Pemetik Air Mata
Mereka hanya muncul
malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan— kadang lebih
dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan,
yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah
mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji
kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat
ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati,
menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan
memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru
menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap
butir air mata akan menjelma kristal.
Mereka tinggal di ceruk
gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di
selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer
bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di
langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata
itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling
terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di
langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai
menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
Seorang pencuri sarang
walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah
berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak
biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat
dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan
keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu
hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih
menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti
berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar
suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan
yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang
membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.
Saat kesadarannya
seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema
dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari
butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi
seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan
lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang
memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada
yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma
kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan
simfoni kesedihan yang agung.
Ketika akhirnya lelaki
pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang,
ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran.
Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan
perempatan jalan.
***
Sandra tak percaya
cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata
itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata, Bu? Murah…
Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa kanak,
setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap
peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak
malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra
berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila
tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai
lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung
dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam
Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak
sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana.
Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang
tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan
ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama memang
nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia
langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa
seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau
sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi
berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke
mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah
menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka.
Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
Sering, bila hari
Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak
makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan
itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan
bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.
Tapi saat-saat paling
menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari
buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di
tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
”Kenapa Mama menangis?”
”Tidak, Sandra… Mama
tidak menangis.”
”Kenapa manusia bisa
menangis, Mama?”
”Karena manusia
diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa mesti ada
kesedihan, Mama?”
”Diamlah. Jangan
cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama kembali
membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.
Pada mulanya adalah
sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan
sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta
semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang,
makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke
tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang
manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum
menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan.
Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya
selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi,
peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum,
yang membuat manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia sedih
karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu
akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.
Setiap kali mendapati
Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia
tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak
pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis,
sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura
tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur
lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak
pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong
ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh
Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya
ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra
terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat itu
peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah
sebabnya ia tak percaya.
***
Tapi Bita, anak semata
wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari
seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang
menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur
10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu.
”Itu bohong, sayang…”
”Kenapa penjual itu
mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin,
kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau
kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata
itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi
adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air
mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling
menyedihkan yang menang.”
Bita menyimpan koleksi
kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal
tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu
mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu,
Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak, tidak—tapi
Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah kalau Bita
menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba
tersenyum.
”“Sekarang tidurlah,”
Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan
mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara
Bita,
”Apa besok Papa jadi
ngajak Bita jalan-jalan?”
Sandra tersenyum.
”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu
sibuk.…”
Lalu mematikan lampu.
***
Suaminya tengah
berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti
saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah
kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum
itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan
menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir
celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati
tergorok di losmen murahan.
Tidak. Tidak. Sandra
tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah
menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di
saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya
erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan
menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Tidak. Kamu jangan
seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”
Sandra merasa hidupnya
jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi
hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah
dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng
terhadapnya.
Berbaring di ranjang,
hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti
habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang
menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan
bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk
menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang.
Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
”Kamu menyenangkan
sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan
berbaring lemas memeluk Sandra.
”Makanya kamu nginep
saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”
Ketika laki-laki itu
hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu
penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan
mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau
pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita
bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?
Sandra tahu malam ini
laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan
yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra
mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa
menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura
tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga
pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin semua ini
akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia
tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan
nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan
saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur.
Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.
Sandra merasa bantalnya
basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu
muncul malam ini. Yogyakarta,
2009
Seluruh kisah masa
kanak-kanak Sandra bisa dibaca pada cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno
Gumira Ajidarma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar