Lelaki Sepi
Ceritakan padaku tentang sepi, katamu. Ah, tapi sudah terlalu banyak cerita
tentang sepi. Apakah masih akan menarik bercerita perihal yang telah berulang
dikisahkan seperti itu? Lalu bagaimana membuat cerita seperti itu menarik?
Memang tak ada yang menarik. Tapi kau telah memintanya dan aku senantiasa ingin
menuruti kemauanmu. Maka biarlah kuceritakan saja.
Namanya tak penting benar. Atau setidaknya dalam kisah ini—bila kau
menganggap perlu memberi sebuah nama untuknya—kau bisa memberinya nama sesuai
dengan keinginanmu, tak akan berpengaruh apa-apa. Yang jelas, ia adalah lelaki
yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Maka begitulah, ia senantiasa meminta
kekasihnya untuk menemaninya. Ia tak bisa tidur tanpa ada dekap kekasihnya. Ia
tak mampu menelan makanannya tanpa kekasihnya yang mengangsurkan suap. Ia tak
sanggup mandi bila kekasihnya tak menuang air hangat dan menyiapkan handuk. Ia
tak dapat keluar rumah jika kekasihnya tak menjemput. Sungguh, ia ingin
senantiasa bersama kekasihnya. Setiap malam, sebelum benar-benar lelap dalam
buai kekasihnya, ia berdoa agar esok terbangun dalam rahim kekasihnya,
terbangun sebagai cikal janin yang tak akan pernah keluar dari perut ibunya.
Selamanya jadi bakal janin. Selamanya bersama-sama kekasihnya. Selamanya merasa
aman dalam nyaman lindungan kekasihnya. Ia mengira mencintai kekasihnya dan
baginya begitulah cinta yang mesti diwujudkan.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Sebab itulah ia
senantiasa menulis puisi cinta buat kekasihnya. Ia berkata, ”selama aku masih
mencintaimu, aku akan terus menulis puisi cinta untukmu.” Kau tak akan sanggup
menghitung berapa banyak puisi yang ia tulis untuk kekasihnya. Ia juga sering
berdoa, ”bila aku tak dapat tinggal di rahimnya, izinkan aku menjadi sebait
puisi yang ia sukai, yang ia hafal, yang sering ia lantunkan. Aku ingin tinggal
di lidahnya, menjadi sesuatu yang kerap ia sebut.” Ia menyangka mencintai kekasihnya
dan tak ada cara lebih tepat menunjukkannya selain melalui puisi.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Ia menganggap telah
sempurna mencintai kekasihnya dan berharap kekasihnya melakukan hal serupa:
mencintainya dengan sempurna pula. Dan kekasihnya memang mencintainya. Sangat
mencintainya. Mencintai dengan cara yang berbeda dari yang ia yakini. Wanita
itu mengerti bahwa ia tak sepenuh hati mencintai. Wanita itu paham mengapa si
lelaki ingin senantiasa ditemani dan menulis puisi. ”Sungguh itu bukan cinta,”
bisik wanita itu. ”Hanya yang takut pada sepi yang senantiasa ingin ditemani,
hanya untuk membunuh sepi ia menulis beratus sajak cinta.” Barangkali inilah
alasan wanita itu kerap terlihat malas-malasan menemani si lelaki berjalan di
taman pagi-pagi atau membaca seantologi sajak dengan tebal ratusan halaman yang
ditulis oleh lelaki kita dalam kisah ini.
Namun wanita itu memang mencintainya. Cinta yang membuat wanita itu bertahan dengan itu semua. Dan cinta pulalah
yang pada akhirnya membuat wanita itu meninggalkan lelaki kita ini. Selalu ada
yang mesti dikorbankan atau ikhlas berkorban dalam cinta bukan? Dan wanita itu
memilih yang kedua: ikhlas berkorban. Ketika ketakutan akan sepi yang diderita
lelaki kita kian hebat hingga bahkan dalam mimpi pun menuntut wanitanya untuk
hadir dan menemani menulis atau membaca puisi, maka wanita itu merasa mesti ada
yang dikerjakan untuk menyelamatkan kejiwaan lelaki kita ini. Bagaimana
menyingkirkan rasa takut pada sepi bila tak langsung menantangnya? Maka
demikianlah, wanita itu meninggalkan lelaki kita. Meninggalkannya sendiri dalam
sepi, meninggalkannya sendiri untuk melawan sepi.
Maka kini lelaki kita sendirian. Merasa kesepian. Tak ada lagi yang
membenarkan selimut selimut yang melorot ketika ia tidur. Tak ada yang
mengambilkan nasi atau menjerang air buat mandinya. Tak ada senyum yang
menemaninya menulis puisi, tak ada sorot lembut menatapnya. Tak ada semua yang
selama ini membuatnya kuat. Ia merasa payah, merasa tak sanggup lagi melangkah.
Dan pada sebuah malam kesekian yang senantiasa menyiksanya dengan kenangan,
ia melihat wajah bulan. Wajah yang berbeda dengan wajah-wajah bulan pada
malam-malam sebelumnya. Wajah yang tergantung di langit itu serupa benar dengan
wajah kekasih yang meninggalkannya. Ia segera keluar rumah. Menuju halaman dan
berdiri diam di sana sambil mendongak ke atas, ke aras bulan bulat itu. Tiba-tiba lelaki kita ini ingin menulis sajak cinta lagi.
Tapi bulan sempurna bundar yang mirip wajah kekasih yang meninggalkan
lelaki kita ini tak setiap hari bersinar. Pelan-pelan bulan akan mencengkung,
membentuk sabit untuk kemudian benar-benar lenyap di ujung bulan penanggalan
Jawa. Tapi bulan akan muncul lagi. Awalnya serupa noktah, lalu kembali
membentuk sabit dan bundar sempurna pada tengah bulan dalam kalender Jawa. Dan ia merasa tak mampu menunggu begitu lama untuk melihat wajah indah itu.
Maka ia berdoa agar bulan senantiasa purnama.
Namun bulan tak mungkin selalu purnama. Ada putaran musim, aliran angin,
ketinggian air laut, masa panen dan tanam, sampai waktu laku ilmu tertentu yang
bergantung pada rotasi dan evolusi bulan. Semua mesti berjalan sesuai
kodratnya. Maka sekhusyuk apa pun lelaki itu berdoa, bulan akan tetap mengalami
sabit, melalui bulan mati dan pasti kembali purnama tengah bulan.
Lelaki kita itu, sungguh keras hati kali ini. Ia tak ingin lagi ditinggal
kekasihnya. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut ketika wajah kekasihnya itu
perlahan sembul dan ingin menjadi yang terakhir mengucap sampai jumpa sewaktu
kekasihnya beranjak redup. Ia memutuskan tak bergerak dari halaman bahkan saat
mentari terbit. Kau tahu, kadang-kadang kau masih bisa menyaksikan bulan
menjelang siang walau sinarnya tenggelam dalam pancaran matahari. Bagimu
mungkin itu tak penting. Namun lelaki kita ini menganggapnya sesuatu yang haram
terlewatkan. Kalau kau pernah mendengar orang-orang tua berujar bahwa cinta
bisa membuat seseorang menjadi bodoh dan melakukan hal-hal yang tak masuk akal,
maka lelaki kita ini adalah amsal ujaran itu. Ia tak beranjak dari halaman,
berhari-hari, berminggu- minggu selain untuk makan atau buang air.
Namun langit tak hanya menyimpan wajah indah kekasihnya yang hilang atau
kilau cerlang bintang-bintang. Langit juga mempunyai mendung dan hujan, kilat
dan badai, matahari dan cahaya panas. Tak ada yang mampu menghentikan mereka
menjalankan tugas. Maka beginilah, selama beberapa malam mendung tebal
tergantung di langit untuk kemudian tumpah menjadi hujan dan badai, menabur
kilat dan dingin. Namun pada siang harinya, matahari bersinar teramat cerah,
mendedah panas yang menyiksa. Kejadian seperti itu terjadi pada tengah bulan
hitung-hitungan Jawa. Pada masa di mana semestinya purnama terlihat sempurna.
Lelaki itu tak juga beranjak. Telah lama ia memendam rindu. Hitunglah
sendiri berapa lama ia tak bersua wajah kekasihnya itu setelah tengah bulan
kemarin purnama yang terakhir. Badai yang menghajar tubuhnya malam-malam atau
panas yang meremas tubuhnya tak membuatnya bergerak. Ia kecewa sebab mendung
tebal menghalanginya melihat wajah indah bulan dan berharap langit kembali
ramah segera. Namun langit cerah ketika pagi telah sepenggalan dan bulan tak
lagi terlihat. Ia tetap tak bergerak. Berharap keajaiban, berharap bulan
kesiangan.
Ia telah lama bertahan. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Ia hanya masuk ke rumah untuk makan dan minum dengan
tergesa dan buru-buru kembali ke halaman. Ia kuat. Tapi tidak kali ini. Tiga
malam dihajar badai dan tiga hari digempur panas yang sangat. Ia merasa tubuhnya lemas dan panas. Pada malam keempat ia jatuh. Ia
mengira tertidur. Ia seperti bermimpi.
Ia melihat kekasih yang meninggalkannya dulu telah menjelma bulan. Bulan
yang senantiasa ia nanti. Bulan itu tak tergantung di langit seperti yang
selama ini ia lihat. Bulan itu begitu dekat dengannya, bahkan menyatu dengan
dirinya. Terletak di hatinya. Bulan itu berkata, ”kalau kau benar-benar
mencintaiku, kau akan tahu bahwa aku selalu menemanimu tanpa harus mendekap
tidurmu, menyiapkan air hangatmu atau mengangsurkan suapanmu. Kau akan tahu
bahwa aku selalu bersamamu sebab aku tinggal di hatimu dan senantiasa di sana. Aku tak pernah ke mana-mana.”
Lelaki kita itu ingin bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya
tak dapat bergerak. Maka ia putuskan untuk pergi tanpa tubuhnya. Pergi menuju
hatinya yang menyimpan bulan. Ia lihat tubuhnya telah begitu payah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar