Cas Cis Cus
Rapat dibuka bakda Isya
ketika gerimis tiris dan langit malam menghamparkan warna abu-abu pucat.
Sekitar 15 kepala keluarga Cibaresah berkumpul di rumah Munar. Mereka mau
memenuhi undangan lantaran pengundangnya sesepuh desa. Sebagian dengan
perasaan terpaksa dan masygul. Sebagian lagi cari angin. Sebagian karena ingin
ngerumpi. Cuma Casmidi yang tidak hadir. Karena dia tidak diundang. Karena
dialah yang membuat sesepuh desa bernama Munar menggelar rapat pada hari itu.
Tapi, istri dan anaknya ada di sana.
Munar,
sang sesepuh desa, berusia hampir 70-an. Meskipun kulit tubuhnya dipenuhi
keriput sekujurnya, kegesitannya belum banyak tergerus. Meskipun juga tidak
jelas apa mata pencahariannya, Munar mampu memberi makan empat istri dengan
masing-masingnya memiliki tiga hingga lima anak. Cucunya belasan. Namun, ini
memang bukan cerita tentang Munar yang—meskipun sepuh tapi—matanya masih selalu
menyemburkan api bila melihat wanita muda dan cantik. Ini soal Casmidi semata.
Laki-laki yang sudah memberi Cisminah seorang anak laki-laki yang diberinya
nama Cusd’amato.
Munar
sangat disegani karenanya. Karena pertama, dia tertua di dusun itu. Karena
kedua, dia dianggap bijak bestari. Karena ketiga, dia berilmu lahir dan batin.
Setelah itu, orang lain suka atau tidak, bininya empat dan akur satu sama lain.
Tak ada laki-laki senekat Munar. Karenanya, begitu dia melangkah mantap menaiki
podium, semua mulut hadirin terkatup rapat. Diam menunggu. Cuma gesekan
dedaunan rumpun bambu yang terdengar karena embusan angin.
Sebelum
membuka mulutnya, Munar menandai penghargaannya atas kehadiran warga dengan
menyapukan pandangan kepada seluruh tamunya dengan senyumnya. Tak lupa
anggukan-anggukan takzimnya.
Sesaat
kemudian, setelah membuka acara dengan sejumlah kalimat dan bacaan-bacaan
sebagaimana mestinya, Munar menyilakan Cisminah naik ke podium untuk mengurai
persoalan hidup yang tengah dihadapinya—meskipun dia tahu Cis pasti kian
tersiksa karenanya.
”Cis
yang sangat memahami persoalan hidup yang tengah membelit hidup dan rumah
tangganya,” Munar berucap seraya menancapkan pandang matanya kepada perempuan
40-an tahun yang duduk dengan kepala tertunduk. ”Ayo, Cis, silakan.” Munar
melangkah mundur dari podium.
Para
undangan menunggu. Seluruh pandang mata tertuju kepada Cisminah. Perempuan itu
duduk sambil terus menggenggam tangan Cusd’amato. Para undangan menakar-nakar
dan menduga-duga keberanian Cis untuk maju dan berdiri di podium, membuka katup
mulutnya, menceritakan laku suaminya belakangan. Cis memandang Cus. Seperti
meminta dukungan. Cus menunduk tanpa reaksi. Membiarkan waktu merambat dan rambut
jojosnya digoyang embusan angin yang menelusup dari sela-sela rumpun bambu.
”Cis,”
suara Munar memecah sepi, setengah berbisik.
Tanpa
perlu diingatkan kedua kalinya, Cis mengangkat pantatnya. Para undangan
berdebar menunggu sambil terus mengikuti langkah satu-dua Cis menuju podium.
Hening
lagi. Cis berdiri bagai onggok kayu. Membiarkan kepalanya merunduk dan waktu
terus mengalir.
”Cis,”
Munar mengingatkan.
Cis
bergeming. Dua tiga kali tetap begitu.
Munar
membawa langkahnya mendekati Cis. Menyisi. Cis jadi tampak imut karena ujung
rambut bagian atas kepalanya tak lebih tinggi dari punggung Munar. Dia
mendehem, seolah membuang sumbat dalam lubang rongga kerongkongannya.
”Baiklah,”
Munar memulai. ”Izinkan aku yang bicara, Cis.” Memutar leher ke Cis yang masih merunduk.
Lalu, beralih menebar pandang kepada tamu-tamu yang masih duduk diam di
hadapannya.
”Cas,”
kata Munar menyebut nama Casmidi, ”Sikapnya aneh, benar-benar aneh, tidak kita
bisa mengerti, semenjak seminggu yang lalu.” Berhenti sesaat oleh suara batuk
tertahan salah satu undangan. Pada kepala orang-orang itu berseliweran sosok
Cas. Tinggi sekitar 170 cm. Kepala agak lonjong. Bibir kebiruan. Mata cekung
dengan alis hitam pekat. Dahinya lebar. Sebagian rambut memutih. Warna kulit
putih pucat.
Munar
kemudian mengurai keanehan-keanehan Cas seperti yang sebagian besar sebenarnya
juga sudah diketahui warga.
”…dua
minggu lalu Cas menguras tabungannya. Membagi-bagikannya kepada orang-orang
yang dia anggap sangat membutuhkan bantuan dan hanya menyisakan sedikit untuk
kebutuhan keluarganya untuk sekali makan…”
Diam
sejenak. Berdehem satu kali. Lalu melanjutkan:
”…Cas
sekarang selalu keluar dari rumahnya pada pagi hari. Menjelang siang dia pulang
dan memberi uang atau apa pun yang didapatkannya untuk makan keluarganya siang
itu. Untuk makan keluarganya di sore hari, Cas berangkat lagi dari rumahnya
entah ke mana dan baru kembali menjelang sore untuk memberikan pendapatannya
kepada keluarganya…”
Munar
mengatur sengalnya.
”…seminggu
lalu, Cas menjual barang-barang di rumahnya. Televisi, radio, sepeda… Cas
melepas lima burung perkututnya, melepasnya begitu saja. Burung-burung
klangenan itu beterbangan tak karuan. Ada yang kembali ditangkap tetangga. Cas
diam saja. Membiarkan. Seperti tidak tahu…”
Munar
kembali mengatur napas. Cis terduduk serupa patung. Cus di kursinya menatap
ruang kosong. Tanpa reaksi.
”…Cas
juga membagi-bagikan pakaian-pakaiannya dan pakaian-pakaian anak dan istrinya
yang masih layak pakai. Menyisakan satu dua potong belaka. Isi rumahnya hampir
melompong…”
Munar
mendongak seperti memikirkan sesuatu. Lalu katanya lagi:
”…Cis
kemarin mendatangi saya. Menangis terisak. Katanya Cas sudah menjual sepetak
sawahnya. Uangnya tidak dibawa pulang. Diserahkan kepada amil masjid. Amal
jariah katanya. Selain tanah dan rumah yang kini ditempati, Cas tak punya
apa-apa lagi.”
”…itu
mungkin baru sebagian yang kita sama-sama tahu. Kita belum tahu apa saja yang
sudah dilakukan Cas, laku aneh yang tidak kita mengerti…”
Munar
terdiam sesaat. Seperti menunggu reaksi 15-an orang yang duduk di hadapannya
tanpa suara. Karena tidak ada yang berani membuka suara, Munar melanjutkan:
”…ada
yang bertanya?” dia bertanya. ”Ada yang bertanya mengapa Cas melakukan hal itu?
Tidak ada. Kalau begitu, baiklah saya jelaskan saja garis besarnya.”
”Bagi
Cas,” Munar memulai lagi, ”Manusia bisa mati kapan saja. Bisa sekarang, satu
menit kemudian, satu jam kemudian, satu hari kemudian, satu minggu, satu bulan,
satu tahun… kapan saja. Karena itu, Cas merasa ndak perlu punya tabungan atau simpanan
makanan atau uang bahkan untuk besok pagi, untuk sore hari, untuk besok, minggu
depan, bulan depan, atau tahun depan. Semua simpanan kita, uang, makanan,
pakaian, kendaraan, rumah, tanah, tidak ada artinya bila kita tiba-tiba semaput
dan mati. Semuanya akan kita tinggalkan. Yang kita bawa cuma raga kita dan amal
kita…”
Mulai
terdengar bisik-bisik. Seperti suara lalat. Munar membiarkan.
”Coba
tenang,” Munar memulai lagi. ”Cis menangis kepada saya, meminta saya
mencarikannya jalan keluar. Apa sebaiknya yang harus dia lakukan? Saya
memberinya beberapa pilihan. Pertama ikut saja apa kata dan laku Cas yang
penting setiap hari bisa makan, bisa pakai baju, tidak kelaparan, ndak kedinginan karena
Cis mengaku masih cinta sama Cas. Yang kedua, ini bukan anjuran, ini cuma
pilihan jalan keluar, yaitu bercerai saja dari Cas. Berpisah. Memilih jalan
hidup masing-masing. Sudah tentu pilihan itu ditolak Cis karena Cis masih
cintrong sama Cas. Cas, kata Cis, hebat di…” Munar menahan senyum.
Para
undangan pun senyum-senyum sembari bersidakep. Malam terus merayap. Bulan mulai
ngintip dari langit pucat. Gerimis menyisakan dingin.
”Sudara-sudara
karenanya saya minta berkumpul di sini. Untuk membantu Cis mencari jalan
keluar. Makin banyak kepala makin banyak ide. Juga pikiran. Siapa tahu di
antara kita yang ternyata sangat pintar sehingga punyalah pilihan jalan
keluar.”
Munar
berhenti. Menunggu.
”Coba,
siapa yang mungkin bisa membantu? Angkat tangan,” kata Munar karena tak ada yang berani
angkat suara.
”Mungkin
Tasmin,” Munar menatap Tasmin, ”Atau Amri, Nazar, Suyag, Tanta, Fudin, Haripur,
Amsai, Zali, Bidin, Zubir, Akhyar, Dayus, Hayat, Anas…” Munar menyebut semua
nama tamunya. Lalu tersenyum. ”Siapa saja boleh membantu. Membantu orang yang
dalam kesulitan itu berpahala…”
Zubir
mengangkat tangan. Wajah Munar sumringah. ”Nah, lihat, Zubir mengangkat
tangannya. Mari kita dengar apa bentuk sarannya. Mudah-mudahan sesuatu yang
cerdas. Silakan, Bir.”
Zubir
berdiri. Tanpa memandang ke kiri dan kanan, dia memulai. ”Maaf, menurut saya,
ternyata tidak ada gunanya kita berkumpul di sini. Apa yang dilakukan Cas itu
benar. Benar sebenar-benarnya. Bahwa tidak ada gunanya kita memenuhi lemari
dengan pakaian yang belum tentu kita pakai semuanya. Tidak ada gunanya kita
menumpuk harta, uang, makanan, yang belum tentu bisa kita belanjakan, belum
tentu kita makan. Jadi, Cas, sekali lagi, benar sebenar-benarnya…”
”Cukup,
Bir,” Munar coba memotong.
Zubir
menutup mulutnya. Duduk. Namun, sejurus kemudian, suasananya jadi riuh. Oleh
bisik-bisik. Kian lama kian keras. Tak bisa dikendalikan.
”Diam!
Diam!” Munar berteriak nyaring.
Namun,
tak ada yang peduli. Satu per satu tamu-tamunya bangkit. Meninggalkan tempat
itu.
”Hei!
Tunggu! Tunggu! Pertemuan belum ditutup!” Munar terus berteriak. Lalu menyambar
tangan Akhyar. ”Pada mau ke mana kalian?”
”Ke
rumah Cas,” Akhyar menjawab. Mantap. ”Kami ingin seperti dia. Dia benar
sebenar-benarnya.”
Bidin
mendekati Munar. Mulutnya menempel ke kuping Munar. Lalu berbisik. ”Cas
itu…wali.”
Cis
menyorotkan tajam matanya kepada Munar. Juga Cus. Munar gelagapan.*
* Tn
Kusir, Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar