Sematku Patah di Cungking
Setelah menempuh
perjalanan lebih 24 jam dari Perancis-Hongkong-Singapore-Jakarta, Surabaya-
Banyuwangi, badan terasa patah-patah. Bis patas AC yang aku naiki dari Surabaya
rupanya hanya sampai di Jember. Perjalanan ke Banyuwangi hanya bisa menggunakan bis
ekonomi yang penuh aroma minyak angin.
Setelah
tiga puluh tahun aku meninggalkan Cungking, baru kali ini aku kembali lagi. Ya,
ini bukan mimpi. Aku benar-benar pulang kampung. Sesekali terdengar percakapan
dalam boso osing
yang hanya dimengerti oleh kami orang osing.
Setelah
enam setengah tahun mengarungi beberapa samudra sebagai awak kapal, akhirnya
aku terdampar di kota pelabuhan Marseille, Perancis Selatan. Di bar aku kenal
Manuela, gadis keturunan Spanyol yang ngefan
orang Indonesia. Usaha Manuela berbahasa Indonesia kami apresiasi. Manuela
memaksa saya untuk bercakap dalam bahasa Indonesia, ia tak melayani
percakapanku dalam bahasa Inggris. Ennuyeux¹
komentarnya.
Tak
puas sampai di situ, ia pun memaksa saya tinggal di apartemen kecilnya agar ia
lebih intensif belajar bahasa, alasannya. Bahkan ia mencarikan pekerjaan
sebagai sopir di perusahaan catering
agar aku tak melaut lagi. Jadilah aku kumpul kebo dengan Manuela hingga lahir
dua orang gadis yang kini sudah remaja.
Aku
sengaja pulang hendak menemui gadisku, yang dulu dengan sengaja meninggalkan
aku. Walaupun untuk itu aku harus berbohong kepada Manuela atas rencana
kepulanganku ini. ”Kamu tidak bermaksud menemui pacarmu di Cungking kan?”
tanyanya menyelidik. Aku tak peduli seperti apa gadisku sekarang. Hidup makmur
bersama juragan gabah yang menikahinya dulu? Ataukah sudah menjanda ditinggal
mati suaminya? Aku berharap ia sudah janda. Aku mau pamer.
Ketika
mendengar kabar gadisku dilamar orang dan diterima, dadaku terasa sesak, dan
perut terasa mual sekali. Aku mengutuk keputusannya. Dan aku bersumpah tak ingin
menjumpainya walaupun hanya dalam angan. Tapi jujur dalam hati kecilku aku
tetap merindukannya, aku berharap ia kembali, aku terima ia sejanda apa pun.
Tidak! Najis! Aku tidak sehina itu, egoku segera menolak. Aku akan dapatkan
gadis yang lebih cantik dari dia, sumpahku. Tapi kenapa bayangannya
menggelayutiku ke mana pun aku pergi? Dekapan itu terasa lembut menenteramkan
hatiku di saat aku gelisah. Aku sering mendekapnya walau hanya dalam bayang.
Kubayangkan ia mendekap erat tubuhku dan menyandarkan kepalanya di dadaku penuh
pasrah. Bayang-bayang itu sangat aku nikmati, sampai akhirnya aku tersadar, aku
dan dia berjarak ribuan kilometer. Dan aku kembali menyumpah. Najis! Patah hati
anak dusun pada gadis penyanyi gandrung.
Perasaan
galau sudah terasa sejak bis memasuki kawasan Kalibiru setelah melalui hutan
Merawan yang eksotis. Seharusnya aku yang menjadi bapak anak-anaknya, kalau
saja aku mau membuang gengsiku. Penyesalan itu yang selalu mengusik hatiku.
Entah berapa ratus kali aku menggumam seperti itu walaupun kini sudah ada
Margareta dan Aleece, hasil kumpul keboku bersama Manuela.
Kerap
aku menyalahkan diri sendiri. Kata orang, sebelum ada janur melengkung aku
masih punya kesempatan. Baru saja gadisku dilamar orang, aku sudah menggelepar.
Tak ada sedikit pun keberanianku ketika itu untuk mendekati dia dan menyatakan
cinta gombalku padanya. Padahal ada empat puluh hari masa pingit, waktu yang
lebih dari cukup untuk sekadar menggombal mengobral cinta. Ke mana aku saat
itu? O ya, aku ingat, aku pergi ke Kang Suri dukun pelet Macan Pote dusun
terpencil jauh di selatan Cungking. Dengan sebungkus rokok Gangsar dan uang
seribu rupiah, setara dengan lima belas liter beras kala itu, aku diberi seruas
kecil patahan batang koro yang sudah kering. Semasa kanak-kanak, batang koro
yang sudah kering acap digunakan untuk latihan merokok. Namun kini untuk
kepentingan lain.
Setiap
pagi menjelang subuh, aku diwajibkan meniup batang koro ke arah rumah gadisku
seraya mengucap kata-kata bujukan dalam hati agar ia membatalkan pernikahannya
dan memilih aku sebagai pendampingnya. Syarat itu memberatkan, aku hanya
melakukan beberapa kali karena aku lebih sering bangun kesiangan.
Aku
mengira setelah sematku diambilnya, usai sudah perburuanku. ”Pucuk semate hun kuthung telu,”
(ujung lidinya saya patahkan tiga ruas) bisikku yang ditanggapinya dengan
tertawa cekikikan. Hanya dia yang aku beri tahu, gadis yang lain tidak. Tapi
pesanan seperti itu bisa datang dari banyak pemuda. Semakin menarik sang gadis
semakin banyak pemuda yang menitip pesan sematnya. Tapi aku berharap dia hanya
mencabut sematku.
Betapa
bungahnya hati ini ketika tengah malam seusai acara malam pesat maulid nabi,
semat yang aku sisipkan di dinding gedek bersama semat pemuda lainnya sudah
tercabuti. Tinggal beberapa biting yang masih tersisa, entah punya siapa. Aku
yakin sematku telah diambilnya. Itu artinya ia telah memilihku sebagai bakal
calonnya.
Pacaran
kala itu sifatnya rahasia, tidak lazim jalan berdua. Bahkan tak
saling kenal pun dapat dinikahkan. Aku tak ingin jadi bulan-bulanan kawan
sebaya yang mengumumkan hubungan saya dengan gadisku dengan menuliskannya di
sembarang tembok entah pakai arang atau daun jati. Tulisan itu kerap membuat
hubungan remaja yang sedang memadu kasih kandas di tengah jalan lantaran malu
diketahui banyak orang. Rupanya perkiraanku salah, tak lama setelah acara
maulid nabi, ia dilamar juragan penebas gabah dan dinikahinya.
Gumpalan
harapan itu masih mengganjal dalam hatiku, dan abadi hingga kini. Gumpalan
imajiner itu seharusnya sudah memudar terurai waktu. Namun perasaan penyesalan
dan terkalahkan membuat hati penasaran. Dan gumpalan itu semakin mengganjal,
mengeras dan membatu di sudut ruang yang kian tak terjangkau. Gadis mungil
hitam manis bersuara merdu, bermata bola pingpong yang kerlingannya senantiasa
menggoda hatiku itu adalah cintaku.
***
Suasana
Cungking tak banyak berubah setelah aku tinggalkan puluhan tahun. Aku masih
merasa akrab dengan lingkungannya. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak
mudanya lebih bangga berbahasa Indonesia gaya jakartaan. Boso osing menjadi asing
di negerinya sendiri. Padahal Manuela di Paris semangat belajar boso osing setelah aku
ceritakan keunikannya. Langue
Osing seulement compris par les gens Osing,² promosiku suatu ketika
kepada Manuela yang membuat ia semakin penasaran. Tak jarang Manuela ikut
menyanyikan lagu Ulan
Andung-andung ketika aku menyanyikannya. Exotiques, katanya. Aku
merasa geli karena cengkoknya jauh api dari panggang. Ia berjanji suatu saat
akan berkunjung ke Cungking, bukan ke Bali.
Aku
sengaja datang pada bulan maulud, karena pada bulan ini banyak kawinan dan aku
berharap gadisku naik pentas dan menyanyi seperti dulu. Benar saja, gadisku
mengenakan kebaya putih berenda dan bawahan batik warna hijau, siap menyanyi.
Entah apa judul lagu yang dinyanyikannya, sebagian liriknya aku dengar ”Ulan katon adoh panggone. Riko
adoh kari parek rasane, eman. Hun enteni riko saenteke ulan. Gawanen isun
munggah nang ulan, eman.” (Bulan kelihatan tapi jauh, kamu jauh tapi terasa dekat
sayang, aku menunggumu hingga habis bulan, bawa aku naik ke bulan sayang). Aku ge-er, berharap lirik
lagu itu untukku.
Gadisku
terperanjat saat melihat aku menyelinap menemuinya. Tanpa berucap
ia menghampiri dan menarik lenganku pergi menjauh. Kawan sebelahnya cuma
melirik sekilas dan masa bodo.
Pelayanan seperti itu sudah biasa terutama untuk si penyawer.
Mata
bola pingpongnya menusuk tajam ke mataku seraya berkacak pinggang ia memaki ”Ke
mana saja kau pecundang?” katanya ketus. Hampir saja aku jatuh tak siap
menyambut makiannya. ”Puluhan tahun aku menunggu, empat kali aku menjanda
karena menunggumu. Dasar pecundang!” makinya setengah menjerit. Aku tak hendak
membela diri, mendengar suaranya saja aku sudah senang walaupun itu makian. Ini
cinta ataukah birahi? L’amour
sans désir est impossibilité.³ Terdengar desahan napasnya yang
memburu. Aku biarkan dia melepaskan umpatannya. Akhirnya kudengar ia terisak.
Ingin rasanya aku menggapainya.
Sembari
terisak ia merogoh-rogoh tas hitamnya yang sejak tadi dikempitnya. ”Ini
sematmu. Tak ada lagi gunanya bagiku. Aku berjanji akan mengembalikannya
sendiri kepadamu. Supaya kamu tahu betapa lama aku menunggumu.” Ia
mematah-matahkan sematku sebelum mengembalikan kepadaku. Ketika kutanya kenapa
dipatahkan? Untuk melampiaskan kekesalannya padaku umpatnya sambil menahan
isak.
”Lagu
yang kau nyanyikan tadi untukku?” tanyaku berharap. ”Iya,” jawabnya dengan
tatapan kosong.
”Tapi
itu yang terakhir, aku takkan menyanyikannya lagi,” imbuhnya memelas. Tak tega
aku mendengar sumpahnya. Ingin rasanya aku memeluk dan mendekap erat tubuhnya,
mengelus, menepuk-nepuk punggungnya sembari meminta maaf, seperti yang sering
aku lakukan dalam bayang.
Di atas
pentas, remaja putri menyanyikan lagunya Rosa yang sedang ngetop ”Ku Menunggu”,
seolah mewakili perasaan gadisku selama ini yang setia puluhan tahun
menungguku. Perdants!4
Batinku mendamprat diriku sendiri. (Bekasi, Maret 2011).
1)membosankan
2)bahasa
Osing hanya bisa dimengerti oleh orang Osing
3)cinta
tanpa gairah itu tak mungkin
4)pecundang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar