Tukang Obat itu Mencuri Hikayatku
Suatu malam dia datang ke rumahku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai
pengelana yang berasal dari jauh. Katanya, ia datang ke kampung kami untuk
mengadu nasib sebab di kampungnya dia tidak memiliki apa-apa lagi.
Sebagai orang yang dituakan di kampung, aku menyambutnya dengan sangat
baik. Kulayani dia selayaknya tamu yang benar-benar baru tiba dari perjalanan
sangat jauh. Bincang-bincang kami pun mengalir seperti air. Lalu dia minta aku
bercerita. Cerita tentang apa saja, katanya. Tentang kampung ini
juga boleh, pintanya.
Aku pun mulai bercerita tentang sejarah kampungku apa adanya, seperti yang
kudapat dari kakekku semasa hidupnya dulu. Kulihat dia sangat menyimak
ceritaku.
Esok malam dia kembali datang ke rumahku dan meminta aku bercerita. Kali
ini aku bercerita tentang yang lain pula. Aku bercerita tentang hikayat-hikayat
yang kuperoleh dari kakek dan nenekku. Dia juga kulihat mendengarkannya dengan
penuh perhatian. Ketika ada satu alur saja yang kurang dipahaminya, dia
langsung menyela dan aku menjelaskannya.
Begitulah saban malam. Katanya, dia belum bisa tidur sebelum mendengar aku
bercerita. Akhirnya, kuajak dia untuk tinggal bersamaku, di rumahku.
Saban malam aku bercerita padanya. Semua hikayat yang pernah kudengar dari
kakek dan nenek kukisahkan kembali kepada lelaki itu, tetapi aku tak pernah
mendengar cerita dari dia, siapa dia, dari mana asalnya, apa pekerjaannya, dan
mau apa dia sebenarnya, aku tak pernah diberi tahu. Ingin sekali aku mendengar
cerita dari dia, tetapi dia tak pernah di rumah kala siang hari. Sedangkan
malam, aku sudah berjanji kalau aku yang bercerita.
Suatu malam aku berhenti bercerita. Aku minta dia yang bercerita kepadaku.
”Aku tidak minta kamu membawa hikayat, aku hanya minta kamu menceritakan siapa
dirimu dan dari mana sesungguhnya kamu,” ujarku malam itu. Lelaki itu hanya
diam. Kulihat dia menundukkan kepalanya. Hatiku luruh dan akhirnya aku kembali
menceritakan sebuah hikayat lagi kepadanya.
Suatu hari aku jatuh sakit. Aku tak sanggup lagi
bercerita. Beberapa malam sudah lewat, aku belum sanggup juga bercerita. Lelaki
itu pun tak lagi pulang ke rumah. Hingga beberapa malam berikutnya dia juga tak
pulang, sedangkan sakitku terasa semakin parah.
Sudah lima hari aku tak keluar ke meunasah. Sebagai orang tua yang
dipercayakan mengurus meunasah, seharusnya aku beritahukan kepada Pak Lurah
atau pengurus lain. Suatu malam Pak Lurah datang ke rumahku. Semula Pak Lurah
mengira aku tak mau lagi mengurus meunasah karena sudah ada yang mencari rezeki
sehingga lupa terhadap meunasah. Tentu saja aku terkejut dan sangat malu
mendengarnya.
”Apa maksud Pak Lurah?” tanyaku.
”Maaf, saya lihat lelaki yang tinggal bersama Pak Imam sangat rajin menjual
obat sambil bercerita di lapangan bola. Banyak orang yang datang mengunjungi
dia meskipun hanya sekadar mendengarkan dia bercerita. Tapi obatnya banyak
laku, Pak Imam.”
”Jadi dia penjual obat?!” Aku tersentak mendengar cerita Pak Lurah. Kuurut
dadaku yang sesak.
Besoknya, Pak Lurah mengajak aku ke puskesmas yang terletak di ujung jalan
kampung. Untuk sampai ke puskesmas, kami melewati lapangan bola kaki. Pak Lurah
menunjuk lapangan bola itu saat kami melintasinya.
”Di sini biasanya dia menjual obatnya sambil berteriak-teriak menceritakan
sesuatu. Ceritanya sangat menarik. Dia juga sangat hafal segala cerita
seluk-beluk kampung kita, tentang gajah duduk yang menjadi kepercayaan
orang-orang kampung kita, tentang rencong yang bentuknya seperti basmallah,
tentang taman gunongan, dan lain-lainnya. Dia paham dan hafal benar semua itu
sehingga orang-orang suka mendengar dia bercerita. Di penghujung ceritanya, dia
selalu menawarkan obatnya. Banyak laku obat dagangannya,” ujar Pak Lurah
panjang lebar.
Aku diam sambil memerhatikan lapangan bola itu. Sepulangnya dari puskesmas,
aku melihat banyak orang berkumpul di lapangan bola tersebut seperti yang
dikatakan Pak Lurah.
”Nah, itu pasti dia, lelaki yang tinggal bersama Pak Imam,” ujar Pak Lurah.
”Apa Pak Imam tak ingin mendengarkan dia bercerita? Pak Imam pasti suka
mendegar ceritanya. Kalau Pak Imam tak keberatan, kita singgah dulu sebentar
melihat-lihat,” lanjut Pak Lurah semangat.
Aku dan Pak Lurah mendekati kerumunan orang di lapangan bola. Sebelum
sampai di tempat kerumunan itu, aku mendengar seseorang berteriak dengan alat
pengeras suara. Suara itu sangat kukenal. Sangat kukenal lagi cerita itu. Itu
hikayat Buloh Peurindu yang pernah kuceritakan kepada seorang lelaki, malam
Minggu lalu.
Pak Lurah menarik tanganku agar dapat masuk dalam kerumunan orang yang
berdesak-desakan. Semula aku tak mau, tetapi Pak Lurah memaksaku. Setelah
melewati desakan orang, di tengah lapangan aku melihat seorang lelaki berbadan
kurus menggunakan ikat kepala merah melantunkan syair-syair cerita sambil
menggenggam pengeras suara. Bajunya berlengan panjang warna putih. Dia juga
mengikat kain sarung di pinggangnya sebatas lutut.
Kuperhatikan lelaki itu, pakaiannya persis seperti pakaian Aneuk Meutuah
dalam Hikayat Dangderia. Dari mana lelaki ini bisa berpenampilan seperti itu,
apakah karena juga dia mendengar ceritaku?
Semua orang terdiam mengangguk-angguk mendengar lelaki itu bercerita,
termasuk Pak Lurah. Kulihat Pak Lurah sesekali tersenyum ketika lelaki itu
bercerita sambil memperagakan suatu gerakan seperti gerakan tokoh dalam ceritanya.
”Hari ini sampai di sini dulu saya ceritakan tentang Apa Bangai, besok saya
sambung kembali. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian? Ini obat bukan
sembarang obat. Kalau Apa Bangai sering lupa, lupa bertanya siapa tamunya, di
mana tinggalnya, maka dengan saudara-saudara memakai ini obat, akan terjauh
dari lupa punya sifat. Kalau kemarin saya jual sampai lima puluh ribu rupiah,
ini hari saudara-saudara tak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu.
Saudara-saudara tidak punya uang empat lima, tiga puluh, dua lima; ini hari
cukup keluarkan dua puluh ribu saja. Silakan ini obat dibawa pulang. Ini hari
saya mau bagi-bagi rezeki. Sepuluh pembeli pertama, saya kasih keringanan lima
belas ribu saja.”
Lelaki itu berkeliling mendekati para pengunjung sambil membawa sepuluh
bungkus obatnya. Akhirnya, dia sampai di tempat aku dan Pak Lurah berdiri.
Lelaki itu menatapku. Lama dia memandangku, dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Lalu dia berkata, ”Pak Imam sudah sembuh?”
Aku tak menjawab pertanyaannya, kecuali diam. Aku terus menatap matanya
sampai akhirnya dia tak tahan kupandang. Lelaki itu kembali ke tempatnya
semula, tempat barang-barang dagangannya.
”Hari ini saya cukupkan sampai di sini dulu,” ujar lelaki itu sambil
mengemasi barang-barangnya. Satu per satu pengunjung pun meninggalkan tempat
itu. Kuajak Pak Lurah segera pulang. Aku tak mau lagi melihat lelaki itu. Dia
sudah mencuri hikayatku, pikirku.
Seminggu sudah berjalan sejak hari itu, tak kulihat lagi lelaki itu menjual
obat di lapangan bola. Ke mana dia pergi, aku juga tak tahu. Aku pun tak mau
lagi memikirkannya. Hatiku mulai tenang tak mendengar dan tak melihat dia.
Tetapi, suatu hari di balai rapat kecamatan, ketika menghadiri musyawarah
kecamatan, aku melihat seorang lelaki membawa Hikayat Bayan Budiman. Lelaki itu
hadir untuk menghibur para peserta musyawarah.
Kepalaku langsung pening. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata dan
sajak yang dibawakan orang itu. Mataku menatap tajam ke arah panggung kecil
dalam balai rapat kecamatan. Di sana seorang lelaki kurus mengenakan pakaian
mirip Aneuk Meutuah dalam Hikayat Dangderia sedang melantunkan Hikayat Bayan
Budiman dengan syahdunya.
Beberapa minggu kemudian, lelaki kurus yang
pernah tinggal bersamaku dua bulan yang lalu jadi terkenal di kotaku. Dalam
setiap acara, baik di kampung maupun kecamatan, dia selalu hadir sebagai
pembawa hikayat. Semua hikayat yang pernah kuceritakan padanya dijadikan
sebagai pencari rezeki dan nama. Kini
dia semakin terkenal, bahkan sampai ke ibu kota provinsi. Oh, lelaki itu telah mencuri hikayatku dan menjadi orang yang sangat
terkenal. Sementara aku semakin tua. Koeta
Radja, 2007-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar