Lelaki yang Membelah Bulan
Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku
tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang
waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya
bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi
separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.
“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun
mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu
seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya
dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak
dalam dadaku.
”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”
Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti
tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti
gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu
memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan
selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar
dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas,
kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu
mendapat jawabannya.
Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba
menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku
benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya
bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia
tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak.
Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian.
Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para
penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku.
Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong
kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan.
Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.
”Kamu ngapain
malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?”
dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular
dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar
dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa,
kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia
begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.
”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak
bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk
mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”
Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia
benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku
benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin
merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang
tubuhku.
Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh
tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir
tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu
tak asing bagiku. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai
pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.
Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti
para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini
rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya.
Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti
anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka
selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan
seringai yang menyilaukan.
Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku
selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski
demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu
menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi
raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya
melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang
terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan
sendirinya bersatu kembali.
”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari
kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik
buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang
menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.”
Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk
bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar
terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki
di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk
berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.
Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku,
tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir,
kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti
labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata
itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di
antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.
”Aku menyukai matamu.”
Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak
menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak.
Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata
yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat
yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan
birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu
kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan
lagi.
”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan
jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu
biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk
menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba
karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya.
Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang
entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya
boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap
lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki
pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu
tetap pekat.
”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?”
Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang
gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya
semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.
”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?”
”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.”
”Sekarang?”
”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”
Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari
jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan
semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu
hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa
menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya
jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu
akan bisa berpora dalam diamnya.
Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar
semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku.
Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak.
Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi
malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju
tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang.
”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia
terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali
dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang
tetap memukauku.
”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya.
Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di
mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.”
Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia
seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi
malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu
masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat
hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya
dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar.
”Mengapa kamu datang?”
Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan
itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni
baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya.
Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar
bodoh.
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan
aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah
pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai
kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku
sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah,
Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku
membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak
sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu
yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya.
”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan.
Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun
marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada
di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari
separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga
tubuhku menjadi utuh.”
Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku
bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu
pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu
waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku
mencinta.
”Ha-ha-ha-ha-ha-ha kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang
hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah
orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.”
Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia
tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani
lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi
menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi
memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya.
Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta
harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam.
”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.”
Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata
yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi
serakah dengan cahaya.
”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan
ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu
akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di
persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak
akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.”
Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya
yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku
berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu
aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya
tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus
berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.
Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku.
Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam.
Sayangku.”
•Terima kasih untuk Oky S Harahap Ubud, 26 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar