Biografi Kunang-kunang
|
Pada malam hari, ibumu
akan menjadi kunang-kunang, terbang ke hamparan bunga-bunga, ke sepanjang
jalan, menelusuri remang cahaya, hinggap di daun-daun, berteduh dari embun,
lalu terbang lagi, ke atap rumah, ke tiang listrik, ke bawah jembatan. Ibumu
menjadi kunang-kunang sepanjang malam, mencari kamu yang sudah lama hilang.
”Di
mana kamu, anakku? Di mana?”
Nyala
di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip,
seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ibumu—kunang-kunang itu—terus
mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus
mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia
terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi
setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah
yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, ibumu selalu
setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan
keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk
kembali di malam berikutnya….
***
Ceritanya
akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang bantaran Sungai
Logawa ini, kalau ada seorang anak yang kehilangan ibunya, entah meninggal atau
minggat dengan lelaki kota, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu,
mereka akan mengatakan bahwa ibunya sekarang sudah berubah menjadi kunang-
kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus
sadar bahwa sang ibu masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya,
terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya.
Sejak
dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku
mendengar penuturan Antiona, gadis kecil yang baru sebulan lalu ditinggal sang
ibu, menikah lagi dengan seorang pengusaha. Aku memang suka menemani Antiona
yang kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ayahnya juga
sudah tiada, menjadi korban tabrak lari oleh sebuah bus jurusan
Surabaya-Yogyakarta.
Antiona
berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu ibunya. Awalnya aku tak
terkejut, sebab bisa saja ibunya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk
Antiona. Tetapi gadis itu berkata bahwa ibunya sudah menjelma kunang-kunang,
dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya.
”Lalu?
kamu buka jendelanya?” Tanyaku.
”Iya,
kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.”
”Terus?”
”Terus
aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu Ibu.”
”Jadi,
kamu bertemu ibumu cuma dalam mimpi?”
”Iya.”
”Besok
paginya bagaimana?”
”Besok
paginya kunang-kunang itu hilang.”
”Hilang?”
”Iya.
Hilang begitu saja.”
Wajah
Antiona berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah
berpamitan dan meninggalkan rumah Antiona, cerita itu seperti berputar kembali
untuk diriku sendiri.
Aku
membayangkan ibuku masih hidup sampai saat ini, sampai detik ini, dan dia pun
amat merindukanku malam ini.
Tetapi,
siapa ibuku?
Barangkali
ibuku memang pelacur. Ya. Sudah jadi rahasia umum, bahwa aku hanya anak pungut
yang ditemukan warga dan sempat dititipkan ke keluarga kepala desa, sebelum
akhirnya diserahkan ke seorang nenek di gubug dekat masjid yang kesepian.
Awalnya aku adalah bayi menangis di dalam kardus mi, menangis di bawah tiang
lampu dekat pos ronda yang remang-remang.
”Dulu,
kamu ditemukan warga di bawah sana,” Kata Nenek angkatku.
”Siapa
yang membuang aku, Nek?”
”Mungkin
saja ibumu.”
”Kenapa
ibu membuangku, Nek?”
”Tidak
tahu.”
”Terus
ibu ke mana?”
”Tidak
tahu.”
”Apa
ibu tidak rindu aku?”
”Tidak
tahu.”
”Apa
Nenek mau bantu aku mencari ibu?”
”Hmm,
tidak tahu.”
Lalu
desas-desus pun mengiringi pertumbuhanku, ketika aku beranjak empat belas
tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan,
setiap tetangga berusaha memberikan versinya masing-masing tentang asal-usulku.
”Biasanya,
yang suka membuang bayi adalah perempuan yang masih muda, masih SMA.”
”Betul
itu, mungkin ibumu masih sekolah, dan ditinggal pacarnya sehabis dihamili, jadi
kamu dibuang karena tidak dikehendaki.”
”Eh,
tapi mungkin saja kamu dibuang suster rumah sakit, karena orangtuamu tidak bisa
membayar biaya persalinan, sekarang kan banyak kasus seperti itu.”
”Atau
kamu ini korban penculikan, orangtuamu tak sanggup membayar uang tebusan.”
”Atau
mungkin kamu harus terima kalau ibumu memang pelacur. Wanita yang jadi pelacur
memang suka membuang bayi yang telat diaborsi, sudah biasa itu.”
Semakin
lama, kisah tentang asal-usulku membuatku pusing, namun aku sempat heran,
mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang beredar di kampung ini,
bahwa ibuku sudah menjelma kunang-kunang, dan hingga kini masih setia
mengunjungiku setiap malam.
”Cerita
itu hanya ditujukan untuk menghibur anak-anak yang benar-benar berasal dari
kampung di tepi Sungai Logawa ini, diketahui jelas siapa ibunya, dan karena
alasan apa perginya. Sementara kamu sudah pasti bukan dari kampung ini, karena
sewaktu kamu ditemukan, orang-orang langsung lapor ke kantor polisi, beberapa
hari dilakukan pencarian, tidak ada hasil, tidak ada seorang warga pun di sini
yang merasa kehilangan atau ketahuan membuang anaknya. Jadi, pasti kamu dibuang
orang dari kampung lain.”
Begitu
penjelasan Nenek angkatku, ia suka berbicara sambil mengunyah sirih. Sebenarnya
aku juga tidak terlampau berharap mereka akan menghiburku dengan cerita semacam
itu, sebab toh cerita itu sangat tidak masuk akal, mana ada seorang ibu yang
bisa menjelma kunang-kunang? Semakin bertambah umurku, aku semakin tidak
percaya.
Tetapi
semuanya nyaris runtuh setelah penuturan Antiona malam ini, entah mengapa aku
merasa kisah kunang-kunang itu benar adanya. Barangkali memang tak ada yang
mustahil di dunia ini.
Malam
sudah larut, aku berjalan pulang dari rumah Antiona dengan setengah melamun,
melangkah sendirian di jalanan kampung. Dan di sebuah perempatan yang remang,
beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang
terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian
saja, berkedip lemah.
Tunggu.
Apakah
ia adalah jelmaan seorang ibu yang anaknya ada di kampung ini? Apakah
ia ibu dari Antiona yang kemarin malam terbang di luar jendela?
Apakah
ia ibuku yang pernah membuangku ketika aku masih bayi?
Kudekati
kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat
sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring
kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak
tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja.
Kunang-kunang
itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari,
sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah
berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi
tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan
karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Antiona, aku berharap
malam ini bisa bertemu ibu, agar aku bisa tahu wajah ibu, walaupun hanya dalam
mimpi.
Sambil
merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang
itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.
***
Entah
sudah berapa jam berlalu, aku terjaga karena sebuah guncangan kecil, tetapi
cukup untuk membuatku tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat
ringan. Tubuhku seperti melayang di udara. Dan ketika perlahan kubuka mata,
tampak seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk dengan pandangan mata
yang mengarah kepadaku.
”Jadi
ini kunang-kunang yang semalam tidak mau pergi?” Tanya si
laki-laki sambil mengernyitkan dahi. Si wanita lantas tersenyum.
”Benar,
aku menangkapnya dengan mudah, kumasukkan ke dalam botol.”
”Untuk
apa sih? Kurang kerjaan saja.”
“Lho,
kamu tidak tahu, ya? Di desa sepanjang bantaran Sungai Serayu ini, semua wanita
yang pernah kehilangan anaknya, entah meninggal, hilang, diculik, atau dibuang,
selalu percaya tentang sebuah cerita konyol yang diwariskan turun-temurun.”
”Cerita
konyol?”
”Iya.
Cerita bahwa anak mereka yang hilang itu masih selalu hadir dalam wujud yang
lain, yaitu berwujud kunang-kunang. Jadi, kutangkap saja kunang-kunang yang
kesepian ini. Soalnya, kalau melihat kunang-kunang, aku selalu teringat cerita
yang sungguh tidak masuk akal itu. Lucu, ya? Mana ada anak-anak yang bisa
menjadi kunang-kunang? Konyol sekali, kan? Ha ha ha.”
Wanita
itu terbahak-bahak, namun si lelaki sepertinya tidak tertarik untuk ikut
tertawa, kulihat ia justru mengernyitkan dahi.
”Nalea…”
Panggil si lelaki tiba-tiba. Dan wanita itu pun berhenti tertawa.
”Ya
Sayang?”
”Aku
jadi berpikir…”
Lelaki
itu menghentikan ucapannya, kini keduanya berpandangan, tak lagi menatapku.
”Berpikir
apa?”
”Apa
benar kata orang-orang, sebelum menikah denganku, kau sudah pernah punya anak?”
Lelaki itu bertanya sambil menatap wajah si wanita dengan tajam. Wanita itu
tiba-tiba terdiam.
Aku
seperti akan merasakan keheningan yang amat panjang di antara mereka, sampai
akhirnya wanita itu tampak tersenyum tipis, lantas memeluk tubuh si lelaki,
”Tentu
belum pernah, Sayang…”
Situbondo,
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar