Ordil Jadi Gancan
Dari bawah pohon sawo di sudut alun-alun, Ordil menatap bade tumpang
sembilan itu dengan pandang berseri-seri, tapi juga dengan perasaan memuncak
dengki. Dia girang, niat melampiaskan dendam sebentar lagi terpenuhi. Pada saat
sama, kebencian membakar rongga dadanya, karena jenazah orang yang paling ia
musuhi memperoleh kehormatan dibakar dengan menara megah bertumpang sembilan.
Ordil melangkah pelan mendekati bade yang dibangun dari bambu, dibalut
kapas biru, merah, kuning, hijau, membentuk wajah boma dengan mata mendelik,
kedua tangan terbuka lebar dengan kuku-kuku panjang. Di kedua sisi membentang
sayap dililit kain putih, membuat menara itu bagai hendak terbang. Tumpang
sembilan mengkerucut ke atas, dihias kertas-kertas emas dan warna-warni,
sehingga bade itu menjadi sebuah meru yang meriah dan pesolek. Cahaya sore
membuat warna-warna prada yang membungkus tiang-tiang bade kian gemerlap,
berpendar ke daun-daun beringin di sebelahnya.
”Mampir, Dil! Ada kecambah dan sayur kelongkang kesukaanmu,” sapa Men
Kelambi, pedagang tahu goreng dengan bumbu pedas di pinggir alun-alun.
Men Kelambi menatap botol plastik bekas air mineral setengah liter yang
digenggam Ordil. Perempuan separo baya itu seolah tahu, cairan bening dalam
botol itu bukan air. Ia merasakan, isinya lebih kental dibanding air.
Ordil berdiri di bawah bade yang menuding langit. Besok, selepas tengah
hari, puluhan orang mengarak menara itu ke kuburan, mengusung jenazah Dalem
Sogata. Wartawan televisi dan cetak dari Jepang, Australia, Eropa, Amerika,
Jakarta, datang meliput ngaben termegah setengah abad terakhir. Di Facebook
foto bade itu sudah berhari-hari muncul, dijalarkan internet ke mana-mana,
diunduh ribuan orang. Besok adalah hari milik Dalem Sogata, orang paling
bermartabat di kota kecil itu. Tapi, tidak bagi Ordil, kendati ibunya selalu
membujuk agar ia menghormati Dalem.
”Dalem Sogata itu ayahmu, Nak!” jelas Ibu berkali-kali penuh iba. ”Tapi,
keadaan tak memungkinkan kita bersama….”
”Maafkan saya yang bosan mendengar penjelasan itu berulang-ulang, Bu. Dia
menolak menikahi Ibu tidak karena Ibu perempuan biasa, tapi karena dia sudah
beristri dua dengan delapan anak. Dia malu kalau punya tiga istri, tak rela
menerima kenyataan saya anaknya yang kesembilan. Bagaimana bisa Ibu membela
laki-laki pengecut macam dia?”
Ibu tak pernah sepenuhnya paham, bagaimana bisa menerima cinta Dalem
Sogata. Awalnya cuma pertemuan-pertemuan pendek jika Dalem datang ke pondok,
menanyakan hasil sawah dan kebun yang digarap keluarganya. Pertemuan itu
berulang dalam pertunjukan seni untuk kegiatan keagamaan dan adat.
Ketika hamil, dan Dalem Sogata berjanji menikahi, dia terisak karena
tersanjung bahagia, kendati cuma akan jadi istri ketiga. Tapi, sekian kali Dalem berjanji menikahi, sekian kali pula ia mengingkari.
Hasrat melambung itu rapuh menjadi mimpi ketika Ordil lahir. Seluruh kota tahu
Dalem tak akan menikahi wanita yang menandu sawah keluarganya. Itu sama saja
dengan aib yang harus ditanggung seorang tuan besar ketika harus menikahi
babunya. Untuk apa? Bukankah semua bisa dicampakkan begitu saja?
Pengingkaran itu berbiak menjadi dengki yang meruyak, memenuhi seluruh
rongga dan pori-pori tubuh Ordil. Dia merasa dinista dan dicampakkan, sejak
lahir, hingga kini, lebih dari seperempat abad kemudian. Tak pernah lelah ia
memanggul dendam yang mendekam sepanjang usia. Dan petang ini, ia punya hari
baik untuk menuntaskannya.
Lampu di sudut-sudut alun-alun sudah menyala. Ordil membuka tutup botol,
menuangkan minyak tanah isinya ke bagian bawah bade. Tak ada yang tahu, karena
para pengagum bade yang sepanjang hari tadi duduk-duduk di bawah beringin,
sudah pulang, setelah capek berdecak-decak heran dan bangga.
Ordil merogoh saku, mengeluarkan korek api, menggesek, dan melepasnya ke
kapas dan kertas-kertas yang basah oleh minyak. Api pelan-pelan merambat
menimbulkan suara berdetak-detak halus, semakin keras. Dalam beberapa detik api
membesar, bade pesolek setinggi pohon beringin di sebelahnya itu mulai
benar-benar terbakar.
Men Kelambi yang pertama melihat api merambat berteriak sembari melompat
dan berputar-putar di depan warung. ”Apiii…! Apiii…! Apiii…!” teriaknya
kuat-kuat dengan telunjuk kanan menuding-nuding bade, tangan kiri
melambai-lambai pada setiap orang lewat. Ia segera bisa
menduga si pelaku, karena segera teringat dengan botol plastik dalam genggaman
Ordil.
Api berkobar beringas, membakar kertas-kertas dan kapas warna-warni,
menjadi serpihan-serpihan bunga api berseliweran, berlomba dengan asap yang
merayap kemudian membubung. Alun-alun terang benderang oleh api menjilat-jilat,
menerangi orang-orang yang cuma bisa melongo dan berkerumun. Tak ada guna melakukan
apa pun, karena dalam sekejap bade molek itu akan menjadi puing, dengan
tonggak-tonggak hitam tiang-tiang bambu gosong. Semua menonton dengan bisu
ketika bade itu ambruk, tumpang-tumpang sembilan terjungkal menimpa
ranting-ranting beringin, menimbulkan deru gemuruh, diikuti gema seruan,
”Ooooohhhhh……!” semua orang.
Orang-orang Dalem Sogata menghampiri Men Kelambi, mengharap kepastian
pembuat onar. ”Bangsat, pemuda tengik bikin rusuh!” seru seorang. Mereka
bergegas kembali ke rumah Dalem Sogata, mengambil kelewang, tombak, dan seekor
anjing pelacak yang biasa diajak memburu landak dan biawak. ”Ayo bunuh… bunuh!
Serbuuu…!” teriak mereka semangat berhamburan keluar gerbang.
Keluarga besar Dalem Sogata panik karena harus membuat bade untuk mengusung
jenazah besok, yang mustahil bisa diselesaikan dalam semalam. Berita bade yang
disiapkan berminggu-minggu dan dibakar sehari sebelum saatnya, akan menyebar ke
seluruh dunia. Televisi dan Facebook akan riuh, mengabarkan keluarga Dalem
Sogata dipermainkan oleh sebuah sabotase yang dirancang cermat. Malu, betapa
malu menerima kekalahan ini, yang dilampiaskan oleh dendam tersimpan lebih dari
seperempat abad.
Ordil bergegas pulang dengan kepuasan tiada tara. Ia memasuki halaman
berpagar pohon beluntas dengan enteng. Tak pernah ia merasa seringan ini ketika
menguak pintu masuk rumah. Ia melihat Ibu bersimpuh mengenakan kain batik,
mencakupkan tangan di ruang depan, di hadapan foto Dalem Sogata. Ia berdoa
untuk ketenangan arwah laki-laki yang memberinya seorang anak, walau tak pernah
menepati janji untuk menikahi.
”Sudah kutuntaskan dendam kita, Bu!” seru Ordil dengan bangga. Tubuhnya
hangat oleh bara kemenangan. ”Mereka pasti malu dan kacau. Kuruntuhkan kejayaan
dan kemegahan mereka dalam sekejap. Ha, ha, ha!”
Ibu berdiri, memeluk Ordil, mengusap-usap kepalanya. ”Dendammu Nak, bukan
dendam Ibu,” ujar Ibu meratap. ”Kamu dengar gemuruh itu? Mereka memburumu!”
Ordil memiringkan kepala, menajamkan telinga. Ia mendengar langkah
orang-orang tergopoh-gopoh. Ia pandang Ibu, meminta
pendapat tindakan yang mesti ia perbuat.
”Mereka akan membunuhmu. Lari, Nak, lari!” seru Ibu mengguncang-guncang
pundak Ordil.
Wajah Ordil yang tadi sumringah kini merayap tegang. ”Ibu…… bersama Ibu……!”
”Tinggalkan Ibu, kamu yang mereka inginkan. Mereka tak akan menyentuh Ibu!”
Langkah-langkah orang berderap di depan rumah, bersiap memasuki pekarangan.
Anjing pelacak menyalak terus, tak sabar masuk halaman, menarik-narik tali yang
digenggam kuat seorang pawang cekatan.
Ibu menarik Ordil ke dapur, membuka pintu ke kebun belakang. Ordil
memandang Ibu dengan gamang. Betapa tabah dan teguh hati perempuan itu, yang
memilih memendam duka sendiri tinimbang mengobral cerita ke banyak orang.
Pintu depan digedor orang-orang dengan nafas tersengal-sengal karena amuk
amarah. Ibu menarik Ordil ke ambang pintu, memeluknya, mengusap kepala dan
mengecup dahinya. ”Larilah sekuat-kuatmu, Nak. Pergilah sejauh kamu sanggup.
Kelak akan ada cara buatmu untuk berkabar. Kita pasti bertemu!”
”Maafkan saya, Bu.”
Pintu didobrak, mereka kini di ruang depan.
”Lari Nak, lari!”
Ordil menerobos tanaman singkong, berlari kencang menembus batas petang dan
malam. Para pemburu itu berdiri di ujung dapur, berkacak pinggang, menghunus
kelewang. Anjing pelacak mengendus-endus seluruh ruangan.
”Di mana dia?!” teriak geram laki-laki berkumis.
Ibu tak menjawab, terpaku di samping tungku. Ia kenal baik laki-laki
berkumis itu, sering menjadi utusan Dalem Sogata untuk menanyakan keadaan
dirinya dan Ordil. Ia selalu santun kalau bertemu, kadang ngobrol lama
menanyakan hasil kebun.
”Di mana laknat itu!” hardik yang lain, langsung melompat hendak mencabik
kain Ibu.
”Jangan!” teriak laki-laki berkumis. ”Dia milik Dalem.”
Anjing pelacak itu menyalak, moncongnya yang cerewet mendongak-dongak ke
pintu belakang yang terbuka. Tubuhnya maju mundur tak sabar siap memburu.
”Ayo, kita kejar! Cepat!” seru pawang yang ditarik-tarik anjing pelacak.
Tengkuk Ordil merinding mendengar salak anjing. Para pemburu rasanya cuma sejengkal di belakang pundak, siap menerkam. Di
atas tebing, dekat rumpun bambu, ia berhenti. Di bawah sana terdengar suara
halus sekali, gemericik dan liukan air sungai yang pelit di musim kemarau. Ia
harus menyeberangi sungai kalau ingin lolos, namun ia tak sepenuhnya yakin.
Mungkin dengan menyamar dan bersembunyi lebih baik. Tapi, anjing pelacak akan
tetap mengendusnya.
Sempat ia berniat bersembunyi dengan memanjat pohon sengon yang dahannya
menjulur ke atas kali. Tapi, ia memutuskan untuk memanfaatkan rimbunan pohon
pisang gancan yang tumbuh subur di hadapannya. Ibu selalu menggunakan daun
pisang gancan untuk mengusir kucing yang suka mencuri ayam panggang dalam
sesaji. Daun pisang gancan diserakkan sekitar sesaji, dan kucing-kucing itu
takut mendekat. Ordil ingin mencoba berlindung dari endusan anjing pelacak
dengan membalut diri menggunakan daun pisang gancan.
Ordil menarik daun-daun pisang, memutus dengan menyentak pelepah. Daun-daun
itu ia lilitkan ke pinggang, membuat ia seperti menjadi sebatang pohon pisang
gancan. Ia menuruni tebing, masuk ke sebuah ceruk yang dirimbuni pohon
paku-paku dan pidpid. Air menetes-netes mengikuti aliran
daun-daun kecil dan lancip.
Ia mendengar langkah para pemburu berhenti di tebing, tiga meter di atas
ceruk. Anjing pelacak berhenti menyalak, hanya mengeluarkan bunyi nguik-nguik tak teratur.
Daun telinganya bergerak-gerak, kaki mengais-ngais. Anjing itu kehilangan jejak
endusan, dengan hidung hanya bisa mendengus-dengus linglung dan bingung,
mengapa buruannya lenyap tak berbekas.
Laki-laki berkumis memerintahkan rombongan menuruni tebing, menerobos
sungai, terus memburu sampai ke seberang. Ordil melihat dari sela-sela daun dan
tetesan-tetesan air pemburu-pemburu bergerak gesit, sigap meloncat dari batu ke
batu. Anjing pelacak terkaing-kaing tercebur ke air diseret pawangnya. Tadi
binatang itu sangat dihargai sebagai penuntun, kini jadi beban merepotkan.
Ordil keluar ceruk, merangkak dalam gelap naik ke tebing, berdiri di antara
pohon pisang gancan. Ia pandang angkasa bertabur bintang, semoga mendapat
berkah tentang arah mesti dituju. Lama ia tengadah dan
tercenung, berharap di antara bintang-bintang bertemu sesuatu yang menyapanya.
Tiba-tiba ia mendengar bisikan, ”Ke utara, Nak! Ke utara kamu harus pergi!”
Ke utara berarti ke arah pegunungan, tempat para petani dan penggarap kebun
bermukim. Dia melangkah mengikuti bisikan itu, menurutkan kata hati, dituntun
bintang biduk. Daun pisang gancan masih melilit di pinggang, tak ada anjing
menggonggong, karena kini ia bebas endusan.
Tentu dia akan menjadi orang baru di sana, dan harus menyamar agar tak
terlacak oleh orang-orang Dalem Sogata yang memburunya. Kepada orang-orang di
daerah baru itu ia akan memperkenalkan diri, ”Nama saya Gancan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar