Jenjaga Perut
Laila tidur tak bergerak di sofa ruang tengah. Napasnya halus, lunak.
Dadanya bak tak beriak. Wajahnya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak. Kulit Laila memang putih dan saat tidur mukanya kelihatan semakin bersih.
Aku mendekat, kurapikan kakinya hati-hati. Aku tersenyum lega merasa
kehangatan mengalir di sana.
Di luar, hari berlayar menuju petang seperti usia. Bayang pohon memanjang
di halaman berlawanan dengan bayang pagi. Suara-suara pembantu senyap di
belakang. Telepon bisu di sudut ruang. Di jalan agak jauh di depan rumah
kendaraan lalu-lalang, bunyinya menyusup masuk usai berenang meniti daun dan
bunga-bunga di halaman. Dibawanya juga harum kenanga ke dalam ruangan.
Kuamati wajah Laila sekali lagi, balik ke kursi, menonton tivi. Tidak ada
yang patut. Pisah-cerai artis. Heboh, aneh, bagai pasangan hidup hanya mainan.
Atau baju, sepatu, dapat kau ganti kapan mau. Tapi aku terus menonton. Siapa
tahu Man ada lagi di tivi. Atau telepon berbunyi. Lalu Armin, Arni, berkabar
mengenai abang mereka.
Di saluran lain film kartun, masak-memasak. Ah. Masakan Laila tentu mampu
bersaing kalau tak lebih sedap. Tiga puluh delapan tahun seleraku dimanja, asam
urat kolesterol pun tak singgah. Cuma umur, terus menjulur; meretas garis dekat
ke batas.
”Oh, hebat ini! Sedap. Luar biasa!” Semua teman pun memuji tiap kali kujamu
makan di rumah, dulu, sebelum pensiun–dan jumlah sahabat juga masih lengkap.
Macam mana tak hebat luar biasa. Dari kecil Laila suka dan terlatih
memasak. Bakatnya turun dari nenek serta ibunya, dia asah tiap hari. ”Pokoknya,
masakan Laila itu hm!” puji kakak-kakak perempuan ketika aku disuruh pulang
dengan alasan ibu sakit, tahunya mau dijodohkan. Umurku 30 waktu itu. Keluarga
cemas aku tidak dapat jodoh di rantau orang, bujang lapuk seumur hidup bak kayu
dilahap rayap.
Kepalang basah, kutantang mereka, para kakak. ”Hm, itu apa?”
”Macam mana kau ini. Variatif, inovatif, sedap!”
”Dibanding rumah makan Famili Andalas?”
”Jangan mencemooh kau. Ibu saja takjub, amat berharap Laila jadi menantu.”
Ayah ikut-ikutan. Saat kami berdua, diajaknya aku bicara, istilah dia,
”obrolan antarlelaki”. Bahwa cinta seorang lelaki diawali dari tengah, dari
perut, naik ke dada, baru turun ke bawah. Tak sebaliknya: dari dada atau hati
dulu macam anak baru baliq. Apalagi dari bagian tubuh bawah.
”Mengapa begitu?” tanyaku.
”Karena perut itu pusat, keseimbangan. Penyakit asalnya dari perut. Pun nafsu, keserakahan. Karena itu, perut
harus kita jaga dengan makanan sehat sekaligus sedap. Karena itu lelaki
memerlukan perempuan yang campin memasak, cerdas, baik, selain cantik. Ya, seperti ibumu. Juga, Laila.”
”Memang kalau dari atas dulu, dari hati macam anak baru baliq, kenapa?”
“Cinta kau mudah guyah,” ujar ayah. ”Dada itu emosi, perasaan. Dan perasaan
rentan terhadap cuaca, mudah berubah.”
”Kalau dari bawah dulu?”
Tiba-tiba ayah melotot. ”Dungunya!” dia bilang. ”Dari tadi aku kias-kias
tidak paham. Bejat, tahu. Juga tolol. Kau bakalan terjebak menolak kodrat
sebagai manusia, mendekat ke hewan. Kau akan terus mencari, tak puas-puas, bak
minum air laut!”
”Oh. Eh,
pernah Ayah minum air laut? Maksudku, waktu muda.”
”Mana sudi
aku!” Ayah kembali membelalak. ”Kau? Mau? Sudah?”
”Ah, aku
tak tahan lelah, Yah,” kubilang.
Muka ayah
cerah. ”Makanya, lekas kau belajar kenal dengan Laila!” katanya. Kemudian aku
tahu, memang dia paling bersemangat menjodohkan aku dengan Laila.
***
LAILA bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dia lihat aku sejenak, lalu
beralih melihat tivi. ”Ada lagi?” tanyanya. Suaranya lirih seperti bisik.
Matanya redup, hatiku teriris.
”Tidak.” Ya, tambahku tanpa suara. Cukup sekali anak kami, Man, terlihat di
tivi diapit pengacara, aparat kepolisian. Jangan lagi tampak, terlebih oleh
Laila. Anak, setelah dewasa, beranak pula, memang tidak lagi di bawah-asuh
orangtua. Tapi, siapa dapat memupus hubungan anak-orangtua? Siapa mampu
mengelak dari derita anak?
”Arman dan Arni?”
”Mereka juga tidak menelepon. Pindah ke kamar, ya. Mereka tak telepon tentu
karena tidak ada yang perlu dikabarkan.”
Aku masih ingin di sini.”
”Kalau begitu tidurlah kembali. Dokter menyuruhmu istirahat. Tuhan juga.”
Ia menyenyumiku. Manis-lembut tetap senyum yang dulu. ”Abang tahu Tuhan
menyuruhku istirahat,” dia bilang. Matanya berbinar, mengerdipkan harapan.
”Tentu.” Kutinggalkan kursi, aku dekati dia. ”Ia suruh kita lebih dulu
menjaga diri, sebelum orang lain. Dia larang kita
mencelakai diri.”
Tapi Man bukan orang lain, Abang.”
”Anak kita. Tapi bukan diri kita. Tidurlah.”
Laila menarik napas, telentang lagi. Matanya perlahan terkatup. Bulu
matanya lentik dilindung alis lengkung halus. Kulitnya putih, bersih. Tubuhnya
masih ramping. Aku kecup keningnya dengan sayang. Serasa baru kemarin kami
menjadi pengantin.
Tak lima menit, matanya terbuka pula. ”Aku ingat ayah Abang,” dia bilang.
”Ya, ya. Aku mengerti. Tidurlah kembali. Istirahat.”
Dia sangat percaya aku bisa menjaga perut Abang. Dan, tak sedebu pun yang
bukan hak Abang bawa pulang dulu, waktu masih aktif.”
”Ya. Tentu. Lina, istri Man, juga campin memasak sepertimu.”
Tapi, mungkinkah dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya?”
”Kau pun sibuk dulu, mengajar. Kalaupun sibuk tentu dia pesan pembantu apa
yang mesti dimasak. Dia ajari mereka memasak, agar yang disantap tidak hanya
sedap tetapi juga sehat.”
”Kalau begitu, kenapa Man.”
”Tidur sajalah kembali. Istirahatlah,” kubilang.
”Mataku tak bisa pejam, Abang. Pikiranku tak dapat lelap.”
”Tetapi tubuhmu membutuhkan. Jantungmu. Dokter menyuruhmu istirahat.”
”Ya, Tuhan juga.” Ia senyum. ”Tapi, menurut Abang, apakah Man tidak selalu
makan di rumah?”
”Aku pun sesekali makan di lepau dulu. Kau tahu itu. Di kota macam Jakarta,
tak mungkin orang makan siang di rumah lalu kembali ke kantor. Kota itu bukan
lagi Jakarta tempo dulu, waktu kita tinggal di situ.”
Laila menarik napas pula. Lapat-lapat kudengar suara kendaraan menyusup ke
dalam ruang, usai berenang meniti daun dan bunga di halaman. Dia bawa serta
harum kenanga yang tumbuh di pekarangan. Dan, hari terus berlayar dekat ke
petang; seperti umur, bagai usia. Siapa lebih dulu yang akan tiba di senja,
lalu malam, di antara kami berdua?
Aku bangkit dari kursi, mendekati Laila. ”Tidurlah kembali. Istirahat,”
kataku membujuk. ”Atau, kusuruh Sinah bikin teh? Hangat-hangat. Mau?”
”Aku hanya ingin dekat Abang. Anak-anak, menantu, dan juga cucu.”
”Aku di dekatmu. Aku selalu bersamamu. Jika sembuh nanti, pekan depan kita
tengok mereka ke Jakarta.”
”Mereka dulu anak-anak yang manis. Man, Armin, Arni. Man elok laku, sadar
benar jadi sulung. Selalu dia mengalah dan bertanggung jawab kepada
adik-adiknya.”
”Dia belum tentu bersalah,” kataku. ”Baru dipanggil. Diperiksa polisi, sebagai saksi. Bukan terdakwa.”
Mata Laila berbinar lagi, mengerdipkan harapan. Dia juga senyum kepadaku.
Lembut-manis tetap seperti dulu. ”Abang tahu,” dia bilang, memegang tanganku.
”Itu yang membuatku dulu tidak ragu menerima Abang waktu kita dijodohkan.
Ketegaran, dan kesabaran Abang.”
”Bagiku kecantikan dan ke-campin-anmu memasak. Tidurlah sekarang, kau perlu
istirahat.”
Perlahan, matanya pejam kembali. Satu, dua, lima, sepuluh menit berlalu.
***
LAILA masih tidur di sofa ruang tengah. Angin tak sampai. Hanya lapat-lapat
suara kendaraan, agak jauh di depan, di jalan. Juga harum kenanga. Dan hari tak
henti berenang dalam petang. Aku masih duduk di kursi mengamati Laila, sesekali
melihat ke tivi. Alangkah lengang petang. Betapa sunyi siang di ujung hari.
Aku dengar suara galau, kudengar bisik-bisik mengimbau. Adakah anak-anak,
terutama Man, tahu, bahwa ayahnya, lelaki tua ini tak sesabar dan setegar yang
dilihat ibunya? Adakah dia tahu ada yang remuk di dalam, justru di penghujung
usia?
Apa kitanya yang kerap ia santap di luar rumah, lalu menjelma nafsu serakah,
mengalir dalam darah? Mengapa tak ia jaga lambungnya, perutnya, seperti ayah,
juga kakeknya? Seberapa banyak, seberapa lama, seberapa parah gerangan yang ia
lahap di luar, sampai-sampai yang berasal dari masakan ibunya di masa kecil,
atau dari istrinya kini, seolah tidak berbekas?
Tak lama lagi, seiring tiba senja, stasiun-stasiun tivi akan berlomba
menyiarkan berita. Umumnya mengenai korupsi. Apakah anak itu, Man, bakal muncul
lagi di sana; seperti kemarin, dan jantung ibunya bermasalah, ayahnya remuk di
dalam–debarnya serasa menghancur tulang?
Aku alihkan mata dari tivi, menengok ke arah Laila. Dia masih tidur di
sofa, di ruang tengah, tak bergerak. Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak
beriak. Mukanya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak, tidak. Kulit Laila memang
putih, bersih, dan di saat tidur mukanya tampak semakin putih. Namun aku
mendekat juga. Kuraba keningnya, lalu merasa lega karena kehangatan mengalir di
sana.
Di luar, hari terus berenang menyelesaikan petang.
Seperti umur, serupa usia; tidak henti menarik garis menuju batas. Tivi
memainkan gambar-gambar. Tik-tok jam di dinding. Sesaat lagi berita-berita.
Dadaku kian berdebar. Aku tengok berganti-ganti dari Laila ke tivi, dari tivi
ke Laila.
Lalu telepon berdering. Seolah rangkaian gelas-piring
dibanting. Aku bangkit, bergegas. Bergegas!
”Halo? Bapak?”
”Ya. Arni? Ya, ini Bapak. Ada apa?”
Tak ada lagi kata. Hanya sedu tertahan. Di sana, di ibu kota negara, di
Jakarta. Dan dari pojok ruang kulihat Laila tidur di sofa, tak bergerak.
Dadanya bak tak beriak. Mukanya putih-bersih. Atau pucat? Tidak, tidak. Kulit
Laila memang bersih-putih dan saat tidur mukanya terlihat makin putih. Tapi aku
ingin meraba keningnya, memegang tangannya, menyentuh jarinya. Aku ingin merasa
kehangatan tetap mengalir di sana. (saat bercakap denganmu); Jakarta, Februari, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar