Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
(Buat
GM)
Aku
menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku
belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan
menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika
hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan
menyapa.
”Mencari
bunga untuk apa Pak?”
Aku
menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau
mungkin kurang dari itu.
”Bunga
untuk ulang tahun.”
”Yang
harganya sekitar berapa Pak?”
”Harga
tak jadi soal.”
”Bagaimana
kalau ini?”
Ia
memberi isyarat supaya aku mengikuti.
”Itu?”
Ia
menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang
sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
”Itu
saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak
bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak
menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
”Ya,
ini yang aku cari.’
Dia
mengangguk senang.
”Mau
diantar atau dibawa sendiri?”
”Bawa
sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia
kelihatan bimbang.
”Berapa
duit.”
”Maaf
sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
”Tidak,
aku mau ini.”
”Bagaimana
kalau itu?”
Ia
menunjuk ke bunga lain.
”Tidak.
Ini!”
”Tapi
itu tak dijual.”
”Kenapa?”
”Karena
dibuat bukan untuk dijual.”
Aku
ketawa.
”Sudah,
katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
”Dua.”
”Dua
apa?”
”Dua
juta.”
Aku
melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin
indah. Aku mulai penasaran.
”Jadi,
benar-benar tidak dijual?”
”Tidak.”
Aku
pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang
lain.
”Bagaimana
kalau itu?”
Aku
sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya.
Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di
atas meja berikut uang receh logam.
Dia
tercengang.
”Bapak
mau beli?”
”Ya.
Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang.
Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku
merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu.
Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia
berpikir. Setelah itu menyerah.
”Ya,
sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku
terpesona tak percaya.
”Bapak
perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
”Duapuluh
ribu cukup.”
”Rumah
Bapak di mana?”
”Cirendeu.”
”Cirendeu
kan jauh?”
”Memang,
tapi dilewati angkot.”
”Bapak
mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
”Habis,
naik apa lagi?”
”Tapi
angkot?”
”Apa
salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
”Bukan
begitu.”
”O,
kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu
aku jalan kaki saja.”
”Bapak
mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya,
hitung-hitung olahraga.”
Dia
menatap tajam.
”Bapak
bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku
tercengang.
”Kurang?”
“Tidak.
Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double
BB di BK PIM.”
Dia
tersenyum. Cantik sekali.
”Silakan.
Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
”Tidak.”
Dia
berpikir.
”Jadi,
bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan
pada seseorang.”
”Memang.
Untuk diberikan pada seseorang.”
”Yang
dicintai mestinya.”
”Ya.
Jelas!”
”Sebaiknya,
Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan.
Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku
terpesona lalu mengangguk.
”Setuju.
Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia
cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
”Sebaiknya
Bapak saja yang menulis.”
”Tidak.
Kamu.”
Ia
tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan
sajak. Aku menolak.
”Kamu
saja yang memilih.”
”Tapi,
saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
”Pokoknya
yang bagus. Yang positip.”
”Cinta,
persahabatan, atau sayang?”
”Semuanya.”
Ia
tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu.
Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi
kalimat yang ditarik dari sajak
Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
”Bersiap
kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku
terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama
26 tahun di penjara Robben karena puisi.
”Bagus?”
Aku
tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan.
Cepat-cepat kuhapus.
”Saya
juga sering menangis membacanya, Pak.”
”Ya?”
”Ya.
Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku
menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
”Kamu
saja yang tanda tangan.”
”Kenapa
saya?”
”Kan
kamu yang tadi menulis.”
”Tapi
itu untuk Bapak.”
”Ya
memang.”
Ia
bingung.
”Kamu
tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
”Tapi,
saya menulis itu untuk Bapak.”
”Makanya!”
Ia
kembali bingung.
”Kamu
tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia
bengong.
”Aku
memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
”Jadi,
bunga ini untuk Bapak?”
”Ya.”
”Bapak
membelinya untuk Bapak sendiri?”
”Ya.
Apa salahnya?”
”Bapak
yang ulang tahun?”
”Ya.”
Dia
menatapku tak percaya.
”Kenapa?”
”Mestinya
mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka
siapa?”
”Ya,
keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
”Mereka
terlalu sibuk.”
”Mengucapkan
selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
”Tapi
itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat
untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku
ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil
bunga itu.
”Terima
kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku
tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi
terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun
yang lain dari yang lain.
Tapi
sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
”Ini
uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari
tanganku, ”Bapak simpan saja.”
”Kenapa?
Kan sudah aku beli?”
Aku
raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
”Tidak
perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak
pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia
menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
”Aku
pemilik toko ini.”
Aku
terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.
Jakarta, 30 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar