Kisah Siti Nurjannah
Setiap kali
melewati Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo, aku terkenang kepada
dua perempuan, Sobar memulai kisahnya. Perempuan pertama adalah Farida, yang
kunikahi ketika berusia 24 tahun. Perempuan kedua bernama Siti Nurjannah. Dia
adalah makhluk yang tidak kasatmata dan selalu berbau wangi. Aku bersua
dengannya ketika ditahan di RTM. Mata kedua perempuan rupawan itu dapat menyihir
para pria hingga tergila-gila, atau mabuk kepayang, lanjut Sobar.
Kau mengada-ada! Kau
’ngarang, ya?” Aku memenggal kisah Sobar. ”Apa maksudmu dengan, Siti Nurjannah
adalah makhluk yang tidak kasatmata?” tanyaku heran. Sobar memang muncul
tiba-tiba. Dia bagai orang bunian datang di rumah tua, di desa kelahiranku,
tempatku sembunyi. Dia tersipu. Saat itu bulan Desember yang berhujan lebat.
Matahari senja memerahkan cakrawala di kawasan barat, ketika lelaki yang lama
menghilang itu datang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Pakaian dari bahan dril
abu-abu yang membungkus badan mantan tapol kurus itu, lepek, kusut, dan dekil.
Dulu, Sobar bertubuh
tegap, gagah, dan atletis. Kini, kulitnya hitam, seperti gosong, dan bersisik
mungkin disebabkan penganiayaan yang dialaminya selama dalam tahanan. Kumisnya
lebat, liar, tidak terurus. Jenggotnya panjang, putih seluruhnya, lancip bagai
tergantung di dagunya yang tirus. Wajahnya pucat, keriput, kukira bukan karena
usia tua, tetapi disebabkan penderitaan panjang, yang telah dilaluinya selama
ditahan tanpa proses hukum. Rambut kribonya jadi gondrong, beruban bagai
brokoli putih.
Siti Nurjannah tidak
kasatmata, jawabnya setelah merenung seketika lamanya. Mata sayunya begitu letih
menatapku, seakan bercerita tentang deritanya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke
arah pintu apabila terdengar langkah-langkah mendekat di luar rumah. Dia tampak
selalu waswas. Siti Nurjannah adalah salah seorang penghuni RTM, tempatku
ditahan, Sobar menegaskan. RTM itu hanya untuk tahanan politik pria, kataku.
Senyum Sobar sinis, mengejekku—si pengecut—yang lari terbirit-birit
meninggalkan Jakarta ke desa kelahiran setelah terjadi tragedi berdarah awal
0ktober 1965, yang menggegerkan dunia.
Penghuni RTM itu
bukan hanya tapol pria yang kasatmata, bantah Sobar. Ada juga yang tidak
tampak, yakni roh, makhluk yang hidup tanpa jasad. Sang jasad telah kopong.
Rohnya telah meninggalkan alam fana—menuju alam baka, Sobar menjelaskan. Siti
Nurjannah yang memiliki mata memesona itu adalah salah satu roh atau ruh.
Selaku Muslim yang taat beribadat, kau tentu paham maksudku. Di dalam
kitabullah dan kamus, ikhwal roh itu pun tertera, sambung Sobar. Dia tahu
benar, aku tidak percaya kepada cerita-cerita takhayul, yang tak masuk akal
sehat, dan membuat orang tetap bodoh. Sobar tidak mau menyebut Siti Nurjannah
yang diceritakannya itu adalah hantu, setan, atau kuntilanak. Siti Nurjannah
benar-benar roh, ucapnya pasti.
Setelah kau mandi,
bersalin pakaian bersih dan hangat yang kusediakan, lalu, kita makan, kataku
kepadanya. Usai makan, ceritamu boleh diteruskan, kataku. Aku tidak tega
menyaksikan dia lapar dan kedinginan dibungkus pakaian dril sangat dekil, basah
pula. Saat masak di dapur, aku teringat perilaku Sobar semasa kami masih
menjadi reporter muda di Jakarta, dulu. Dia adalah wartawan yang cerdas, jujur
dan berani. Tulisannya kritis, dan akurat. Dia berani mengkritik oknum polisi
lalu lintas yang minta uang kepada sopir-sopir truk, yang dituduh salah jalan.
Ketika itu, usianya masih belasan tahun. Tentu saja dia harus berurusan dengan
polisi. Beritanya itu dinilai suatu penghinaan kepada aparat penegak hukum.
Menyaksikan sosok
Sobar, komandan polisi tidak percaya bahwa dia adalah wartawan benaran. Segera
Sobar menunjukkan kartu pelajar dan kartu persnya. Foto si oknum polisi yang
sedang meminta uang kepada sopir-sopir truk di jalan yang sepi di luar kota
dikeluarkannya juga. Komandan polisi itu ternganga, memelintir kumis lebatnya,
lalu marah. Foto anak buahnya yang nakal itu dirampasnya dari tangan Sobar.
Sobar yang romantis
ingin menikah dengan Farida, putri pemilik Toko Obat Walafiat, yang terkenal
kaya. Sobar melamar Farida dengan modal nekad. Si cerdas itu dapat meyakinkan
calon mertuanya. Wartawan muda yang masih ’kere’ itu berhasil menyunting Farida
yang jelita, pemilik mata indah yang memesona. Setahun, setelah Sobar ditahan
di RTM, sang interogator berpangkat letnan dari oknum AD tergila-gila kepada
Farida. Pemilik mata yang memesona luar biasa memikat. Kata interogator, Sobar
segera dikirim ke Pulau Buru jika Farida tak mau bercinta dengannya. Farida
yang cinta sejati kepada Sobar seperti akan gila. Terjadi peperangan dahsyat di
dalam dirinya. Namun, iming-iming sang interogator itu untuk sementara dapat
dihindarinya dengan mengatakan, saya baru saja datang bulan.
Ketika sang
interogator melarang Farida menengok suaminya, perempuan muda itu syok. Farida
diancam, jika menolak keinginan sang interogator, Sobar dibuang ke Pulau Buru
hari Minggu depan! Farida terpaksa takluk. Tetapi, sang interogator belum puas.
Dia memaksa Farida menjadi istri gelapnya.
Seminggu setelah
kejadian yang memilukan itu, Farida mengirim surat kepada Sobar. Dia mengaku
berdosa karena tak suci lagi. Perempuan polos, jujur, dan lugu itu minta
diceraikan. Hal itu terjadi setelah dibujuk, dirayu, dan diteror oleh sang
interogator. Tiga bulan setelah kejadian itu, Farida sakit ingatan. Dia
dikembalikan sang interogator kepada orangtuanya. Ayahnya segera mengirim anak
perempuan semata wayangnya itu ke rumah sakit jiwa.
Ketika makan malam,
seusai shalat isya berjamaah bersamaku, Sobar mengatakan, belakangan ini, setelah
bebas dari tahanan, kehilangan nafsu makan. Dia selalu teringat kepada Farida.
Tubuh Sobar gemetar. Segera kupegang lengan kanannya kuat-kuat. Kumohon dia
agar senantiasa istigfar. Matanya basah. Kelima jarinya yang menjumput nasi dan
sepotong telur ceplok masih di pinggan. Belum sesuap nasi pun masuk ke
mulutnya. Tubuh Sobar terguncang-guncang seketika lamanya. Kupeluk dia
erat-erat dengan harapan, dia mampu berdamai dengan duka laranya. Maaf, Bagus,
bisiknya, aku malu jadi lelaki yang lemah. Kau selalu kuat, Sobar, ucapku.
Akulah lelaki yang pengecut. Buktinya, aku kabur dari Jakarta setelah tragedi
awal bulan 0ktober 1965 itu, karena takut melihat banjir darah, kataku.
***
Sebelum tidur, Sobar
bercerita tentang Siti Nurjannah— yang bermakna, ’Siti Cahaya Surga’. Ketika
pertama kali muncul dalam mimpiku, ya, dalam mimpi, katanya, tubuh Siti
Nurjannah berlumuran darah, tetapi menyebarkan bau wangi bunga melati yang
melegakan. Aku takut, kata Sobar. Aku menyangka makhluk seram itu adalah hantu
atau iblis penghuni RTM. Sekujur tubuhku
menggigil, bukan karena hujan deras dan angin kencang di luar RTM, tapi
lantaran takut, tutur Sobar. Aku sempat bertanya, Anda ini siapa, kok tidak
mengucapkan salam saat masuk ke kamar tahananku, yang terkunci? Bagaimana Anda
bisa masuk bangunan RTM, padahal tiga pintu berlapis-lapis kawat berduri dijaga
ketat oleh polisi militer bersenjata lengkap? Sobar mengaku takut, tapi takjub.
Ketika Siti Nurjannah
membuka selendang yang menutup wajahnya, aku ternganga, lanjut Sobar. Sepasang
mata yang memesona menyorot ke arahku, persis mata milik Farida. Bagaimana
bisa, mata indah—yang bikin pria mabuk kepayang ini sama dengan milik Farida?
Sobar terus bertanya. Setiap insan ciptaan Tuhan memiliki keunikan, jawab Siti
Nurjannah. Keunikan itu adalah suatu kelebihan yang dianugerahkan Sang Maha
Pencipta alam semesta dan segenap isinya kepada makhluk mulia ciptaan-Nya yakni
manusia. Pertanyaannya, adalah, apakah semua makhluk mulia ciptaan Tuhan itu
telah mengetahui kelebihan itu? Apakah keunikan dan kelebihan yang
dianugerahkan Sang Maha Pencipta itu telah digali oleh pemiliknya dan
dikembangkan sekuat daya sehingga menjadi unggul?
Sobar bertanya lagi,
mengapa sekujur tubuh Siti Nurjannah berlumuran darah? Ceritanya panjang, jawab
Siti Nurjannah. Lalu, perempuan rupawan itu minta izin untuk membersihkan darah
dari luka-luka di tubuhnya di kamar mandi. Setelah itu, dia bercerita
sejujurnya kepada Sobar tentang siapa dirinya yang sebenarnya.
Ayah Siti Nurjannah
adalah pemilik bengkel mobil yang sedang maju pesat. Saingannya adalah mertua
seorang oknum perwira tinggi AD. Pesaing itu melaporkan kepada aparat keamanan
bahwa Haji Zoim, penggemar wayang kulit adalah anggota Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Cepat aparat keamanan berpakaian sipil dan para pemuda
mengepung rumah Haji Zoim. Siti Nurjannah berteriak-teriak, minta tolong kepada
tetangga. Dia mengatakan, para perampok menyantroni rumahnya.
Merasa yakin difitnah,
Haji Zoim, mantan guru silat itu, melawan. Dia melindungi anak perawan tunggalnya.
Para aparat keamanan tidak menyangka akan mendapat perlawanan. Mereka terdesak,
lalu melepaskan tembakan membabi buta ke arah Haji Zoim. Siti Nurjannah memeluk
ayahnya yang mandi darah sambil menyumpahi para aparat keamanan dan para pemuda
yang menyerbu rumahnya. Siti Nurjannah pun diberondong dengan senjata otomatis.
Seisi rumah itu mati dibantai. Rumah pun dibakar sampai jadi arang.
Itulah yang menyebabkan
sekujur tubuhku mandi darah, cerita Siti Nurjannah. Jangan takut, Bung, lanjut
si gadis, mahasiswi semester tujuh di fakultas psikologi negeri itu. Aku adalah
roh. Aku datang ke sini untuk menghibur orang-orang yang tidak bersalah, tapi
telah difitnah, lalu dijadikan tahanan politik tanpa proses hukum. Anda sendiri
ditahan karena apa? Siti Nurjannah bertanya kepada Sobar.
Sobar terkejut, lalu
jawabnya, cerita tentang diriku unik juga. Aku seorang jurnalis, kata Sobar.
Aku memberitakan di media massa ibu kota ihwal seorang oknum jenderal AD yang
diangkat jadi direktur utama di perusahaan milik negara. Oknum jenderal AD itu
mendepositokan uang perusahaan negara atas nama pribadinya. Oknum kolonel AD,
oknum mayor AD, oknum kapten AD, dan oknum letnan AD, para anak buah sang
jenderal itu ikut juga mendepositokan uang milik perusahaan itu atas nama pribadi
di bank BNI. Artikelku itu berjudul ’Rayap-rayap Hijau di Perusahaan Negara’,
tutur Sobar. Kemudian, aku dipaksa minta maaf, lalu diperiksa oleh
oknum mayor AD. Selanjutnya, aku dikirim ke kantor polisi militer. Setelah
diinterogasi dua hari, aku dijebloskan ke dalam tahanan. Alasan penahananku
adalah karena pemeriksaan belum selesai. Tapi, koran-koran pemerintah yang
terbit esok harinya memberitakan, seorang wartawan berinisial ’S’ ditahan
karena dia adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Anda terlalu
berani, kata Siti Nurjannah seraya terkekeh-kekeh, heh heh heh! Anda telah
menentang arus deras suatu rezim yang maha zalim, lanjut Siti Nurjannah. Ya,
ya, sahut Sobar, teman-temanku pun bilang, kau telah membenturkan kepala ke
tembok. Konyol kau! Begitu kata mereka. Ya, boleh jadi begitu. Tetapi, aku
merasa sangat yakin telah melakukan perlawanan kepada penguasa yang rakus dan
maha zalim, ujar Sobar tenang.
Sobar melanjutkan
ceritanya, aku ikut pemilihan umum di dalam tahanan yang menyediakan tempat
pemungutan suara khusus (TPS Khusus) di RTM. Malamnya, aku bermimpi lagi, Siti
Nurjannah datang bersama bau wangi melati yang semerbak mengharumkan kamar
tahananku. Dengan ikut pemilihan umum, padahal di dalam rumah tahanan,
membuktikan, fitnah atas diri Anda adalah bohong besar, kata Siti Nurjannah.
Seseorang yang berhak memilih, menurut Undang-Undang Pemilihan Umum adalah
seseorang yang tidak terlibat partai terlarang dan organisasi massanya, lanjut
Siti Nurjannah pula. Tak lama lagi Anda akan dibebaskan, katanya yakin.
Apa yang dikatakan Siti
Nurjannah di dalam mimpiku itu ternyata benar, kata Sobar pula. Semalam sebelum
aku dibebaskan, Siti Nurjannah datang lagi bersama harum bunga melati. Besok
sore, pada malam takbiran Idul Fitri, Anda akan dibebaskan, katanya. Tetapi,
mengapa Bung Sobar sedih? Mengapa tidak bersyukur? Kukatakan kepada Siti
Nurjannah, tentu saja aku mensyukuri semua nikmat dari Tuhan. Lalu, kuceritakan
ihwal aku tidak lagi memiliki Farida, pemilik mata indah memesona seperti mata
Siti Nurjannah. Lagi pula, kata Sobar, sesungguhnya—aku bebas dari penjara
kecil menuju penjara yang lebih besar di luar sana!
Sobar hampir menyudahi
sepenggal kisah hidupnya. Tetapi, lanjutnya, bila Bung Bagus melintas di Jalan
Budi Utamo Jakarta sekarang ini, bangunan gedung RTM—yang disebut juga Asrama
Tunatertib Militer (Astuntermil), itu sudah tidak tampak lagi jejak garangnya.
Bangunan tua, tempat penyiksaan tapol, yang tak jauh dari SMA Negeri I Jakarta,
itu telah rata dengan tanah. Kini, di tempat bangunan itu hanya tampak tanah
kosong. Entah apa maksud penguasa menghancurkan rumah tahanan politik
bersejarah di Jakarta Pusat itu? Lalu, ke mana Siti Nurjannah pindah? *** Villa Kalisari,
Depok, 23 November 2009