Tradisi Telur Merah
Kau tak
hendak menghitung. Namun, tahun-tahun yang melintas itu setiap kali mengucapkan
salamnya kepadamu. Seolah pamit sembari menerakan jejak yang melekat di dinding
ingatanmu.
Nyaris
sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang
sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan
untuk menjalani rentang masa yang tak terkira itu?
Kau
sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di
sudut-sudutnya. Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari.
Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada tiap hari, tertebar di segala sudut?
Kau tak tahu.
Adalah
melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau
lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah
di dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar
tidur setiap kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu.
Kau
sulam dengan telaten angan itu, yang setiap bulan bertambah dengan harapan kala
tamu periodik biologismu datang. Bulan berganti dan makin memanjang sulamanmu.
Rapat benang-benang itu terjalin membentuk angan-anganmu. Merah kesumba, ungu
muda, hijau pupus adalah warna-warni impianmu.
Tahun
berganti dan lapis harapanmu kian menebal. Kau tambahkan warna-warna baru
pencerah angan. Lepas tahun berikutnya kau temukan benang baru berkualitas
terbaik. Kau sulamkan setiap helai benang itu sepenuh rasa. Serabutnya yang
berkilau seolah memberimu cahaya, tak memberi ruang pada semangatmu untuk
meredup.
Tahun
berganti tak berhenti. Demikian pula tamu periodik bulananmu. Selepas tahun
kelima kau dapati persediaan benang-benangmu telah menipis, tak banyak lagi
warna tersisa. Kau tak hendak berhenti apalagi putus asa, tetapi suamimu telah
terperangkap pada harapan yang pudar, tak hendak diantarnya kau mencari
benang-benang baru. Kini kau berjuang dengan benang-benang tersisa, warna
seadanya dengan jarum yang mulai tumpul. Sulaman angan macam apalagi yang bisa
kau buat?
Suamimu
masih rebah di dadamu nyaris setiap malam. Dekapannya
padamu tetaplah hangat dan seerat dahulu. Namun, dari seribu dongeng yang
hendak kau kisahkan, tak kau yakini lagi berapa yang masih tersimpan utuh dalam
ingatanmu. Entahlah belasan ataukah satu.
Telah
selesai kau seka lekat partikel debu pada daun jendela dan bilah pintu ketika
sebuah becak menghentikan lajunya di pelataran rumah. Bibimu datang. Dibawanya
sebuah kotak merah. Terulur kotak itu padamu, dengan sepasang mata yang ingkar
dari lurusnya tatapanmu. Kau mengerti. Gerak mata yang menghindar itu demi
menyembunyikan prihatin tersirat. Bela rasa yang tak terungkapkan sejelasnya.
”Duduklah,
Ik, 1” salammu
menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang berkilauan dalam genggaman
benakmu.
”Sehat
bayinya? Lancarkah air susu ibunya?” Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar
nada riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau
tahu bahwa bibimu tak akan tertipu.
”Sehat,
sudah bertambah satu kilo beratnya,” bibi menjawab pelan.
Kau
seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah
itu terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa
isinya. Kue ku berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang
legit, membalut kacang hijau tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk
merah muda dengan daun pisang sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu
melekat samar. Apalagi? Barangkali kue wajik, yang butiran beras ketannya
saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih. Entah merah muda atau
hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur rebus
yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur
penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk
penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.
Kaummu
menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan
sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan.
Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan.
Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga,
sebagai bagian dari tradisi telur merah.
Kau
suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir
berdenting lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi
mengusap-usap marmer itu, seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada
beberapa retak dan parutan serupa butiran pasir pada beberapa sudutnya.
Kau
tahu bibi sedang merindui ibumu.
”Apakah
Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini?” tanyamu kemudian, sembari
mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk
menetralisir suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi
bergerak mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang
yang jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam.
”Tidak
banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian
harus kami masak sendiri. Aku membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah
memasak kue mangkok dan kue lapis. Ibumu memilih merebus sendiri
telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari karena sumba. Nyaris tak
berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada telapak tangan
itu akan menodai kulitmu.”
”Lalu
bagaimana?” kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita
tentang masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada
hal-hal lain.
”Ayahmu
yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau selalu
rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik 2,” mata bibi melirik
padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya padamu
yang tak terhitung.
Kau
tertawa.
”Barangkali
karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,”
ucapmu lepas.
Ucapan yang
kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya kepedihan
kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan
rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan
meneguk lambat seduhan teh terhidang.
Senyap.
Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian.
”Ik,
ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku.
Antarlah aku ke sana.”
”Tidak
akan!” bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya
sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu.
”Tapi
aku sungguh ingin,” kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu
yang tersulam sejauh ini.
”Kukatakan
padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya!” lagi bibi mengulang
peringatannya.
”Ramuan
mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga,” kau tak berhenti.
Bibi
meninggalkanmu. Seakan membiarkan segala sulamanmu terendam untuk kemudian
tenggelam. Akankah kau menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu
terkubur sia-sia?
Pastilah
tidak. Keinginanmu yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan
meruntuhkan tembok penghadangmu.
***
Sosok
tua tak bernama itu menampik uluran uangmu.
”Tidak
ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam. ”Pada waktunya
nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa
juga tidak.”
Kau tak
mengerti, tetapi sebelum mendapatkan penjelasan lanjut, kau telah dipersilakan
untuk beranjak pergi. Seseorang mengantarkanmu hingga ke gerbang. Bilah pintu
besar itu terbelah, memberimu celah untuk keluar. Jalan setapak di depanmu
dengan pohon-pohon tua berjajar seolah membentuk barisan di sepanjang jalurnya.
Dedaunan yang saling bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah
menjauhmu. Kau bertanya-tanya kemudian, apakah pohon-pohon itu mengingat dan
menyimpan derap langkah ibumu yang menyusuri jalan ini pada suatu ketika di
masa silam? Satu iramakah langkah yang dahulu itu dengan gerak langkahmu
sekarang?
Kau
rindui ibumu. Kau ingat senandungnya yang menidurkanmu. Dan kau rindui pula
kesempatan menjadi ibu. Ingin kau bersenandung dan mengisahkan dongeng-dongeng
pada anak-anakmu.
Kepada
bibi kau bawa pertanyaan tak terjawab itu.
Bibi
tercekat, lalu meraung sesudahnya.
”Mengapa
kau langgar pesanku?” desisnya menuntut. ”Seharusnya kau patuh.”
”Ibu
melakukannya, mengapa aku tak boleh?” balik kau bertanya serupa gugatan.
”Justru
karena itu kau tak perlu mengulangnya!”
”Tapi
aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.”
Bibi
menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak
ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan
sulaman anganmu sebagai cadar belaka.
”Lebih
sepuluh tahun Tacik 3
menunggumu,” bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di antara cemas dan pahit
berselang-seling.
”Setiap
datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli
didatangi. Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan
ibumu ke sana. Bulan berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.”
Suara
bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah
bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi
akar-akarnya tak tercerabut.
”Sesudah
kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada
yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah
perjanjian yang dahulu disepakati demi kelahiranmu,” bibi melanjutkan. Telapak
tangannya dingin berkeringat dalam genggamanmu.
”Tacik
meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik
tirimu. Anak itu lahir kemudian.”
Kau
terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari
cerita silam yang tak terduga.
”Apa
yang terjadi dengan adikku?”
Bibi
menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam
dan lelehan jeruk nipis.
”Seharusnya
anak itulah penukar kelahiranmu, tetapi ibumu tak tega dan memilih dirinya
sendiri sebagai pembayarnya. Ayahmu tak sanggup menanggung beban dan menyusul
ibumu kemudian. Nyawa dibayar nyawa, begitulah adanya.”
Labirin
sejarahmu terkuak sudah. Terpapar jelas dari ujung permulaan hingga kelokan
terakhir. Tak lagi kau temukan persimpangan yang menipu. Saat yang sama kau
telah terperangkap pada salah satu jalur misterius di dalamnya. Akankah kau
temukan jalan untuk kembali?
Jadwal
periodik biologis bulanan itu selalu kau tunggu dengan berdebar sepanjang
sembilan tahun. Debaranmu kali ini adalah akumulasi sepanjang masa itu disertai
harapan yang retak serupa cangkang telur merah dalam anganmu.
Keterangan:
1. Ik: panggilan untuk saudara perempuan dari pihak ibu dalam keluarga China.
2. Wan bik: nakal
3. Tacik: kakak perempuan
1. Ik: panggilan untuk saudara perempuan dari pihak ibu dalam keluarga China.
2. Wan bik: nakal
3. Tacik: kakak perempuan
Mar Beranak di Limas Isa
Ada
sebuah hikayat yang hendak aku terakan, tentang Bi Maryam istrinya Mang Isa.
Perempuan yang telah melewati usia kepala empat, tetapi masih saja rajin
beranak. Baiklah, untuk menuntaskan keingintahuan yang telah bersarang, kita
buka saja cerita ini.
Oya,
sebelumnya kita buat kesepakatan: Untuk memudahkan aku bercerita, kita singkat
saja nama Bi Maryam menjadi Bi Mar, tersebab lidahku agak sulit menyebut
namanya bila kuucapkan secara panjang. Jadi ketika aku menyebutkan nama Bi Mar,
kau pahamlah kalau yang kumaksud adalah Bi Maryam istrinya Mang Isa, lantaran
sangat banyak Bi Mar di dusun Tanah Abang.
Kita
mulai cerita ini di suatu malam ingusan, ketika bulan tengah mati di kelam raya
dan kesiuran angin penanda hujan telah bertiup sejak langit mulai temaram,
tepatnya di bilik pengap Bi Mar dan Mang Isa, pada sebuah limas yang terpancang
tak jauh dari bibir Sungai Lematang. Dan kisah ini dibuka oleh ucapan Kajut
Mis, dukun beranak di dusunku, Tanah Abang.
”Masih
belum terlihat, Mar. Kau harus bertahan. Ambil napas lagi, lalu kau ejankan
kuat-kuat.”
Bi Mar
tersengal, kedua tangannya mencengkeram kuat seruas bambu yang tergantung tepat
di atasnya. Seruas bambu yang diikat kuat tali trap—tali yang terbuat dari
kulit kayu bernama trap. Keringat telah membanjir di pelipisnya, melucumkan
seluruh tubuh dan merembes ke kasur kapuk yang menampung tubuh kepayahannya.
Ada rasa sakit yang mengili-ngili tubuhnya, merayap dari sendi-sendi, lalu
menjalar ke seluruh pori. Sakit yang bermuara dari satu titik: perut
bengkaknya.
Mertua
Bi Mar, emaknya Mang Isa, terlihat cemas di sebelahnya. Padahal, ini bukan kali
pertama ia mengawani menantunya ini bertaruh nyawa, melahirkan cucu-cucunya,
hampir saban dua tahun sekali, ia mengulangi adegan yang selalu membuat
jantungnya berdebar lebih kencang ini. Bahkan, ia pun telah berkali-kali
melakoninya. Tetap saja, kernyit muka penuh nyeri Bi Mar tak urung membuat
dadanya mengempis.
”Sudahlah,
Mar, tak usah beranak lagi. Kau datangi saja bidan di puskes sana, minta KB,”
itulah ucapan mertua Bi Mar dua tahun silam, ketika usai mengawaninya
melahirkan Serina, anak gadisnya yang baru saja dapat berlari dengan sempurna.
Kata-kata serupa tak terluncur dari mulut mertua Bi Mar saja, Kajut Mis, dukun
beranak yang kian uzur itu, pun telah mengucapkannya empat tahun lalu, pun
dengan mulut-mulut karib-karib Bi Mar—tapi tidak dengan mulut orang-orang di
Tanah Abang.
”Tak
kau tengok, Mar, anakmu sudah macam rayap? Menyempal-nyempal
sampai limasmu sesak. Apa lagi yang nak kau ranakan? Gadis-gadismu sudah
banyak. Empat belas orang. Apa kau buta hingga tak dapat
menghitungnya?”
Sejatinya,
Bi Mar tak buta. Mata beloknya yang indah itu dapat dengan sempurna menghitung
jumlah anak perawannya. Pun jika hendak menuruti kemauan hatinya, ia sangat ingin
untuk menyudahinya. Tetapi, ucapan lakinya, Mang Isa, selalu saja membuatnya
tak berdaya, ujung-ujungnya kembali mengharuskan Bi Mar bertaruh nyawa,
melahirkan anak-anaknya.
”Kita
harus dapat anak bujang, Dik,” itulah kata-kata Mang Isa pada Bi Mar, ”Apa kata
orang se-Tanah Abang bila jurai limas kita tak tertegak lantaran kita hanya
melahirkan anak-anak perawan saja? Pada masanya, bila kita telah uzur dan
anak-anak gadis kita telah diboyong laki mereka ke limas seorang-seorang, kita
hanya tinggal berdua di limas ini, tak ada yang mengurusi. Lalu, kita akan mati
bergilir dalam sepi. Nasib baik, jika kita mati bersama, hingga yang ditinggal
tak merasa sunyi.”
Ucapan
Mang Isa membuat mata Bi Mar menerawang, membayangkan dirinya ringkih dan
tertatih-tatih sendiri dalam limas. Menanak nasi, mandi ke Sungai Lematang,
mengumpulkan kayu bakar, merumputi lapangan sekitar limas, menyambangi kebun
duku-durian, menyayatkan pahat pada kulit balam di pagi kelam. Mendadak,
tengkuk Bi Mar meriap. Alangkah menakutkan bayang itu di matanya.
”Kalau
kita ada anak bujang. Ada yang menunggu limas, memboyong istri dan anaknya di
sini, bersama kita. Mengurus kebun duku-durian, menyadap balam pagi-pagi kelam.
Kita hanya tinggal di rumah saja, bermain dengan cucu-cucu yang banyak. Tak
usah risau bila ada yang sakit karena tua, tak perlu cemas kalau-kalau kita
mati tak ada yang tahu musababnya. Sebab, ada yang bersama kita. Anak bujang
dengan anak dan istrinya,” tambah Mang Isa membuat mata Bi Mar mengatup rapat.
Alangkah indah.
Sekelebat
pula sebuah bayangan mengantar-kantar mata Bi Mar yang terpejam. Sebuah
bayangan yang mendadak menciutkan kembali nyalinya. Bi Mar teringat akan nasib
buruk Mak Salit. Perempuan tua itu kini hidup sendiri di limasnya yang megah
setelah lakinya meninggal beberapa purnama silam. Nasib malangnya bukan
lantaran karena Mak Salit seorang perempuan mandul yang tak punya anak. Anaknya
banyak, hampir mencapai sepuluh orang. Sayangnya, semua perawan dan telah
mengikuti laki-lakinya di dusun-dusun tetangga.
Mungkin,
bukan tak ada anak-anak perempuan Mak Salit yang tak iba melihat nasib malang
Emak mereka. Dapat pula sebenarnya mereka takut akan mendapatkan nasib serupa
di masa tua lantaran telah menelantarkan Emak mereka. Tapi, apa yang dapat
mereka perbuat sebagai perempuan selain tunduk kepada suami dan adat yang
mengikat? Tak akan mertua mereka mengizinkan, bila anak bujangnya menunggui
limas mertua, mengikuti istri melangkah, menegakkan jurai perempuan sembari
membunuh jurai keluarga seorang lanang.
Itulah
mengapa Bi Mar seolah-olah menulikan telinga dari ucapan mertuanya, ucapan
Kajut Mis, dan karib-karib sebayanya. Ia harus dapat anak bujang, tak peduli
dengan ucapan segelintir orang. Orang-orang Tanah Abang pun paham apa yang
hendak ia capai dengan lakinya.
***
”Mungkin
kau kurang syarat, Mar, jadinya selalu meranakkan perawan,” ucapan itu Bi Mar
dapat dari Kajut Muya ketika perempuan tua yang tak seorang pun memiliki anak
perawan itu, sekali waktu menyambangi limas Bi Mar seusai Bi Mar melahirkan
anaknya yang keempat belas, Serina.
”Syarat
apa, Jut?” kejar Bi Mar dengan mata berbinar. Ada semangat yang meluap dari
dadanya hingga Bi Mar seolah lupa dengan tubuhnya yang masih kepayahan sebab
baru saja meranakkan anak gadisnya yang kesekian. Di mata Bi Mar terlintas deret-deret
bujang Kajut Muya yang elok-elok parasnya.
”Kau
malinglah sereket dari kayu ribu-ribu milik bibi atau saudara perempuan lakimu
yang telah beranak bujang. Usai itu, kau pakai sekali saja saat menanak nasi.
Nah, nasi-nasi yang menempel di sereket itu kau makan, lalu simpan sereketnya
di bawah kasur kapuk kau dengan Isa. Insya Allah, kau akan dapat anak bujang.
Aku pun dulu demikian, Mar. Awal-awal menikah hingga anakku bujang semua.”
Bibir
Bi Mar mengembang, serupa kuntum bunga yang menemukan masanya mekar. Ada luap
keinginan yang rasanya hendak lekas-lekas ia tunaikan. Bila tak sadar dirinya
masih terkulai di atas lamat kapuknya, mungkin Bi Mar telah gegas meninggalkan
Kajut Muya seorang saja bersama gadisnya yang masih merah. Di matanya yang mendadak
berbinar, Bi Mar telah dapat limas siapa yang akan ia satroni, menggondol
sereket kayu ribu-ribu penanak nasi: Limas Bi Jumar, adik mertuanya yang
memiliki banyak bujang.
Begitulah,
seusai merasa dirinya telah sehat walafiat, Bi Mar melancarkan aksinya. Pada
petang yang kesekian di bilangan almanak rumah, Bi Mar berpura bertandang
sembari memamerkan anak gadisnya yang merah. Ketika Bi Jumar lengah, Bi Mar
mengambil sereket kayu ribu-ribu yang terselip di dinding limas samping periuk
yang bergemerutup. Entah, apa Bi Jumar sebenarnya paham apa yang dilakukan Bi
Mar atau ia benar-benar tak mengetahuinya. Bi Mar melenggang pulang dengan
sereket kayu ribu-ribu yang terselip di balik besannya.
Di
rumah, Bi Mar gegas menanak nasi seperti biasa, meletakkan perawannya yang
masih merah dalam ayunan. Lalu, melakukan petuah Kajut Muya padanya.
Menggunakan sereket kayu ribu-ribu milik Bi Jumar untuk mengaron nasinya hingga
matang. Dan, memamah nasi yang tertinggal di sereket. Usai itu, Bi Mar
menyelipkan sereket itu di bawah kasur, tempat ia dan Mang Isa tidur.
***
Keinginan
Bi Mar memiliki anak bujang kian menjadi saja. Sebab, ada berita yang tengah
hangat dibicarakan perempuan-perempuan di batang—tempat mencuci dan mandi di
Sungai Lematang. Berita tentang Mang Marwan yang berbini dua!
Kata
berita yang lagi hangat-hangatnya itu, Mang Marwan berbini dua lantaran tak
kunjung mendapatkan anak bujang dari istrinya, Bi Murni. Bi Mar pun ingat, ada
lima anak gadis Bi Murni itu. Semua berparas elok, berbibir tipis dengan hidung
bangir, kulit putih dan mata sipit, mirip Mang Marwan yang memang termasuk
lelaki rupawan.
Mendadak,
degup di jantung Bi Mar terasa tak normal. Ada dag-dig-dug yang tak biasa. Ia
seperti merasa, mata-mata perempuan yang mencuci dan mandi di batang seolah-olah
mencuri pandang. Seperti perempuan-perempuan itu tengah meramalkan nasibnya pun
akan seburuk Bi Murni yang tengah dikisahkan. Dimadu oleh lakinya lantaran tak
kunjung mengoekkan anak bujang dari selakangannya. Tak kunjung menegakkan jurai
limas dengan menetak burung bujang ingusan.
Gegas
sekali Bi Mar menyikat baju cuciannya, membilas, dan menyabuni tubuhnya. Lalu,
membasuh diri dengan air Lematang yang mengalir. Setelah itu, ia terburu
melangkah pulang. Dalam hatinya yang kusut-masai, ia percaya, mata-mata
perempuan di batang masih saja tertuju hingga tubuhnya lenyap dari pandangan.
Bi Mar
pun mulai waswas melihat tingkah pola Mang Isa. Bila lelaki itu tak kunjung
pulang pada malam yang kian larut saja, hatinya mendadak dibalur cemburu.
Jangan-jangan Mang Isa tengah memadu kasih dengan janda di dusun ini dan itu.
Mengurai rencana dan sudah mulai menyusun kata, bila ia menangis sembab ketika
mendapati Mang Isa dikabarkan telah berbini dua kelak.
Bi Mar
pun kian risau, bila ia mendapati dirinya masih saja datang bulan. Padahal, ia
sangat berharap ada sesuatu yang tumbuh di perutnya, buah dari cinta dengan
Mang Isa. Sesuatu yang ia harapkan membayar tunai kegalauannya.
Rupa-rupanya,
Tuhan mendengar doa Bi Mar, atau ini hanyalah kebetulan semata. Pastinya, hal
ini memang sudah tersemat dalam kisah semesta. Bi Mar kembali hamil muda. Lalu,
pelan-pelan perutnya membengkak, menuju bilangan bulan demi bulannya, seiring
anak gadis yang keempat belas belajar berjalan. Segala syarat yang ia dapatkan
dari tetua, orang-orang yang telah kenyang asam garam dunia, ia lakonkan,
tujuannya cuma satu saja: Kali ini ia beranak seorang bujang. Menyudahi
pertarungan yang sejatinya enggan ia ulang.
***
Angin
kian mendedas di pelipir limas, meningkahi perjuangan Bi Mar dalam bilik
pengap. Sesekali terdengar rintik mengimbau di atas genting. Kajut Mis masih
terus memberi aba-aba, menyemangati Bi Mar yang kian kepayahan. Usia yang sudah
lewat kepala empat, anak yang kata Kajut Mis sungsang, membuat perjuangan Bi
Mar kian berat. Sementara itu, di tengah limas, Mang Isa menunggu dengan cemas,
anak-anak perawannya meringkuk dalam senyap. Doanya cuma sebatang kalimat: Anak
bujang! (*)
C59,
November 2010 – Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar