Perihal
Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak
|
Jangan sesekali kau
dekati batang kayu itu. Selalu itu yang Emak katakan bila mata bocahku (dulu)
mulai berbinar-binar menatap batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas
kami itu. Lalu, aku akan melempar tanya yang sama lewat retina mata yang
seketika meredup mendengar larangan Emak itu. Mengapa?
Di dahan yang paling
dekat dengan pokok batangnya, ada seekor ular coklat besar bersarang. Ular itu
akan menggigit siapa saja yang mengusiknya.
Mendengar jawaban Emak
itu, aku pasti akan berjinjit ngeri. Terburu membunuh keinginan yang
meluap-luap untuk bergumul di dahan-dahannya. Dan sejak saat
itu, aku selalu menikam luapan rasa yang sama.
Namun,
semakin gigih aku meredam keinginan mendekati batang kayu itu, semakin gencar
pula Emak mengulang-ulang hikayatnya. Cerita yang aku pun mulai hafal tiap
bagiannya. Entah, Emak seolah-olah tengah menggodaku, serupa seseorang yang
hendak menguji; seberapa patuh aku akan larangannya itu? Sementara itu, sifat
kanak-kanakku yang penasaran akan kebenaran hikayat Emak, menggebu-gebu: Apa
benar? Atau ini hanyalah dongeng Emak semata agar aku tak jadi anak gadis
bengal yang bergumul dengan dahan-dahan kayu, macam bujang-bujang ingusan itu.
Di
batang kayu itu ada seekor ular coklat besar yang siap mematuk siapapun yang
mendekatinya. Dulu, ada seorang gadis muda dengan wajah bulat telur, leher
jenjang, kulit sawo matang dengan ikal mayang yang bergelombang sebatas
pinggulnya, mata belok, hidung bangir, dan bibirnya sangat tipis. Ia gadis yang
cantik.
Selalu
itu yang jadi pembuka hikayat Emak. Lambat laut, aku seperti merasa: Tidakkah
tokoh gadis yang ada dalam hikayat Emak itu diriku? Sejak
menduga-duga serupa itu, aku kerap mematut wajahku di cermin dalam bilik.
Rambut hitam yang legam serupa ombak bergelombang sampai pinggang, mata belok,
hidung bangir, kulit sawo matang. Persis. Emak seolah-olah tengah menghikayat
cerita tentang diriku.
Gadis
muda itu tinggal bersama emaknya di limas mereka. Seorang perempuan tua yang
mulai terdengar begitu cerewet baginya. Selalu saja melarangnya mendekati
batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas mereka. Padahal, di bawah
batang kayu itu, saban hari menjelang siang sampai malam merayap datang, ada
seorang bujang yang duduk dengan kambing-kambingnya. Bujang berahang keras
dengan sorotan mata elang, tangannya besar dengan bidang dada yang begitu luas
untuk bersandar. Sebelum emaknya memergoki ia kerap datang dan bercerita
bersama bujang itu tentang kambing, batang kayu tempat mereka berteduh, sampai
kain tenun (setelah itu emaknya selalu melarangnya mendekati batang kayu itu),
gadis itu merasa telah menemukan hidupnya. Diam-diam, ada yang tumbuh di
dadanya, sekuntum mawar liar yang menggeliat-geliat.
Di
bagian hikayat itu, aku selalu menemukan raut muka Emak berubah. Ada
binar-binar yang tak dapat Emak sembunyikan, serupa sipu gadis pemalu yang
jatuh cinta. Jarang sekali, aku menemukan riak-riak bahagia di gurat muka Emak
yang keras.
Gadis
itu tak dapat meredam geliat mawarnya. Lebih-lebih bila mata beloknya tengah
menerawang di langit-langit kamar. Bayangan ia yang menyandarkan kepala di dada
bujang itu selalu saja mengantar-kantar matanya. Genggaman jemari besar dengan
telapak kapalan terasa begitu lembut saat memegang tangannya. Ia tak tahan. Ia
tak dapat menahan rindu yang menyekap.
Lalu,
raut muka Emak akan kembali berubah. Setelah binar-binar yang demikian jarang
aku temui itu, aku akan menemukan wajah Emak yang nelangsa. Penuh beban, penuh
derita, seperti seseorang yang menahan rindu begitu besar, hingga rindu itu
terasa tengah meremas-remas hatinya tanpa belas.
Setelah
tak sanggup menahan rindu yang mengantar-kantarnya, gadis itu melarang pantang
emaknya. Pada pagi menjelang siang yang kelak gadis itu catat sebagai hari
paling pekat dalam hidupnya, ia menemui bujang itu. Mereka melepas rindu yang
sudah tak tertakar, hingga meluapkan segala rasa sampai tak sadar kain tenun
telah tersingkap dan seekor ular coklat besar yang mengintai mematuk si gadis
yang lengah. Bisa telah tersembur, taring telah tertanam. Si gadis membiru
dalam ketakutan, si bujang cemas hingga lari ditelan rimba, meninggalkan gadis
bermata belok menampung bisa yang merenggut nyawanya.
***
Sesungguhnya,
aku tak suka bila Emak telah berhikayat. Selain cerita Emak yang selalu sama:
Tentang seorang gadis cantik dan batang kayu yang tumbuh rindang di belakang
limas kami itu, cerita Emak diam-diam telah menakutiku. Aku kerap bermimpi
buruk. Telah berkali-kali aku ceritakan itu kepada Emak. Tentang aku yang
ketakutan dalam tidurku. Seolah aku tengah melanggar pantang Emak, diam-diam
menyelinap, dan pergi ke bawah batang kayu itu. Di sana, aku menemukan seekor
ular coklat yang demikian besar, bermulut lebar dengan kedua taring yang
mengerikan.
Itu
artinya, jangan sesekali kau pantang Emak. Bila kau lakukan, ular coklat besar
itu akan mematukmu, menyemburkan bisanya yang beracun, hingga kau meregang
nyawa sendiri dan terlempar ke alam orang-orang mati. Terkuncil. Sendiri. Dan
sunyi.
Pasti.
Pasti kata-kata itu yang Emak lontarkan bila aku bercerita tentang mimpi-mimpi
burukku. Bila telah demikian, Emak akan kembali mengulang hikayatnya, perihal
sebatang kayu di belakang limas kami itu dan seorang gadis cantik yang dipatuk
ular coklat karena melanggar pantang emaknya.
Setelah
aku merasa Emak tak akan pernah berhenti menceritakan hikayatnya yang
menakutkan itu, aku memilih untuk tak menceritakan lagi mimpi-mimpi burukku.
Sebab, ceritaku tentang mimpi-mimpi yang mengerikan itu tak akan membuat Emak
iba dan menyudahi kisah membosankannya.
Sama
hal dengan keinginanku untuk pergi bersama bujang-gadis sebayaku yang saban
pagi kutatap dari jauh. Mereka tertawa-tawa, berloncat-loncatan, kejar-kejaran
dengan baju yang seragam. Putih-merah. Warna yang menggoda mataku. Selalu saja,
saban malam sebelum pejam menjemputku pelan berlahan, doaku sama: Hendak
rasanya aku bermimpi di antara mereka, dengan seragam yang sama, menderaikan
tawa bersama.
Namun,
mimpi itu tak kunjung datang, saban malam hanyalah mimpi tentang ular yang
bersarang di batang kayu itu yang menemani tidurku. Mimpi mengerikan.
Sejatinya,
aku hendak bercerita kepada Emak, mengapa aku ingin sekali mendekati batang
kayu itu. Batang kayu yang tumbuh di belakang limas kami, batang kayu yang
berdiri kokoh di tengah padang rumput. Di sana, aku kerap menemukan
bujang-gadis seumurku berkejaran, berlari menangkapi capung, bersorak-sorak,
lalu mereka berguling-guling di atas rumput. Menderai tawa yang rincak di
cupingku.
Tapi,
aku tak kunjung mampu untuk mengutarakannya. Tersebab, Emak seolah telah mampu
membaca pikiran yang ada di batok kepala kanak-kanakku.
Percayalah,
mereka tak akan suka padamu. Ebak-emak mereka akan gegas menyeru mereka pulang,
bila kau ada di antara mereka. Setelah itu, kau pasti menangis. Dan Emak tak
hendak melihat airmata ada di wajahmu, sebab airmata itu tak akan membuat
mereka iba. Menyakitkan, bukan?
Entah,
apa yang Emak katakan? Hanya saja, air muka Emak terasa sangat mengerikan.
Serupa seringai hantu perempuan yang mati penasaran, nelangsa, penuh beban,
penuh dendam. Dan, aku memilih mengubur keinginanku bersama hantu perempuan
yang menakutkan itu.
***
Ada
hikayat yang sesungguhnya sangat ingin kudengar dari Emak. Tentunya, bukan
hikayat tentang sebatang kayu yang tumbuh di belakang limas kami dan seorang
gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang emaknya.
Hikayat ini tentang Ebak yang tak sekalipun dapat kubayangkan rupanya. Tak ada
selembar foto atau apapun yang berhubungan dengan lelaki itu di limas kami.
Hingga, aku pun tak tahu, harus membayangkan rupanya seperti apa.
Ebak-mu
telah mati dan kau yatim bersamaku di limas ini.
Selalu.
Selalu itu yang Emak katakan bila aku mulai memancing Emak untuk bercerita
tentang Ebak. Dan aku pun akan menemukan air muka Emak berubah keruh. Seperti
seseorang yang menahan marah, nelangsa, cinta, kesumat, dan semua rasa yang
berbalur dalam hatinya. Rasa yang bergumul-gumul hingga melahirkan raut muka
Emak yang terlihat begitu mengerikan juga menumbuhkan iba bila kau pandang
lamat-lamat.
Bisakah
kita ziarah ke kuburnya?
Dan aku
pun mengikuti kebiasaan Emak. Mengulang permintaan yang sama. Berulang-ulang. Walau aku
pun tahu, jawaban Emak pasti akan sama pula.
Anak
gadis tak elok berziarah ke kubur. Kau mulai lupa apa yang Emak
ajarkan? Nabi melarang anak gadis ziarah, tersebab pasti akan menangis
meraung-raung di sana.
Lalu,
aku mulai memutar otak kanak-kanakku agar dapat meminta Emak menceritakan
hikayat tentang Ebak. Selain, aku ingin membuat Emak lupa mengulang-ulang
hikayat sebatang kayunya itu, aku kian penasaran dengan sosok laki-laki yang
telah membuatku ada di limas ini.
Tak ada
yang luar biasa untuk Emak ceritakan tentang Ebak-mu. Ia lelaki
berahang keras dengan sorot mata elang, bertelapak tangan besar yang kapalan.
Rambut legam dan dadanya serupa padang rumput yang bidang.
Hanya
itu. Dan cuma itu. Tak ada yang lainnya, hingga aku hanya dapat mereka-reka wajah
Ebak dalam benakku. Dalam benak kanak-kanak. Aku pun tak punya pembanding,
seperti apa rupa lelaki. Di limas ini, cuma ada aku dan Emak. Dua perempuan
yang terasa begitu kaku dalam bercerita.
Apa
musabab kematian Ebak?
Aku
masih setia mengejar Emak dengan hikayat yang sepertinya tak hendak ia terakan.
Bila telah demikian, Emak akan memasang wajah merengut. Mendelikkan
mata tak suka padaku. Dan aku pun akan menutup mulut.
Ebak-mu
mati di tengah rimba, usai berlari lantaran melihat seekor ular mematuk seseorang.
Kematian yang mengerikan, kematian yang membuatnya terlempar ke alam yang
tak bisa kau raba. Sudah, tak usah kau tanya tentang itu lagi.
***
Begitulah,
Emak selalu saja menghikayatkan tentang sebatang kayu di belakang limas kami
itu. Tentang seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran
melanggar pantang dari emaknya. Kebiasaan Emak menceritakan hikayatnya itu kian
menjadi-jadi saja seiring usiaku yang menampak. Dan aku mulai terbiasa dengan
ceritanya, kuanggap dongeng semata, tak perlu dicemaskan. Aku pun tak hendak
lagi memaksa Emak menceritakan hikayat tentang Ebak, karena aku tahu Emak pasti
tak akan menceritakannya. Dan, aku pun tak perlu bercerita kepada Emak, kalau
aku diam-diam telah dua kali ke bawah batang kayu itu. Mengintip seorang bujang
yang mulai berjakun, bersorot mata elang dengan rahang keras yang tersenyum
padaku. (*)
C59,
Januari-Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar