Banun
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak
akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah
melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil
Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar,
pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan
kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun
Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan
rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya
subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu.
Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi
laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat
terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun
Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga
bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya
terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya
lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan,
lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten.
Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak
menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi.
Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan
Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila
buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di
sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol
tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu
menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain,
sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk
mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara
menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api
menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu
tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah,
daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah
digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia
menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab,
daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah
suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun
Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”
gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan,
kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang
tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham
bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya,
termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai
penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini
berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang
dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur,
cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng
sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami
Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap
ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia
berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah
milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan
pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas,
jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak
tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan
memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu
akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas
tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan
ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu,
penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah
yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah
keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah
kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang
menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni
mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk
biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW,
lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah
disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya
Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala
tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan
ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak
pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun,
Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang.
Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka.
Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip
hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan
sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi
pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang
tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati
itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak
perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu
sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah
satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan
pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar
juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak
laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian.
Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah
Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan
dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan
sorot mata sinis.
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya
insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman
kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap
Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa
terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya.
Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan
setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting
janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa
suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar
Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar
hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang
menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun
kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun
Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun
saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah
hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota
kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah,
mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung,
menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah
ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal
belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar
yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat
melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi,
bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara
sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang
sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak
insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila
tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena
Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi
karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan
hidup orang tani. Tanah Baru, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar