya ibu anak ini. Dalam foto itu mereka berpelukan mesra, tersenyum,
mengenakan pakaian dingin. Tak tahu aku, foto itu diambil di Paris, Roma, atau
New York.
Aku merasakan dua dunia terpisah jauh. Kuingat beberapa kali saat aku
mengunjungi Teh Rani di Paris. Terbayang St Germain-des-Pres. Di sekitar
kawasan gemerlap itu letak apartemen Teh Rani.
Kuingat kebiasaannya ketika berniat jalan-jalan. Selalu saja baru berjalan
beberapa saat dia mengajak berhenti dulu di kafe. Ini mah duduk-duduk, bukan
jalan-jalan, komentarku. Dia cuma tertawa. Rasanya, semua bangku kafe terkemuka
di kawasan Quartier Latin pernah kami duduki. Kami mencari-cari alasan, untuk
makan apa saja atau minum apa saja. Di setiap tempat, kami membenarkan diri
untuk minum wine.
Atau espresso.
Aku perhatikan meja kecil di samping ranjang. Ada gelas teh. Makanan
terbungkus daun yang sudah dimakan sebagian. Dulu, semasa kami semua masih
tinggal di rumah, makanan berlimpah. Mau makan apa saja dan kapan saja, selalu
tersedia. Selintas teringat, di Paris Teh Rani sering mengajakku ke restoran
favoritnya, restoran Afrika dengan daging-daging terbaik yang disajikan dengan
serba bakar. Kami tak bisa mengekang hedonisme dalam soal makan.
”Kami tidak masak, soalnya tanggung masak hanya untuk Mami,” Kokom
menerangkan mengenai makanan yang tersisa di meja.
***
Duduk di pinggir ranjang, aku ikut-ikutan memijit-mijit kaki Mami yang
dibalut selimut tebal. Aku tahu Mami tidak tidur, dan
pasti juga tahu kehadiranku.
”Mami sakit…,” aku bertanya. ”Mami yang sehat. Nanti kita bikin pesta, bikin bakar-bakaran di halaman,” aku melanjutkan
begitu saja.
Dia diam saja. Mata tetap terpejam. Bersama Kokom aku terus
memijit-mijit atau mengusap-usapnya. Di matanya yang terpejam, beberapa kali
keluar air mata. Kokom dan aku bergantian mengelap dengan tisu.
”Sejak Teh Rani pergi…,” Kokom berbisik padaku. ”Sering nangis
sendiri….”
Aku mengangguk.
Lama-lama Mami bergerak.
”Punggung Mami sakit…,” katanya pelan. Tetap dengan mata terpejam.
Aku mengusap-usap punggungnya. Asep dan Kokom senyum-senyum. Kami semua
tahu, Mami cuma mencari-cari.
”Sakit sekali ya Mi…,” tanyaku. ”Sampai menangis….”
”Tadi Mami bermimpi…,” ucapnya.
”Mimpi apa, Mi,” tanyaku.
Mami diam saja. Baru beberapa saat kemudian dia bicara.
”Ketapang kencana berubah jadi pohon emas…,” katanya pelan.
”Mami bermimpi ketapang kencana berubah jadi emas?”
Dalam posisi tiduran miring ia menganggukkan kepala.
”Kencana artinya memang emas, Mi…,” ucapku. ”Kencanawungu, emas ungu….”
”Pohon itu tumbuh tinggi sekali, sampai di balik awan…,” ia meneruskan
ucapan seperti pada diri sendiri. ”Mami naik memanjatnya. Dahan demi dahan.
Tiba-tiba Mami sudah di balik awan dan tak bisa lagi kembali,” lanjutnya,
dengan air mata kembali keluar.
”Kembang tidur, Mami…,” kataku.
Mami diam saja.
”Kapan Rani pulang lagi…,” tanyanya pelan.
”Tahun depan. Katanya mau tahun baru di New York.”
Ia kembali diam.
”Tahun depan…,” Mami seperti bicara pada diri sendiri.
”Tahun depan artinya hanya bulan depan, Mi. Ini sudah Desember.”
Dia tak menjawab. Malah berucap sendiri, ”Ketapang kencana….”
Kutatap lagi foto di dinding kamar. Teh Rani dan
Marita dengan senyumnya yang manis. Tak ada yang mengalahkan manisnya perempuan
Sunda, tetapi foto ini tak mungkin bisa menemani Mami.
***
Kuputuskan menelepon Teh Rani. Dengan antusias dia bertanya, bagaimana
keadaan Mami. Rumah bagaimana? Baik-baik saja? Dia bilang, katanya bermimpi
tentang rumah. Apa yang diimpikan Teteh, aku bertanya. Ketapang kencanamu
bertumbuh bagus sekali. Tinggi menjulang, dahan-dahannya menjadi emas.
Aku terkesiap.
”Halo…,” suara Teh Rani, mendapati suaraku menghilang.
”Oh, halo…,” kataku.
”Kamu mendengar?”
”Ya, ya, aku mendengar,” ucapku.
”Kenapa kamu diam saja?”
Sejenak aku berpikir. ”Tahun baru sebaiknya kita semua di rumah Mami
saja…,” ucapku.
Dia yang kemudian balik terdiam.
”Halo,” kataku.
”Ya, aku mendengar…,” kata Teh Rani pelan. ”Aku pikir juga begitu,”
tambahnya tetap dengan nada pelan.
”Jadi Teteh akan pulang? Tak jadi ke New York?” aku bicara antusias.
”Tidak jadi. Aku akan pulang. Tahun baru di rumah
Mami. Kamu juga. Awas, jangan ada acara lain.”
Aduh, serentak kubayangkan betapa bakal membahagiakannya tahun baru kali
ini. Teh Rani adalah pusat keluarga. Rumah akan langsung ramai begitu dia
pulang. Kureka-reka sendiri kami akan mengadakan barbeque atau pesta
bakar-bakaran di halaman. Cari daging terbaik. Minum wine bersama Teh
Rani—sembari mengajari yang lain-lainnya. Mami akan kembali melucu. Mungkin
malah merokok. Biar saja.
Kami akan berpesta di bawah ketapang kencana. Cucu-cucu akan lari kesana kemari. Tak kumengerti, bagaimana pohon ini bisa
mempertautkan ibu dan anak perempuan kecintaannya dalam mimpi.
Aku berdoa, pohon ini akan tumbuh subur, selalu hijau di segala musim
seperti sifat-sifatnya yang kupelajari dari buku. Tak perlu menjadi pohon emas,
dan Mami selalu sehat….Banjarsari, November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar