Laila
Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi
istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur air mata Laila.
”Ada apa lagi Laila,”
tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”
Tangis Laila bukannya
berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya
interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji
naik.
”Laila itu bukan jenis
pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya
kamu!” bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.
”Dia punya konflik,”
kata istri saya kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting
tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu?
Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti
si Laila lagi yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!”
”Terlalu!”
”Sekarang si Romeo
nyuruh Laila berhenti lagi!”
”Berhenti?”
”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?”
”Kali Laila dapat
kerjaan baru.”
”Mana ada orang mau
menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!”
”Jadi Laila akan
berhenti?”
”Tidak! Biar Laila bawa
Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.”
”Boleh sama si Romeo?”
”Memang itu yang dia
mau!”
Saya menarik nafas.
Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau
dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung
jawab saya.
Mula-mula berat. Tapi
kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa
tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.
Sudah 11 tahun saya dan
istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami
ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin
reproduksi manusia.
Kehadiran Arjuna
membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari
jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.
Tapi pulang dari mudik,
saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di
situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama
sekali tidak takut oleh kehadiran saya.
”Itu anak-anak
pembantu-pembantu sebelah.”
”O ya?”
”Ya, orangtuanya juga
sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi
gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah
Hati,” kata istri saya.
Mula-mula saya
keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya
akan kehilangan privasi.
Ketika saya sedang
bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh
mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka
mulai kurang-ajar.
”Kamu frustrasi!”
komentar istri saya sambil tertawa,
”Persis!”
”Karena kamu kurang
peka!”
Saya berpikir. Istri
saya terus ketawa.
”Kamu tidak peka.
Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.”
”Menunggu apa?”
”Biasanya kalau pulang
mudik orang bawa oleh-oleh.”
”Aku bawa untuk Arjuna,
bukan untuk mereka!”
”Mereka semua
anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.”
Istri saya mengulurkan
sebuah kantung plastik yang penuh coklat.
”Bagikan ini pada
mereka!”
Saya takjub, tapi tak
bisa menolak.
Sejak peristiwa itu,
rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang
mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka
menganjurkan agar dirinya dititipkan.
Untung saya cepat
membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya
menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.
Tetapi kemudian Laila
kembali menangis.
”Si Romeo bertingkah
lagi!” umpat istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta
dibelikan motor!”
”Motor? Emang mau
ngojek.”
”Boro-boro ngojek, naik
motor juga nabrak melulu!”
”Terus untuk apa?”
”Menurut Laila itu mau
disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya
setengah tahun di bayar di muka.”
”Kamu tolak kan?!”
”Gimana ditolak? Laila
diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.”
Saya jadi penasaran.
Lalu saya mencecer Laila.
”Laila, cinta itu tidak
buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami
pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja
menginjak, tapi itu sudah
explotation de l’home par l’home tahu?!”
”Ya Pak.”
”Kamu mengerti?”
”Mengerti, Pak.”
”Suami yang baik
boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!”
Laila tunduk dan mulai
menangis.
”Kamu kok cinta mati
sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!”
”Saya hanya mau
berbakti kepada suami, Pak!”
”Itu bukan berbakti,
tapi sudah bunuh diri!”
”Orangtua saya selalu
berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak
boleh membantah kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!”
”Tapi kelakuan si Romeo
kamu itu sudah melanggar HAM!”
Laila menunduk dan
meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya
mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah
salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya.
Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila.
”Ah?! Ngapain mesti
peduli semua permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu
manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu
jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!”
Tapi kemudian istri
saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.
”Ini motornya, Laila.
Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!”
Laila mencium tangan
istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan
sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.
Tapi itu hanya berlangsung
sebulan.
”Si Romeo itu memang
kurang ajar!” teriak istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya
nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!”
Saya bengong. Dengan
mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh
kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.
Istri saya
mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji,
Romeo dilarang menyentuhnya.
”Kamu saja yang boleh
naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!”
Sejak itu Laila masuk
kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat
waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki,
menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila
tetap setia di posnya.
”PRT seperti Laila
memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu
bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada
ibu-ibu tetangga.
Tak terduga argumen itu
patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam
saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna
sambil menenteng tas besar.
”Motor kamu mana,
Laila?”
”Dipakai saudara misan
saya, si Neli, Pak.”
”Kenapa?”
”Kerjanya lebih jauh,
Pak.”
”Kenapa dia tidak naik
angkot saja?”
”Nggak boleh sama suami
saya, Pak.”
Saya bingung. Kemudian
saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu
rumah.
”Itu motor kamu Laila,
tidak boleh dipakai orang lain!”
”Tapi suami saya bilang
begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya
keras. Kalau datang telat bisa dipecat.”
”Kamu juga harus tepat
waktu sampai di sini, Laila!”
”Betul, Pak.”
”Ambil motor itu
kembali!!!!!!”
Besoknya Laila masuk kerja
tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.
”Maksudku kamu tidak
hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!”
Laila bingung. Dia
tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan
menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.
”Laila tidak berani
minta motor itu karena takut digampar si Romeo.”
Saya bingung.
”Kenapa bangsat itu
malah ngurus misannya, bukan istrinya?”
”Sebab misan Laila itu
perempuan !”
”Gila! Istrinya juga
perempuan!”
”Tapi perempuan itu
lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!”
Saya megap-megap.
”Ya Tuhan! Kenapa Laila
nerima saja dikadalin begitu?
Istri saya hanya
mengangguk.
”Sekarang memang banyak
orang gila!”
Langsung saya
interogasi Laila di dapur.
”Kenapa kamu terus
mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu,
mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?”
Laila tak menjawab.
”Kamu takut? Kalau
perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan.
Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!”
Laila diam saja.
”Itu namanya kamu sudah
kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!”
”Ya, Pak.”
”Kalau sadar kenapa
tidak bertindak?”
”Saya ingin berbakti
pada suami, Pak!”
”Itu bukan berbakti,
tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?”
”Ya, Pak!”
”Ya apa?”
”Kata orangtua saya,
sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata
suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.”
”Kalau orangtua kamu
masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!”
Mendengar dua kali
menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir.
Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka
bicarakan. Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air
matanya.
”Kita tidak bisa
kehilangan Laila,” kata istri saya kemudian.
”Lho, memangnya dia
minta berhenti?”
”Dia tidak bisa
merebut motor itu dari si Neli.”
”Tapi itu kan
haknya!”
”Kita tidak bisa
memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.”
”Harus! Kita
berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!”
”Kalau terlalu didesak,
bisa-bisa dia minta berhenti.”
”O ya, Laila bilang
begitu?”
”Dia tidak bilang
begitu, tapi pasti akan begitu.”
”Kenapa dia begitu
ketakutan?”
”Sebab Neli sudah
dikawini Romeo!”
Saya terpesona. Lama
saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai
Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.
Sementara terus-terang,
kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan.
”Kita tidak mungkin
kehilangan Laila,” kata istri saya.
”Tapi dia tidak boleh
dibiarkan masuk kerja terlambat terus.”
”Karena itu dia harus
punya motor!”
Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan
motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan
itu. Arjuna juga tertawa.
Motor kedua Laila
langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila
dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan
kami tepat.
Tapi tak sampai satu
bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu
kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan
ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.
Tidak pakai pendahuluan
lagi, Laila langsung digebrak.
”Laila, Ibu sudah bosan
bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak
usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk
lelaki hidung belang itu! Kalau motor itu dipakai
oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang! Kembalikan motor kamu!”
Laila gemetar. Saya pun
tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah
lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera
pergi. Saya lihat mukanya pucat pasi.
Saya kira perempuan itu
tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara
motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila
dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya
dengan sopan.
”Laila kembali, tapi
mungkin untuk pamit pergi,” bisik saya.
Istri saya menjawab
acuh tak acuh.
”Sudah waktunya dia
menghargai dirinya sendiri!”
Hari berikutnya, seminggu,
sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu.
Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan
tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah
membuatnya menjadi orang lain.
Tapi kalau diperhatikan
ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila.
Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.
Ketika gajinya
dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi
meneteskan air mata. Saya jadi penasaran.
”Laila, kenapa kamu
kelihatan tidak terlalu gembira?”
”Saya gembira gaji saya
dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.”
”Kamu naik motor mulus
yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar
saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak
berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?”
”Betuk, Pak.”
”Tapi kenapa kamu
kelihatan susah?”
Laila menunduk.
”Kenapa kamu sedih?”
”Ya, Pak, karena
sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.” Jakarta, 12 Oktober 09