Klown dengan Lelaki Berkaki Satu
Tom, kau masih ingat kan, ketika ibunya Klown meninggal (badut yang kita
sayangi sejak kecil), berduyun-duyun orang bertakziyah (waktu itu kita baru
berumur 10 tahun).
Di sudut rumah ini kutemukan pak Klown buru-buru menghapus air matanya.
Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum dan jatuh
satu per satu!
Aku tercengang!
Setelah peristiwa itu (yang selalu menjadi obsesiku), bertahun-tahun kemudian,
aku bertemu lagi dengan pak Klown, secara tidak sengaja dalam perjalanan pulang
dari Jakarta ke Malang dengan kereta api. Kami duduk bersebelahan, dia segera
tahu siapa aku.
Pak Klown tersenyum kepadaku.
***
Tom, hal ini belum pernah kuceritakan kepadamu. Setiap kali sendirian, aku merasa melihat lagi air mata pak Klown.
Tom, hal ini belum pernah kuceritakan kepadamu. Setiap kali sendirian, aku merasa melihat lagi air mata pak Klown.
Di kereta api ini beberapa orang menghampiri dan menyalami pak Klown.
(Mereka kelihatan tersenyum, bahkan ada beberapa yang tertawa geli). Padahal
aku tahu, pak Klown tidak sedang melawak. Ketika rombongan itu sudah pergi, pak
Klown menoleh (aku sedang membaca buku).
”Aku senang, melihat kau suka membaca!”
”Pak Klown juga membaca?”
”Yah, aku membaca setiap kali ada kesempatan.”
”Maaf, di setiap lakon yang kulihat, peran pak Klown kok cuma jadi pembantu
tua yang bodoh!”
”Ya, aku sudah tua dan hanya berperan itu-itu saja. Namun bukan berarti,
aku tidak butuh membaca buku. Menurutku peran itu tidak hanya menampilkan
kebodohan, tapi cara kita menertawakan diri sendiri. Ini sulit, karena ego melindungi
kelemahan dan perlu keberanian untuk menetralisir ego itu.”
Aku Ona, perempuan muda (dua puluh dua tahun) melihatnya. Dan kukatakan,
”Aku akan belajar dengan pak Klown selama libur semester ini. Aku jenuh
mempelajari ilmu di bangku kuliah.”
”Aku suka ngobrol dengan kamu.”
***
Tom, kemudian dia tidur dalam perjalanan yang jauh ini. Entahlah, mengapa
baru sekarang aku menceritakan kepadamu sejujur mungkin tentang pak Klown.
Klown terbangun lagi. ”Ini tidur yang nyenyak sekali, kita sudah sampai di
Jogja? Kau tahu, kami pernah manggung di kota ini. Tapi yang datang tidak
banyak, karena di panggung lain ada musik dari Jakarta. Beberapa temanku sedih
dan bilang, kita sudah terlampau tua untuk digemari anak-anak muda. Melihat
kursi yang hanya terisi beberapa orang, tiba-tiba kami semua merasa sedih dan
menangis bersama. Ketika dalam situasi kacau, kami harus naik panggung! Namun,
kala itu para penonton tertawa sembari memegang perutnya.
Gemuruh tawa mereka luar biasa. Padahal saat itu, salah seorang teman kami
ayahnya seminggu yang lampau meninggal, tapi aktingnya luar biasa, dialah yang
menyulut tawa para penonton.”
Tom, aku nyeri mendengar buntut percakapan itu. Aku kira selama ini, apa
pun yang dia lakukan di panggung mengalir begitu saja.
”Jadi selama ini pak Klown akting?”
”Aku memang harus belajar keras untuk akting seperti itu. Padahal, selama
ini aku tidak pernah berpikir untuk jadi pelawak yang harus mengerti filosofi
kehidupan. Waktu itu aku cuma menggantikan seorang senior yang sakit dan
kulakukan itu dengan semangat muda yang sedang mencari identitas. Sebab, semua
orang di kampung tahu, ayahku cuma gemar menikah tanpa pernah peduli pada
anak-anak hasil pernikahannya. Masa kecilku lebih banyak kulewati dengan
kesedihan, kesendirian dan selalu kurindukan seorang ayah yang bisa mengajakku
jalan-jalan.
Setelah bertahun-tahun kemudian baru kutemukan sosok itu, adik sepupu
ayahku yang pulang kampung karena kecelakaan lalu lintas, sehingga berkaki
satu. Dari dia, aku belajar bagaimana orang bisa sabar melihat kelemahan setiap
manusia. Salah satu caranya dengan melucu. Bersamanyalah aku baru tahu, melucu
itu harus belajar!”
Sebelum muncul pertanyaan lain dariku, sekali lagi banyak orang merubung
pak Klown dan terpingkal-pingkal. Lantas kulihat pak Klown ingin beranjak dari
tempat ini, ”Saya akan ke kamar kecil dulu.” Orang-orang tertawa lagi. Dengan
terbirit-birit pak Klown masuk ke kamar kecil itu.
Aku sekarang yang mulai mengantuk. Tiba-tiba kudengar napas pak Klown dan
aku bicara pelan-pelan, ”Pak Klown apa sedang akting?”
”Aku mengantuk, hampir dua malam tidak bisa tidur, keinginan yang sederhana
kan?”
”Ona, kalau kamu mau, aku bisa mendidikmu menjadi pelawak perempuan yang
berkesan tidak bodoh. Ini memang tidak mudah, tapi aku tahu, kau pasti bisa.”
Waktu itu, aku menggelengkan kepala.
Aku sedang belajar akuntansi dan dia bilang begini, ”Menjadi pelawak bukan
sekadar mesin tertawa, tapi belajar menyeimbangkan otak kiri dan kanan dan
menghibur orang lain. Itu pelajaran yang sulit, butuh kesungguhan dan kerja
keras.”
”Aku tahu, tapi aku merasa tidak perlu berada di dunia itu.”
Pak Klown menganggukkan kepalanya, dan berkata begini, ”Kalau dunia ini
tidak ada pelawak lagi, lantas bagaimana ya? Apa kita cuma harus belajar ilmu
kesehatan, matematika dan cuaca hari ini? Apa dunia pelawak sudah tidak bisa
dianggap sebuah hiburan yang membebaskan diri kita sendiri, kalau sudah banyak
klub-klub malam, mimpi-mimpi yang dirangkai oleh pengusaha dalam bentuk
sinetron?”
”Ona, di tahun-tahun ini aku tidak melihat lagi orang-orang yang bersenda
gurau seolah-olah itu tabu, tidak efisien dan efektif. Karena bentuk dari dunia
modern hanya orang yang bekerja keras dan orang-orang yang melipat bibirnya,
mereka sudah melupakan senda gurau itu bahkan anak-anak yang belajar di SD
tidak bisa tertawa lagi karena beban di sekolahnya terlampau berat.”
Pernyataannya kelewat berat, ketika kulihat wajahnya dia tidak akting.
Lantas pak Klown meneruskan ceritanya, ”Keempat anakku tidak ingin seperti
diriku. Kau tahu sendiri, setelah tamat SMA mereka kuliah ke luar kota dan
jarang pulang. Teman-teman anakku tidak ada yang tahu kalau bapaknya seorang
pelawak, aku pernah dengar cerita di kos-kosan anakku, kalau aku muncul di TV mereka
tidak pernah ingin menontonku.
Aku tahu, aku tidak bisa dibanggakan seperti bapak teman mereka, apalagi
peranku dalam dunia lawak sering sebagai pembantu yang di pundaknya selalu ada
lap dan kelihatan dungu! Penonton ingin melihatku seperti itu di luar panggung,
kalau tidak aneh kan? Seperti mencabik-cabik mimpi mereka, kau tahu suatu kali
anakku membersihkan kamar di kosnya, anakku menaruh lap di pundaknya, dan
seorang temannya yang masuk ke kamar itu nyeletuk, ’Doni, kamu setolol pelawak
itu (dia menyebut namaku).’ Pada waktu itu anakku merasa dicekik, dia bilang
begini,” Itu bapakku! Dia memang tolol, tidak seperti bapakmu yang pejabat.”
”Pak Klown, pelawak kan pekerjaan yang butuh keseimbangan antara rasio dan
rasa dan panjenengan
(Anda) bukan koruptor atau penjahat lainnya.”
Pak Klown tidak menjawab, namun dia kelihatan resah, lantas kami berdua
terdiam.
Tom yang baik, kukatakan pada pak Klown, apa yang dia lakukan adalah
keberanian, sekalipun menjadi badut bukan tempat terhormat di masyarakat kini.
Pak Klown membenarkan ucapanku, dia juga bilang begini, ”Tidak ada yang
bisa dibanggakan dengan menjadi pelawak saat ini, memang sebaiknya teruskan
kuliah dan menjadi akuntan seperti cita-citamu, sebab menjadi orang yang
berseberangan dengan orang lain sungguh tidak mudah, apalagi semua orang pada
saat ini punya cita-cita bersama, di luar itu adalah kegilaan.”
”Tapi pak Klown bahagia kan bekerja seperti ini?”
”Saya tidak tahu Ona, apakah ini seperti ketika kita mengisap rokok yang
sudah menjadi kebiasaan rutin dan melekat atau ada hal lain, popularitas dan
uang.”
Aku ingin berkata lebih lanjut, tapi kehidupan pak Klown seperti jarum jam
yang berputar terbalik, dia harus segera pulang, dan selang beberapa jam
kemudian melawak ke kota lain.
***
Tom, kau pasti berpikir aku lagi kacau! Sebetulnya bukan itu, beberapa teman mama menawarkan pekerjaan kalau aku
lulus S1. Aku beruntung kan! Beberapa kakak kelasku yang sudah sarjana belum
dapat pekerjaan, apalagi yang kucari! Sebulan yang
lampau orangtua kita berunding akan mengukuhkan hubungan kita dengan
pernikahan. Lantas apalagi? Aku sudah mendapatkan apa pun yang diimpikan setiap
perempuan muda!
Tom yang baik, tapi sejak bertemu dengan pak Klown mimpiku semakin liar dan
saling berkejaran. Lantas, aku kepingin mengkaji ulang kehidupan yang kita
impikan bersama. Bekerja di suatu lembaga dari jam sembilan sampai jam lima
sore, memiliki dua anak yang sehat dan manis, rumah mungil, mobil yang bisa
membawa kita pergi ke mana saja.
***
Lantas di jam satu malam itu kami ngobrol tentang dunia pelawak, pada saat
itu kami tertawa bersama! Dan ketika sampai di Malang, tiba-tiba aku kepingin
belajar tentang ilmu melawak secara keseluruhan. Kemudian kami sepakat untuk
mencari sebuah tempat yang nyaman di mana pak Klown bisa memberikan seluruh
ilmu lawaknya kepadaku. Berhari-hari, sampai bulan ketiga, secara maraton siang
malam, aku belajar sari pati kehidupan dari dunia lawak. Dan akhirnya pak Klown
berkata, ”Kau sudah mendapatkan sebagian ilmuku.”
Aku tahu maksudnya, dia akan menyerahkan seluruhnya. Lantas kumantapkan
hari itu untuk menyerap seluruh ilmu itu. Karena kami adalah dua tubuh yang
berbeda, baik itu latar belakang sosial maupun pendidikan. Kami meleburkan itu,
dengan tidur bersama, sehingga menjadi dua senyawa yang menyatu.
Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi!
Malang, 4 Februari-31 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar