Mugiyono
Namanya Mugiyono.
Biasa dipanggil Enek, mungkin penyimpangan bunyi dari Ono, aku tak tahu pasti.
Sejak aku lahir ia telah dipanggil Enek. Badannya besar, selebar dan setinggi
daun pintu. Tapi wajahnya seperti anak-anak. Juga kelakuannya. Aku sangat betah
bermain dengannya. Kurasa demikian juga ia. Temannya semua adalah anak kecil
sebayaku waktu itu. Padahal usianya tiga kali usia kami. Kakak-kakak kami
adalah bekas teman-temannya. Dan beberapa tahun kemudian kami juga meninggalkannya.
Lalu adik-adik kami yang menggantikan posisi kami. Ia tetap berada di sana. Ia
tak ke mana-mana. Sebagaimana namanya, ia selalu ada. Di tempatnya semula.
Aku tak ingat benar
bagaimana awal mula perkenalanku dengan Enek. Tahu-tahu kami sudah sering main
bersama. Dan sebagai pemilik badan paling besar, tentu saja ia sangat membantu
kami. Misalnya untuk memanjat pohon kelapa mencari kelapa muda, atau
menyelamatkan kami dari arus sungai yang terlalu deras. Enek adalah dewa
penolong kami. Tapi juga badut yang kerap jadi bahan olokan kami. Entah kenapa
kami suka menggodanya. Mungkin karena diam-diam kami merasa lebih pintar. Atau
karena ia terlalu gampang kami bodohi. Ya. Lama-lama ia menjadi seperti adik
kami. Kami yang harus mengemongnya. Dan untuk itu kami merasa berhak
mengisenginya. Tapi ia adalah adik yang setia. Seperti Sukrasana kepada
Sumantri dalam kisah pewayangan. Meski si adik terus-menerus dilukai, ia tetap
setia dan membantu kakaknya. Demikianlah meski kemudian harus terbunuh di
tangan sang kakak. Enek adalah Sukrasana, raksasa yang baik hati, yang
mengusung taman Sri Wedari bagi kami. Dan setelah itu
kami akan membunuhnya. Meninggalkannya sendirian.
Dan inilah kisah
pembunuhan tersebut:
Saat itu kami lagi
demam teater. Hampir tiap malam di musim ujian pementasan, kami menontonnya di
kampus seni yang terletak persis di sebelah kampung kami. Enek juga ikut
bersama kami. Dan ketika musim ujian itu telah selesai, kami bersepakat
mendirikan kelompok teater sendiri. Enek ikut bergabung di dalamnya. Dengan
gagah berani, tepatnya: asal-asalan, kami berlatih dan memainkan naskah-naskah
ciptaan kami sendiri. Hingga akhirnya kami mulai berpentas dari panggung ke
panggung kampung. Enek juga bermain. Dan ia selalu kebagian jatah menjadi
raksasa atau perampok yang dungu dan gampang kami kalahkan. Tapi ia sangat
menyenangi perannya. Kedua orangtuanya juga sangat bahagia melihat Enek tampil
di atas panggung. Kami juga senang, karena tak satu pun dari kami yang mau
memainkan peran tersebut. Di atas panggung kami membunuhnya berulang-ulang.
Hampir dua tahun kami
bersama, hingga kemudian masing-masing dari kami berpisah. Aku mulai sibuk
dengan teater di SMP-ku. Beberapa teman lain juga telah tergabung dengan
kelompok teater anak yang lebih besar namanya di luar kampung. Kami juga mulai
merambah drama-drama anak di televisi. Enek mulai kami tinggalkan. Ia tetap
berada di kampung kami. Tidak ke mana-mana. Di luar kampung kami, ia tidak
diterima sebagai anak-anak, sehingga tidak bisa bergabung dengan salah satu di
antara kami.
Tiap kali berkumpul, di
emper masjid selepas magrib, kami selalu saling membanggakan aktivitas
masing-masing. Bagaimana kami bermain dengan aktor-aktor dewasa yang tenar,
bermain drama di TVRI atau bermain ketoprak bersama pelawak-pelawak idola kami.
Dan Enek mendengarkan semua itu dengan setia. Ia tak tampak iri atau sedih. Ini
sebenarnya membikin kami agak jengkel. Sebagaimana anak-anak kecil yang lain,
tentu saja kami akan merasa bangga jika ada yang iri dengan keberhasilan kami.
Enek malah tampak senang dengan perkembangan dan kemajuan kami. Sialan. Kami
semakin menjadi-jadi memamerkan cerita kami. Menambah-nambahinya di sana-sini.
Kami berusaha membuat Enek iri dengan apa yang kami dapatkan di luar sana. Tapi
kami tak pernah berhasil.
Suatu hari, tanpa
sepengetahuan Enek, aku mengumpulkan teman-teman. Aku mengungkapkan rasa
sebalku kepada Enek. Aku bilang kepada teman-teman bahwa tidak mungkin Enek
tidak memiliki keinginan seperti kita. Ia hanya berpura-pura saja, kataku.
Mereka, seperti dugaanku, juga memiliki perasaan yang kurang lebih sama.
Dongkol alias nggondhuk
dalam bahasa kami. Lalu kami bersepakat untuk mengerjainya. Kami ingin
membuktikan bahwa diam-diam di dalam hatinya, Enek iri kepada kami.
Ide pertama datang
dariku. Aku akan mengiriminya sebuah surat undangan untuk shooting di TVRI.
Dengan meminjam mesin ketik Budi, aku menulis surat undangan itu. Agar
meyakinkan kami juga membuat kop surat dan stempel palsu. Kop surat kami bikin
sebagus mungkin, mengambil nama sebuah kelompok teater terkemuka di kota kami.
Lalu kami fotokopi agar lebih meyakinkan. Stempel kami buat dari karet
penghapus. Andri yang mengukirnya dengan pisau lipat. Bunyinya seperti ini:
Kepada Yth. Enek
Mugiyono
Di tempat
Dengan ini kami
mengundang Saudara untuk hadir dalam pengambilan gambar di TVRI Stasiun
Yogyakarta. Kebetulan kami membutuhkan pemeran seperti Saudara. Sudah lama
sebenarnya kami mencari alamat Saudara Enek. Kami sudah sering mendengar kiprah
Saudara di panggung. Untuk itu kami mohon kehadiran Saudara di Studio 2 TVRI
pada tanggal 19 Januari 1991 pukul 14.00 WIB. Mengenai peran dan naskah akan kita bicarakan langsung di sana.
Salam hormat kami
Teguh S
Kami masukkan surat
tersebut ke dalam kotak pos. Kami berdebar menunggu tanggal yang telah
ditentukan. Dan selama menunggu waktu pengambilan gambar palsu itu, tiap malam
kami berkumpul di rumahnya. Kami ingin mendengar apa yang akan diceritakan Enek
kepada kami mengenai surat undangan tersebut. Kami berharap Enek akan
memamerkan undangan tersebut. Tapi selama seminggu menjelang tanggal tersebut,
Enek tak bercerita apa-apa. Bahkan tak tampak perubahan sama sekali di raut
wajahnya. Ia juga tak tampak menyembunyikan apa pun. Kami saling pandang dan tanya, jangan-jangan surat itu tak sampai ke
tangannya. Mendekati tanggal 19 kami makin berdebar. Rencana kami bisa saja
gagal.
Tanggal 19 Januari,
siang hari selepas pulang sekolah kami berkumpul. Kami berencana mengikuti
kepergian Enek jika memang dia menerima dan memenuhi undangan tersebut.
Akhirnya pada jam setengah dua siang, Antok yang berjaga di dekat rumah Enek
melaporkan bahwa Enek sudah bersiap dengan sepedanya. Dan tak lama kemudian
kami melihat Enek mengayuh sepedanya meninggalkan kampung kami. Ia tampak
tergesa-gesa dan gelisah. Ia seperti tak ingin kepergiannya diketahui oleh
siapa pun. Setelah agak jauh, kami menguntitnya. Benar. Ia menuju arah studio
TVRI. Kami terus menguntitnya dari kejauhan.
Sesampai di gerbang
studio TVRI Enek menghentikan sepedanya. Ia mendatangi kantor satpam dan
menanyakan sesuatu. Agak lama mereka bercakap. Mungkin Pak Satpam tidak
mengerti apa yang tengah ditanyakan Enek. Lalu kami lihat Enek mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Itu surat
undangan kami. Pak Satpam geleng-geleng kepala lalu tangannya menunjuk-nunjuk
sebuah gedung. Enek segera melajukan sepedanya ke gedung yang tadi ditunjukkan
oleh Pak Satpam. Kami mendekat lagi. Kami menyandarkan sepeda kami di
seberang jalan. Lalu mengendap mendekati tembok untuk melihat apa yang terjadi
pada Enek. Setelah memarkir sepedanya, Enek berjalan menuju pintu gedung. Enek
melangkah terus. Tapi makin lama langkahnya makin lambat. Dan akhirnya berhenti
di anak tangga depan pintu. Ia berdiri terpaku. Seperti ragu-ragu. Ayo! Ayo!
Kami bersorak dalam hati berharap Enek segera melangkah masuk. Agak lama ia
berdiri di sana. Tapi akhirnya Enek melangkah juga. Tidak menuju pintu,
melainkan menuju ke samping gedung. Lalu berbelok, menghilang di balik gedung.
Kami tak mampu melihatnya lagi. Kami tak tahu apa yang terjadi di sana.
Akhirnya kami
memutuskan pulang karena sudah satu jam lebih Enek tak juga muncul. Sepedanya
masih tetap terparkir di tempat semula. Kami pulang dengan hati yang tak tenang.
Jangan-jangan, Enek malah beneran
ikut shooting di dalam studio. Niatnya mengerjai malah kami sendiri yang kena.
Sial. Kalau pun Enek cuma ngumpet di sana, setidaknya ia berhasil membuat kami
berpanas-panasan mengawasinya.
Selepas magrib kami
segera menuju ke rumahnya. Pengin tahu apakah ia
sudah pulang. Juga bertanya dari mana ia sesiangan tadi. Tapi kata ibunya Enek
belum pulang, sedang pentas di TVRI. Kami saling pandang. Selepas isya kami
balik lagi ke rumahnya. Hasilnya sama saja. Enek tetap belum pulang. Kami
pulang ke rumah masing-masing. Aku tak bisa segera tidur malam itu.
Jangan-jangan sesuatu yang buruk telah terjadi pada Enek. Dan semua itu adalah
salahku.
Keesokan paginya,
sambil berangkat ke sekolah, aku mampir ke rumah Enek. Aku panggil-panggil
namanya. Tapi ibunya yang keluar. Enek belum bangun, katanya, semalam pulang
tengah malam. Aku lega sekali. Tak penting lagi apa yang dilakukan Enek kemarin
siang hingga tengah malam. Yang penting Enek pulang dengan selamat. Aku
mengayuh sepeda ke sekolah dengan ringan.
Kami merasa tak enak
karena telah mengerjainya. Tapi kami sama sekali tak menyesali perbuatan kami.
Kami hanya harus berjalan melingkar kalau mau shalat di masjid supaya tidak
melintasi rumah Enek dan bertemu dengannya. Tapi kami yakin keadaan ini tak
akan berlangsung terlalu lama.
Seminggu kemudian
keyakinan kami terbukti. Kami sudah kembali
bercanda di rumah Enek. Seperti semula. Seperti Enek tak pernah mengayuh
sepedanya di siang terik untuk memenuhi undangan bohong-bohongan. Kami kembali
mengumbar cerita-cerita kami. Dan Enek, seperti biasa, mendengarkannya sambil
manggut-manggut, menganggap cerita kami biasa saja, tidak terlalu istimewa.
Sehingga kembali kami merasa perlu menyusun rencana untuk mengerjainya.
Rencana kedua datang
dari Budi. Ia pernah mendengar sebuah akademi seni yang cukup nyentrik. Saking
anehnya akademi ini sering jadi bahan olok-olokan di kalangan seniman. Namanya
ATI. Singkatan dari Akademi Teater Indonesia. Didirikan oleh seorang seniman
tua yang sekaligus menjadi rektor dan dosen tunggal di sana. Rumahnya yang
sempit dan mirip kandang ayam diubah menjadi ruang kuliah. Dan, lucunya, para
mahasiswa di sana boleh membayar uang kuliah dengan gula dan teh. Nah, kami
akan memanas-manasi Enek untuk mendaftar menjadi mahasiswa di sana.
Di sebuah percakapan
dengan Enek, Budi melontarkan idenya. Ia bilang bahwa bakat Enek sebagai aktor
panggung bisa hilang jika ia tak rajin mengasahnya. Bakat sebesar yang dimiliki
Enek sungguh sayang jika ditelantarkan di kampung begitu saja. Aku dan teman-teman lain juga mengimbuhinya. Kipasan kami makin lama makin
kencang. Dan membuat hati Enek mau tak mau berdesir juga. Ia mulai terbawa.
Kenangannya di panggung sewaktu bermain bersama kami mulai tumbuh lagi. Lebih
besar dari yang seharusnya. Tepat di titik inilah, Budi memunculkan nama ATI.
Di depan Enek kami mendandani ATI sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi
sebuah akademi seni terkemuka yang menjadi rebutan banyak mahasiswa. Bentuknya
memang aneh, Nek, tapi begitulah sekolah seni yang bener, kataku. Dosennya cuma satu. Itu
menunjukkan bahwa beliau adalah dosen yang luar biasa, tambah Budi. Dan kamu
boleh membayar uang kuliah dengan beras atau apa saja. Tidak ada sekolah lain
yang seperti itu. Sangat nyeni, kataku. Enek bilang malam itu akan berpikir
dulu. Kami tahu dia tertarik. Dan pasti akan mengikuti bujukan kami. Studio
TVRI tempo hari telah membuktikannya.
Keesokan paginya Enek
sudah memunculkan jawaban. Siangnya selepas sekolah, kami berjanji untuk
mengantar Enek mendaftar di sana. Siapkan saja fotokopi ijazah SMA-mu, kata
kami.
Tak perlu lagi
kuceritakan apa yang terjadi siang itu. Yang jelas hari berikutnya Enek telah
berstatus mahasiswa. Mugiyono, mahasiswa ATI semester pertama. Ia mengajak kami
makan di angkringan di hari pertama kuliahnya. Kami makan dengan lahap sampai
kenyang.
Beberapa bulan kemudian
kami mendapat undangan dari Enek untuk menyaksikan pementasannya. Pentas dalam
rangka dies natalis kampusnya. Disna talis, katanya dengan bangga. Kami sama
sekali tak bertanya kepadanya, peran apa yang akan dimainkannya. Kami yakin,
perannya tak akan banyak berubah dari yang sudah-sudah: keluar sekali langsung
mati, atau, keluar lama tapi tak bicara apa-apa. Aku dan Budi bertaruh
limaratus perak. Aku untuk pilihan pertama dan Budi yang kedua.
Dan Budilah yang
memenangkan taruhan. Enek menjadi seorang pengawal raja. Berdiri diam memegang
tombak di belakang sang Raja sepanjang pertunjukan. Aku memberikan uang saku
selama seminggu itu dengan gemas. Karena Enek akhirnya mati di akhir
pertunjukan. Tapi kan tidak keluar langsung mati, kata Budi. Sekali lagi Enek
terbunuh di panggung pertunjukan.
Tapi sesungguhnya, Enek
tak bisa terbunuh dalam ingatanku, sekeras apa pun aku berusaha. Ia terus hidup
dan melanjutkan kisahnya. Sampai beberapa hari yang lalu kudengar kabar ia
telah menikah. Aku lega. Setidaknya ada seseorang yang akan menemaninya, dan
kelak memberinya teman-teman kecil, yang akan menghiburnya di saat ia mau tak
mau menjadi tua. Jogjakarta,
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar