Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya
Cerpen
Ni Komang Ariani (Kompas,
22 Mei 2011)
INILAH saatnya
aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak
cukupkah ia menjadi perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa
cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih
cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri.
Adrenalinku
berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berbaring
dengan tubuh kisutnya di ranjang dan aku telah menua sepuluh tahun dalam waktu
sebulan. Uban bermunculan di rambutku seperti jamur di musim hujan. Mereka
tumbuh dengan kecepatan yang tidak dapat kuramalkan lagi. Mungkin warna putih
itu segera akan menjajah kepalaku. Aku sungguh tidak peduli.
Saat
ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku.
Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan
perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala
penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat
mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa
tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya terlalu
terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan
sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada
saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.
Kepada
siapa lagi aku harus marah? Mungkin aku terlalu marah pada diriku sendiri yang
tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja
tak mengenal waktu dan membiarkannya menilai sendiri kesehatannya tanpa pernah
berusaha menyelidiki sendiri. Bukankah aku sangat tahu bahwa istriku adalah
pembohong terbesar dalam kesehatannya. Dalam hidupnya hanya ada kerja, kerja
dan kerja, kesehatan adalah masalah paling buntut yang dipikirkannya. Mungkin
lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri kenapa menikahi perempuan yang
demikian. Oh…. Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.
Pernahkah
kau menunggui orang yang kau cintai mengerang menahan sakit dan kau merasa kau
akan gila bila terus berada di sana. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu
sesak. Hatimu hancur detik demi detik melihat keadaanya semakin memburuk.
Setiap detik kehancuran menumbuhkan uban di rambut dan satu kerut mendalam di
wajahmu.
Kadangkala
aku ingin pergi meninggalkan istriku begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya dan
melupakan tubuh istriku yang kelihatan semakin buruk. Apa yang bisa diharapkan
dari tubuh kurus tinggal belulang dan jiwa yang tidak lagi sadar pada dunia sekitarnya?
Ingin rasanya kunikmati duniaku sendiri yang lebih cerah dan berwarna-warni.
Namun gerakan kecil tubuhnya dan lirih erangannya selalu memanggil-manggilku
untuk kembali. Tubuh ringkih itu masih menyimpan ketenangan dan kedamaian yang
membuatku selalu ingin memeluknya. Kata orang, begitu kau berani mencitai, kau
akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di
hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus
siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya.
Walaupun
harus kuakui, belakangan ini kekuatan hatiku seolah-olah menuju babak akhir.
Aku selalu gemetar ketakutan ketika langkah-langkah dokter mendekat ke ruangan.
Kata-kata mereka selalu membuat aku jerih dan nyaliku menciut. Seandainya aku
dapat menyihir mereka menghilang dari pandanganku, agar mereka tidak pernah
datang kembali. Oh, bukannya aku sangat mengharapkan mereka menyembuhkan
istriku?
Tahukah
engkau, betapa aku membenci bangunan yang bernama rumah sakit ini. Bau kain
cat, bau infus, bau lantai dan bau udara di rumah sakit ini membuat nafasku
terasa melukai paru-paruku. Jika keluar dari tempat ini, aku akan merawat
diriku dan berjanji untuk tidak akan pernah lagi kembali ke sini.
Andai
saja aku masih bisa berharap akan ke luar dari rumah sakit ini bersama istriku
yang sehat dan segar bugar, dengan pipi tembamnya dan wajah berkilau. Aku
memang harus memupuk harapan itu agar aku sanggup bertahan di sini. Karena
tempat ini telah membuat jiwaku mati, tak sanggup lagi mengindra rasa. Pertama
kalinya dalam hidupku aku sungguh-sungguh ingin meledak. Meledak membuat
jasadku bisa melenting ke tempat sejauh-jauhnya, sehingga semua rasa
berhamburan dan musnah.
Oh
tidak, khayalanku sudah mulai kacau balau. Sungguhkah aku masih waras?
Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan
segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di
cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam
hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak.
Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil
yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan
burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar
kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat
yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri.
Aku
mengarahkan pandanganku kepada tubuh istriku yang sedang tertidur. Mukanya
sepucat kain kafan. Batok kepalanya meyisakan sejumput rambut yang sangat
jarang. Tubuhnya begitu tipis seolah tak seorang pun terbaring di sana. Apakah
yang masih tersisa di tubuhnya? Aku tertidur lelah di sisi pembaringannya.
***
Kabar
terakhir yang kudengar dari dokter adalah kabar mengenai istriku yang menuju
babak akhir. Penyakit kanker paru-paru yang menggrogoti tubuhnya sudah sampai
pada stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang
umurnya lebih lama lagi. Oh istriku yang penuh dengan energi. Yang
membangkitkan seluruh hidupnya untuk menulis dan membela kaum tertindas. Apakah
segala nyala yang pernah memancar dari tubuhnya akan padam begitu saja? Apakah
kata-kata tanya yang bersemangat akan lenyap begitu saja?
Aku
masih tidak dapat percaya pada tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan
penyakit yang begitu ganas. Seharusnya aku tahu sejak awal, perempuan yang
kunikahi ini adalah perempuan yang akan memilih akhir yang tragis buat dirinya
sendiri. Bukankah begitu yang selalu kudengar terntang orang-orang besar?
Mereka akan memilih cara mati yang akan membuat mereka diingat dengan perasaan
haru. Akan tetapi tidak dengan aku, laki-laki yang menjadi suaminya. Aku akan
tetap mengenang kepergianmu kekasih dalam rasa sakit yang jauh merajam hatiku.
Karena jauh di dalam hatiku aku masih ingin meneruskan hidup denganmu hingga di
ujung waktu.
Andai
aku memilih perempuan yang lebih lunak menjadi istriku, mungkin kejadiannya
akan berbeda. Barangkali ia akan lebih peka pada penyakit yang menyeruak di
tubuhnya. Barangkali ia akan segera memeriksakan diri ke dokter ketika ia
merasa ada yang ganjil dengan dirinya. Dan segalanya diketahui lebih awal, obat
masih sanggup menyembuhkan penyakitnya dan kami masih bisa merajut kebahagiaan
bersama. Kami akan menggapai cita-cita kami bersama. Istriku akan tersenyum
cermelang pada keberhasilannya mewujudkan cita-citanya. Aku akan tersenyum
bangga untuknya. Mungkin setelah itu kami akan memutuskan untuk menghabiskan
lebih banyak waktu bersama-sama, menyesap setiap bulir kebahagiaan yang menetes
dalam kehidupan kami. Karena kadang-kadang waktu melesat seperti kilat dan
meninggalkanmu jauh ke belakang.
Kami
akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai
subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan
lama sekali seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelegak-gelegak tangis
tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang
terasa terpantul-pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah
mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi
menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba,
nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan
yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari
sebuah bolong hitam besar di hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu
tiba?
Rasanya
aku tidak akan pernah sanggup. Terutama karena aku merasa istriku belum pantas
untuk mati. Terlalu banyak hal hebat yang bisa dikerjakannya seandainya ia
tidak mati. Aku bahkan masih bisa merasakan gelora semangatnya yang membara
sekalipun ia terbaring tanpa daya. Mengapa ia harus padam di saat
ia begitu ingin berpendar seperti kembang api. Apa ini yang sungguh bernama
takdir?
Istriku
memang mempunyai musuh. Ialah orang-orang yang terus-menerus mendapat kritik
pedas darinya. Kalaupun ada yang bersorak bahagia sekarang mungkin merekalah
orangnya. Mereka dengan penuh dendam bisa saja mengatakan istriku terkena
karma. Oh aneh, bukankan merekalah yang harus menerima karma karena istriku
orang baik. Seharusnya istrikulah yang bersorak karena satu persatu orang yang
dikritiknya akan menuai balasan.
Tangisku
berubah menjadi sedu sedan yang masih terdengar keras. Istriku terlelap dalam
tidurnya akibat obat-obatan yang mengguyur saraf-sarafnya. Ia tidak akan
mendengar suara tangisku, karena bila ia melihatku seperti ini ia akan tertawa
terbahak-bahak. Pada saat menahan rasa sakit yang sanggup mengoyak jantungku
pun, tak setetes pun air mata meleleh ke pipinya. Istriku adalah perempuan yang
tangguh, namun tidak aku suaminya. Entahlah, tangis ini membuat segalanya
terasa lebih mudah bagiku. Ada kepedihan yang hanyut bersama dengan tetes-tetes
air yang mengguyur daguku.
Sungguhkah
ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada
idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat
disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang
mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku
siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali dalam kehidupan. Aku tahu
perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi
cintaku padanya aku rela ia memilih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar