Para Pembongkar Kuburan Massal
Malam demikian pekat, hujan begitu lebat ketika kami mendengar suara
ayunan benda tajam yang menancap pada entah apa. Banyak yang menyangka itu
berasal dari ladang Pak Runci, satu-satunya juru kunci kuburan massal di
wilayah kami.
Malam yang gulita hanya bisa ditembus pandangan mata beberapa depa,
sementara tumpahan hujan yang tercurah mengaburkan pendengaran penduduk—bahkan
bagi yang tinggalnya terdekat dengan kuburan massal itu.
Ada yang mengira, yang terayun adalah mata cangkul yang menancap di
tanah yang gembur, yang di baliknya teronggok umbi jalar atau ubi singkong. Ada
yang menyangka, yang terayun adalah bilah celurit atau kelewang yang membabat
batang jagung yang semakin ranum. Banyak—termasuk keluarga kami—yang sama-sama
menafsirkan bahwa Pak Runci yang sudah berhari-hari sakit itu tak lagi kuat
menahan lapar; dan jagung atau ubi atau umbi itu hendak diganjalkan ke dalam
perutnya yang mungkin meronta pada malam yang begitu pekat dan hujan yang
demikian lebat.
Beberapa hari ini beberapa sudut kuburan itu tak berpenerangan lampu
minyak. Tak begitu ada yang memedulikan, memang, karena memang tak ada jalanan—termasuk
jalanan setapak—yang melewati dekat-dekat lokasi pemakaman itu. Bukan karena
kuburan itu dianggap angker, tapi bagi sebagian orang, mereka tak ingin
mengenang dan membangkitkan masa lampau yang kelam yang menjadikan jatuh banyak
korban dan kemudian secara massal dimakamkan.
Lampu minyak di ujung-ujung pemakaman yang dinyalakan saat menjelang senja
menjadi penanda bahwa Pak Runci masih menjaga makam itu. Bisa dikatakan, Pak
Runci adalah satu-satunya penduduk asli tertua yang masih tersisa, yang tak
ikut menjadi korban, sementara penduduk lainnya—yang lolos sebagai korban—mulai
meninggalkan wilayah untuk menata hidup baru di lain tempat atau bahkan memburu
peruntungan ke negeri seberang.
Sama sekali Pak Runci tak pernah alpa menyalakan lampu minyak itu, kecuali
jika dia jatuh sakit, yang tak memungkinkan dia berjalan menenteng lampu minyak
untuk dipasang hingga ujung pemakaman. Maka, jika dalam hujan lebat dalam malam
pekat itu Pak Runci mampu memangkas batang jagung atau menggali umbi, kami bersyukur
karena artinya Pak Runci sudah sehat—dan esok senja ujung pemakaman itu tak
lagi disungkup gelap yang pekat. Namun, senja esoknya—hingga malam dan kemudian
pagi hari—kuburan itu tetap saja gelap dari ujung ke ujung. Juga malam kedua
berikutnya. Apakah Pak Runci kehabisan minyak untuk menyalakan lampunya?
Rasanya Pak Runci bukanlah sosok pemalu yang enggan meminta minyak pada
kami—sebagaimana biasa dia lakukan jika kami alpa memasok minyak untuknya
secara sukarela.
Jangan-jangan dia masih sakit atau sakitnya kian parah sehingga untuk
meminta minyak pada kami tak bisa dia lakukan karena tubuhnya masih susah
bangkit. Karena itu, pagi esoknya, kami—tak hanya keluarga kami, ternyata juga
tetangga lain—menengok ke pondok Pak Runci, yang tak jauh dari gerbang
pekuburan. Dia tampak lunglai di dipannya. Satu dua orang buru-buru mengambil
makanan dan minuman dari rumahnya untuk disuapkan pada Pak Runci.
Pada malam yang pekat dalam hujan yang lebat beberapa hari lalu itu memang
tak ada yang menebang jagung atau menggali umbi dan ubi. Kami tak melihat ada
tanda-tanda batang jagung yang ditebang atau tanaman singkong dan umbi jalar
yang dibongkar. Yang dibongkar justru sebuah kuburan. Itu ada di pojok
pemakaman yang bersampingan dengan belukar. Seseorang dari kami yang
berkeliling pemakaman melihatnya.
Lahat itu menganga terbuka. Tak lagi ada sosok
mayat di dalamnya. Juga sama sekali tak ada kerangka.
”Diambil keluarganya,” ucap seseorang, Pak Runci, yang sudah berada di
belakang kami. Pak Runci tampak bugar.
Kami saling pandang—tak paham.
”Dua-tiga malam yang lalu,” Pak Runci menambahkan. Tiga malam yang lalu: hujan luar biasa lebat, malam sangat pekat.
”Pak Runci tahu?” kami bertanya nyaris bersamaan.
”Tahu ada pembongkaran? Iya. Yang bersangkutan minta izin saya.”
”Pak Runci tahu kalau….”
”Tahu kalau itu keluarganya? Entahlah. Saya tak menghapal ratusan jenazah
yang dimakamkan di sini. Kan semua sudah bergeletakan di banyak tempat. Kan
waktu dimakamkan tak ada yang diminta mengenali satu per satu jenazah, karena
wajahnya memang sudah bubrah—tak lagi dikenali.”
Jika Pak Runci tak termasuk yang merasa sangat kehilangan saat terjadi
musibah, itu dikarenakan sejak dulu dia tak berkerabat dengan sesiapapun.
”Pak Runci tahu….”
”Tahu untuk apa kuburnya dibongkar? Tidak.”
”Maksud kami….”
”Mungkin keluarganya punya makam atau tanah di tempat lain yang dianggap
lebih layak untuk mengubur,” Pak Runci memotong.
”Maksud kami, Pak Runci kenal keluarga yang membongkar makam itu?”
Pak Runci hanya bergumam.
Kami tak yakin apakah Pak Runci mengenal seorang demi seorang penduduk yang
pernah tinggal—juga yang kemudian meninggalkan—perkampungan ini.
***
Malam tak begitu pekat. Beberapa lampu minyak membenderangi setiap sudut
kuburan massal itu. Namun, tetap saja, hujan yang begitu lebat menutup jarak
pandang kami. Mata kami memang sedang menatap mengamati arah pekuburan
massal itu. Menurut Pak Runci, malam ini—beberapa hari setelah pembongkaran
kuburan pada malam pekat hujan lebat itu—bakal datang entah siapa ke pemakaman.
Tak diketahui pasti jamnya. Tak diketahui pasti untuk apa. Tak diketahui pasti,
siapa seseorang itu.
”Bagaimana Pak Runci tahu?” saya bertanya.
”Nalurinya mengatakan. Begitu katanya. Entahlah,” suami saya menjawab.
Kami penasaran. Untuk apa kuburan—massal pula—kembali didedah, padahal yang
dikubur tak pernah dikenali rincian wajah-wajahnya. Bukan saja tak dikenali
karena telah dimakan waktu, tapi waktu dimakamkan pun wajah-wajah itu telah
dicacah-cacah oleh musibah. Karenanya, alasan memindahkan kerangka ke tempat
yang lebih layak, bagi kami—setidaknya bagi saya—sungguh tak masuk benak.
Tak hanya di ujung-ujung pemakaman dipasangi lampu minyak. Di setiap ujung
gang dan perempatan jalan, juga di antaranya, kami pasang pula lentera. Dengan
penerangan lentera dan lampu minyak, setiap jengkal jalanan di hadapan dan
sekitaran rumah-rumah kami, juga jalanan menuju pekuburan, akan menampak siapa
saja yang bahkan lewat selintasan ke pekuburan. Namun, begitu hujan menderas,
dan kami masuk ke dalam rumah, pindah dari teras karena menghindari percik air
hujan yang menempias, kami jadi gagal mengamati kalau-kalau ada yang mendatangi
pekuburan itu.
Hingga menjelang fajar, hujan masih membilas-bilas. Pelupuk mata kami mulai terkatup digelayuti kantuk. Kami rasa, tak ada yang
mendatangi pekuburan massal itu yang kemudian membongkar salah satu sudutnya.
Kami salah, ternyata. Begitu hujan mulai mereda dan matahari membiaskan
cahayanya, kami dengar suara teriakan entah siapa dari arah pekuburan. Ada tiga
lubang penggalian yang letaknya berjauhan dari pembongkaran pertama.
Jenazah—mungkin kerangka, mungkin sekadar serbuk yang sudah berbaur tanah—tak
lagi ada di dalamnya.
Tampaknya, penggalian itu dilakukan saat kami disungkup rasa kantuk ketika
menjelang fajar itu. Rasa kantuk itu telah membuat telinga kami tak lagi peka
untuk mendengar suara-suara ayunan cangkul yang beradu dengan tanah yang
dibongkar.
Naluri Pak Runci terbukti.
Atau bukan naluri, melainkan benar-benar ada seseorang yang memberitahunya,
meminta izin, sebagaimana kejadian pertama pada malam tanpa lentera dan hujan
yang mendera-dera itu.
”Jika benar ada yang mendatangi Pak Runci, berarti Pak Runci membohongi
kita,” ujar suami saya, yang juga menjadi ujaran penduduk lainnya.
”Tapi, apa untungnya Pak Runci berbohong?” suami saya bergumam, terkesan
membantah kesimpulannya sendiri.
”Lagian, tak ada yang mengharuskan Pak Runci untuk melapor ke kita,” timpal
saya pada suami saya saat kami makan malam.
”Lebih tepatnya, tak ada yang dirugikan di kampung kita ini karena
dibongkarnya kuburan itu,” saya menambahkan.
”Juga hilangnya kerangka-kerangka itu,” suami saya menegaskan.
Gemuruh guntur di langit menghentikan percakapan kami. Kami buru-buru
merapatkan daun pintu dan jendela karena hujan mendadak tumpah. Saya—juga suami
saya—tak sempat menengok memastikan apakah lampu minyak sudah dipasang Pak
Runci di segenap sudut pemakaman. Kalaupun lentera sempat kami pasang di depan
rumah dan di setiap perempatan, pastilah akan segera susut, meredup, diguyur
air hujan yang makin menderas, untuk kemudian padam.
Saya dan suami mencoba mencungkil-cungkil ingatan, apakah Pak Runci sempat
memberitahu bahwa malam ini akan datang seseorang atau beberapa orang entah
siapa hendak membongkar pemakaman massal. Namun, pemberitahuan Pak Runci—jika
ada—tak lagi begitu penting, karena esoknya, setelah hujan yang terguyur
sepanjang malam itu mereda, kami menemukan jawabannya, yakni: belasan kuburan
dibongkar dan kerangka yang ada di dalamnya tak lagi ada di tempatnya.
”Saya setengah lupa setengah ingat mereka yang datang menggali kubur itu.
Mereka adalah penduduk sini juga yang pindah rumah setelah musibah,” ungkap Pak
Runci setelah kami mendesaknya agar memberikan keterangan. Kami, termasuk yang
seharusnya sudah sampai di tempat kerja, pagi itu mendatangi pondok Pak Runci.
”Kata mereka, mereka hendak membuktikan bahwa kerabat mereka benar-benar
meninggal. Suaminya tewas, istrinya wafat, orangtuanya—ayahnya atau ibunya atau
dua-duanya—tak lagi bernyawa,” sangat panjang Pak Runci menjelaskan.
”Membuktikan pada siapa?” seseorang bertanya.
”Pada aturan di wilayah mereka berburu mata pencaharian. Mereka tak bisa
menunjukkan bukti tertulis bahwa istri atau suaminya benar-benar meninggal.”
”Akta atau pencatatan kematian maksudnya?” Seseorang mencoba mempertegas.
”Dengan kepastian status mereka, janda atau duda, atau sebatangkara, mereka
berhak mendapatkan santunan di wilayah tetangga,” Pak Runci tak menggubris
pertanyaan.
”Lha, kan, semua surat-surat itu, termasuk akta tanah segala, ikut lebur
dihancurkan musibah?” Seseorang tadi kembali mempertegas arah pembicaraan.
***
Senja jatuh di perbatasan. Banyak orang berbaris mengantre hendak melewati
perbatasan yang ditandai oleh selarik garis itu. Wajah-wajah mereka lusuh
karena lelah berjalan seharian dan semalaman. Mereka meninggalkan pemakaman
massal pada dinihari usai menggali lahat yang diperkirakan sebagai tempat
kerabatnya dikuburkan. Mereka bopong jenazah yang sesungguhnya sudah menjadi
kerangka itu ke suatu tempat yang menyediakan peti jenazah. Setelah kerangka
itu dimasukkan ke dalam peti, mereka menyeret peti itu menuju perbatasan.
Seretan peti itu meninggalkan jejak berupa garis-garis bercak di sepanjang
jalan yang mereka lewati, termasuk ketika kemudian menyeberangi sungai dan
melintasi ngarai.
Sebelum benar-benar memasuki pintu-pintu gerbang yang dideret-deretkan di
tembok yang memanjang dari pangkal ke tepian, ada berderet palang pintu yang
dibuat dari bambu, yang dijaga para petugas. Mereka ini mencatat sosok-sosok
yang menyeret peti mati itu, juga mencatati isi peti mati setelah terlebih dulu
mereka membuka peti-peti itu. Setelah itu, para penjaga itu memberi selembar
kertas kepada para penyeret peti mati itu. Lembaran kertas itulah yang
dijadikan penanda bahwa pemegangnya diperbolehkan melewati gerbang yang
dideretkan di tembok yang memanjang.
Begitu menerima lembaran kertas, rata-rata penerimanya langsung melonjak
lega sebelum kemudian buru-buru menuju deretan gerbang. Di balik tembok yang
memanjang itu, sekalipun dari kejauhan sudah tampak kilauan cahaya bauksit,
mangan, perak, juga emas. Peti mati yang mereka seret sepanjang siang sepanjang
malam itu begitu saja mereka tinggalkan di hadapan para penjaga. Memang, para
penjaga itu akan melemparkan peti-peti dan isinya itu ke tubir jurang yang
menganga di hadapan mereka ketika malam merayap perlahan.
****
Saya tiba di perbatasan juga pada saat matahari makin temaram. Saya rasa,
bahkan sinar matahari tak pernah mampir di perbatasan ini. Udara cenderung
menggigilkan.
”Nama?” tanya penjaga palang perbatasan begitu saya mendekati garis batas.
Saya sebutkan nama saya.
”Bukti apa hendak kamu sampaikan?” kata penjaga sambil membuka buku
catatan.
”Saya seorang janda,” ujar saya.
”Buktinya apa?”
Saya mengerling ke peti yang saya seret semalaman hingga seharian. Penjaga
itu memeriksa isi peti. Saya lihat wajahnya terperangah.
”Ini mayat baru?” katanya.
Saya mengiyakan. ”Beberapa hari lalu.”
”Ini bukan jenazah dari pemakaman!” penjaga itu membentak saya. Dia segera
memberi isyarat kepada penjaga lain, yang segera meringkus saya dan melemparkan
saya sejauh-jauhnya.
”Tapi saya janda. Saya punya hak mendapatkan santunan,” saya tersengal.
Napas saya sesak.
”Santunan hanya untuk janda yang suaminya menjadi korban musibah. Atau
anak-anak piatu, juga yatim, yang orangtuanya menjadi korban musibah. Kamu,
bahkan kamu tak punya kerabat yang menjadi korban musibah. Juga suamimu.”
Benar. Penjaga itu tak salah ucap. Benar. Sejak beberapa hari lalu, semua
jenazah, semua kerangka di kuburan massal sudah habis dibongkar. Karena itu,
diam-diam saya asah ketajaman pedang sebelum kemudian saya hunus untuk saya
tancapkan ke jantung suami saya setelah sebelumnya menerobos dan merontokkan
tulang rusuknya.
Sangat ingin saya menjadi janda.***
Kupang, 06 Mei 2010;Jakarta, 05 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar