Sebuah Rencana Hujan
Hujan turun begitu lebat. Nalea belum bisa
pulang. Ia berteduh di sebuah pos ronda tua, sepatunya sudah basah lebih dulu
akibat berlarian di jalan tadi, ia membuka sepatunya lalu meletakkannya di
bawah sebuah meja yang ada di situ. Bajunya juga basah, rambutnya, pipinya,
sampai bulu alisnya yang meneteskan air. Gadis kecil itu sebenarnya tidak
menangis, ia mencoba tenang di situ, berlindung dari guyuran air yang justru
semakin tak terbendung.
Ibu cari Nalea tidak
ya?” Gadis kelas empat SD itu kemudian bertanya kepada dirinya
sendiri. Hujan masih turun sangat deras, seperti puluhan kubik air yang lama
tersimpan di perut awan, sepertinya semua hujan sengaja jatuh tak jauh dari pos
ronda tempat gadis kecil itu berteduh. Suara air yang membentur atap terdengar
begitu keras, begitu ribut, belum lagi angin yang sesekali menghempas cukup
kencang, mengayunkan pepohonan di sekitarnya, merontokkan dedaunan, mengayunkan
bulir air ke kanan dan kiri hingga hujan pun tampak miring jatuhnya.
Nalea mengingat-ingat
kembali ucapan ibunya, ”Nanti kalau di sekolah hujan, Nalea jangan pulang dulu,
ya. Tunggu ibu datang untuk menjemput.” Kemudian ia merenungi dirinya sendiri,
mengapa ia tak mendengarkan nasihat sang ibu.
”Lama sekali hujannya.
Tidak reda-reda.” Gadis kecil itu bergumam sambil menatap langit, dibukanya tas
sekolah itu, beberapa bagian bukunya sudah basah kuyup, ia melihat sebuah buku
yang membuatnya murung, ”Ini buku pinjam dari Mia juga ikut basah,” ucapnya. Ia
lihat sampul buku yang kecoklatan sudah robek di pinggirnya, ia lalu
memindahkan buku itu dan menyelipkannya di tengah-tengah, di antara buku-buku
lain yang sebenarnya juga sudah basah.
Langit masih dihiasi
mendung pekat, ada percik air yang berhasil menembus pos ronda tempat gadis
kecil itu berteduh, seharusnya ia ada di pelukan ibunya sekarang, seperti
anak-anak lainnya yang ketakutan ketika hujan turun begitu kejam, apalagi jika
suara petir menggelegar, seperti hendak membolak-balikkan langit, seperti ingin
menelan siapa pun yang berada di bawahnya.
Namun Nalea berusaha
untuk tenang, ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telinganya karena
kebisingan suara air yang diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan
lama, ia kini justru mengeluarkan semua buku dan menghamparkannya di bawah meja
tua yang lembab, ia berharap buku itu bisa kering dan tulisannya tidak luntur,
ia takut dimarahi ibunya, ia takut dimarahi temannya yang meminjamkan buku.
Tetapi dalam ketakutannya ia tidak menangis. Ia mencoba untuk menenangkan diri,
meski tidak bisa karena suara air yang disertai angin itu membuatnya sering
terkejut.
”Harusnya tadi menunggu
ibu di sekolah. Tidak pulang sendiri. Harusnya Nalea tadi ingat nasihat ibu.”
Rupanya ia mulai
menyesal. Gadis sekecil itu sudah mengerti arti sebuah penyesalan. Hujan telah
membuatnya belajar dengan salah satu perasaan hidup. Ia merasa bersalah kepada
ibunya, tadi ia tak sabar menunggu lebih lama, apalagi ketika rintik air mulai
jatuh dari langit dan ia tak melihat tanda-tanda bahwa ibunya segera datang, ia
justru terus berlari meninggalkan sekolah, padahal ia tahu rumahnya masih jauh.
”Ibu pasti sibuk tadi.
Tidak bisa cepat menjemput. Coba Nalea mau menunggu di sekolah, mungkin ibu
sekarang sudah sampai sambil bawa payung.” Ia ungkapkan penyesalannya itu
dengan kata-kata yang entah ditujukan kepada siapa. Sementara itu air sudah
meluap dari sungai, jembatan yang sebenarnya tak jauh dari pos ronda itu kini
tak terlihat lagi, air sudah menguasai permukaannya. Nalea mulai ketakutan.
Di rumah. Seorang
wanita mulai panik, anak semata wayangnya belum pulang juga. Sudah tiga kali ia
bolak-balik sekolah, tetapi hasilnya nihil, tak ada siapa-siapa di sekolah
ataupun sepanjang jalan antara rumah dan sekolah. Wanita itu terduduk lesu di
teras rumah. Hujan deras mengaburkan pandangannya, ia membayangkan anaknya akan
muncul dari kejauhan, berlari-lari kecil, dalam keadaan yang basah kuyup.
Namun, tak ada siapa-siapa di balik rerimbunan hujan di depan rumah itu. Hanya
derasnya air yang tak mampu lagi dibendung oleh saluran-saluran air.
”Hujan sekarang
benar-benar deras. Bagaimana ini, Pak?” Tanya wanita itu kepada suaminya. Namun
laki-laki di sebelahnya itu hanya diam. Keduanya tampak lesu, seperti
kehilangan harapan, tiba-tiba mereka tak bisa melakukan apa-apa untuk
mengetahui keadaan anak mereka.
”Mungkin Nalea mampir
ke rumah temannya. Mungkin ia berteduh di sana.” Ucap suaminya untuk
menenangkan wanita itu. Tetapi, begitulah perasaan seorang ibu yang lembut,
yang sangat peka seperti helai rambut. Ia merasa Nalea sedang membutuhkannya,
meski ia tak tahu di mana anak gadisnya kini berada.
”Semoga saja, Pak.
Semoga Nalea tidak apa-apa. Belum pernah rasanya hujan deras seperti ini.”
Suara wanita itu mendadak terhenti karena suara gemuruh dari langit.
Gadis kecil itu masih
duduk di bawah meja, suara petir kini semakin sering terdengar, langit yang
kelabu sesekali menampakkan warna terang yang kemudian diiringi gemuruh. Dada
Nalea berdegup kencang, sesekali ia memejamkan mata, sesekali ia menutup
telinganya. Namun, ia juga sekilas melihat-lihat sekeliling, siapa tahu ada
yang orang yang dikenalnya, siapa tahu ibunya muncul, atau setidaknya seseorang
yang bisa menolong untuk mengantarkannya sampai ke rumah, namun ia kecewa, tak
satu pun orang lewat, semuanya sepi, seperti desa yang mati. Semua orang pasti
berada di rumah masing-masing karena hujan turun begitu deras. Nalea
benar-benar sendirian sekarang. Ia sempat memangil-manggil seseorang atau
sesuatu, namun suaranya kalah dengan suara hujan yang seolah tak henti-hentinya
menggerutu.
”Nalea pulangnya gimana?”
Ia bergumam lagi, dilihatnya sepatu yang sudah basah, buku-buku yang sudah
basah, seragamnya juga, ia mengambil jepit rambut dari kepalanya, bibirnya kini
sedikit gemetar, wajah gadis kecil itu mendadak pucat, mungkin ia tak kuat
menahan dingin yang diembuskan angin bersama bulir-bulir air. Ia melihat air
mengalir di bibir jalan yang tak terlihat lagi batu-batuannya.
”Kenapa hujannya belum
berhenti ya, Pak?” Wanita itu kembali bertanya
kepada suaminya. Keduanya masih berada di teras rumah, melihat air yang tak
henti-hentinya jatuh dari langit, berharap ada sedikit waktu untuk menembus
pekatnya panah-panah air yang tajam itu.
”Lebih baik kita cari
saja.”
”Tetapi, payungnya cuma
satu, Pak. Itu pun angin begitu kencang, dan kita juga tidak tahu harus mencari
ke mana.”
”Apa ibu tidak hafal
jalan yang biasa dilalui Nalea kalau pulang sendirian?”
Wanita itu tiba-tiba
menunduk, seperti memikirkan sesuatu, mungkin Nalea pergi ke supermarket
sebentar, bersama kawan-kawannya, Nalea biasa menghabiskan uang sakunya di
situ, ramai-ramai menyerbu supermarket untuk sekadar membeli jajan bungkusan.
Mungkin juga Nalea memang mampir ke rumah teman-temannya—sebagaimana yang
diucapkan suaminya tadi—tetapi siapa yang didatangi Nalea? Berpuluh-puluh detik
berpikir, yang hadir justru beribu-ribu pertanyaan dan kemungkinan yang
memberatkan hatinya.
”Biar aku yang cari.”
Suaminya berkata. Rupanya laki-laki itu sudah menggenggam satu-satunya payung
di tangannya. Ia tak sabar menunggu istrinya berpikir.
”Jangan, Pak. Aku saja.
Aku coba cari ke jalan yang kuingat pernah dilewati Nalea. Bapak di rumah saja,
ya. Berdoa. Hujannya semakin deras, Pak.”
Laki-laki itu diam
sejenak, hening sesaat, lantas menyerahkan payung kepada istrinya. ”Hati-hati,
Bu. Hujan deras begini air meluber di mana-mana.”
Meski tampak berat,
wanita itu kini mulai beranjak, membuka payung, lalu melangkah ke pekarangan
yang sedikit direndam air beberapa sentimeter. Dengan sandal jepit wanita itu
mulai menyibak derasnya hujan, suara gemeretak air jatuh dan memantul-mantul di
atas payung, tetapi tetap saja sebagian pakaian wanita itu basah karena payung
yang tidak begitu lebar. Kecipak air terdengar karena pijakannya di tanah
berlumpur, namun wanita itu tidak peduli, ia tetap berjalan, mencoba untuk
menembus pelukan hujan.
Tak ada tanda-tanda
hujan akan segera berhenti, kini jalanan kampung yang berbatu itu pun sempurna
dikelilingi genangan air. Jika satu jam hujan tetap tidak reda, mungkin jalanan
tidak akan terlihat, mungkin akan seperti laut atau danau.
Nalea duduk di atas
meja, entah mengapa ia tak lagi bersembunyi di kolong meja sambil menutup
telinganya, ia mulai berani melihat semuanya. Suara petir kini tak
mengganggunya, ia mulai terbiasa, meski wajahnya yang semakin pucat, ia
menggigil, bibirnya gemetar, giginya gemeletuk, ia duduk sambil memeluk tasnya
yang basah. Ia mencoba untuk berdoa, ia coba mengingat-ingat doa yang biasa
diajarkan ibunya.
”Nanti Nalea mau minta
maaf sama ibu. Lain kali Nalea mau menunggu kalau ibu datang terlambat.”
Gadis kecil itu
mengusap wajahnya. Ia mencoba untuk tersenyum,
mencoba menghibur dirinya sendiri.
Apa yang sebenarnya
dipikirkan hujan? Sudah dua jam lebih ia turun mengguyur bumi, apakah hujan
juga melihat seorang gadis kecil yang berteduh kedinginan di pos ronda itu?
Apakah hujan turun karena sengaja untuk menakut-nakutinya? Padahal gadis itu
hanya tidak sabar menunggu ibunya sepulang sekolah, lalu hujan mendahuluinya
sebelum ia sampai ke rumah, hujan tak hanya membuat tubuh gadis kecil itu basah
kuyup, tetapi juga sepatunya yang memijak genangan air dan kotor oleh lumpur,
buku-buku dalam tasnya juga basah, apakah hujan mengerti gadis kecil itu kini
takut dimarahi ibunya?
Hujan turun disertai
angin, airnya jatuh ke selokan yang telah penuh, alirannya begitu deras, hujan
turun membentur badan jalan yang berbatu, hujan turun menggelincirkan
sampah-sampah dari tempat penampungannya, hujan menggugurkan rantig-ranting
kering, hujan sangat menakutkan bagi gadis kecil yang sedang berteduh di pos
ronda. Gadis kecil itu benar-benar melihat semuanya, ia menjadi saksi ketika
hujan perlahan mulai membuat jembatan di kejauhan itu tak terlihat, air yang
meluap dan meluber ke jalan, siapa pun yang melihat pasti merasa takut, air
semakin meninggi meski perlahan-lahan, langit pekat seperti sudah sore, padahal
ini masih siang hari, awan bergumul di atas sana, menurunkan air sambil
membenturkan dirinya satu sama lain hingga menimbulkan suara kilat yang membuat
terkejut penduduk bumi.
Sudah tiga jam
berlalu, jalan raya desa kini lebih terlihat seperti laut, beberapa ranting
pohon gugur dan mengalir. Angin berputar-putar di langit, mengempaskan air ke
sana-kemari. Ibu Nalea sudah berencana untuk menyisir jalanan antara rumah dan
sekolah sekali lagi, Nalea juga berencana cepat pulang selepas hujan reda meski
masih takut dimarahi. Tetapi, hujan telah lebih dulu menjalankan rencananya,
jika ibu dan anak itu dapat bertemu lagi setelah ini, keduanya tentu akan lebih
saling menyayangi. (Selokan Mataram, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar