Perjalanan
1.
Selalu, kuingat tentang kisah picisan kita, Sonya. Setiap menelusur kota
pada malam hari. Bahkan dari gigil udara malam, dendang solilokui tentangmu
dapat memancing kehangatan.
Bila, kata orang sebijak-bijaknya, jodoh merupakan salah satu tulang rusuk
yang tercerabut. Tidak bagiku. Kau adalah sebelah mataku. Yang kugunakan untuk
mengenal dunia.
2.
Sepanjang malam, gelap menyadurkan melankolia. Jalanan kota hari ini sepi.
Malam semakin larut. Bebunyian yang tersisa hanya deru kendaraan malam. Yang
terlambat bangun. Yang melintasi malam bersama kerahasiaan tentang tujuan.
Perjalananku sendiri lamat saja. Decit roda motor menggilas aspal terdengar
jelas. Belum pernah kurasa kota menjadi amat sepi. Malam ini, kota seakan
lelah. Dan jatuh terlelap.
Bagi seorang buta sebelah sepertiku, pelan adalah keselamatan. Menekuri
ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Hanya mata kiriku yang berfungsi.
Tersisa dunia hanya bagi belahan pandang sebelah kiri. Semenjak beberapa tahun
lampau. Ketika mata kananku kudonorkan. Lebih tepatnya, hadiah sebuah ulang
tahun. Tak mengenal aku coklat, parfum mahal, pakaian, atau lingkar cincin di
pergelangan jari manis—tak mampu pula isi dompetku menebus hal tersebut—sebagai
hadiah. Maka kuberikan mataku sebelah kanan. Yang terjernih. Begitu
membanggakan.
Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya
yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur
selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kau selalu
mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan
membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu
dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain.
”Kau ingin hadiah apa untuk ulang tahun?” tanyaku pada pertengahan bulan
September. Tahun lalu. Ketika kemarau membakar kulit. Kau tampak asyik melumat
sebongkah pecahan es batu dalam mulut. Mengusir gerah.
”Mobil!” Jawabmu sembari melempar senyum nakal. Kau selalu menggoda. Ah,
alangkah hal ini membuat jantung berdegup. Dapat kuterjemahkan godaan tersebut
dari matamu yang bulat, melirik dengan mengerdip.
”Ayolah, aku ingin memberimu sesuatu kali ini.”
Kau tertawa. Siang begitu jernih. Dapat kulihat bibirmu yang penuh bongkah
es terbuka. Terkekeh. Kau tak percaya? Aku tersinggung.
”Tak percayakah kau? Baiklah, Sonya, aku hanya seorang penulis lepas.
Pengangguran di mata orang normal seperti kau. Yang tak selalu memiliki
peser-peser uang. Bahkan selama ini, selalu pundi-pundi dan kiriman orang tuamu
yang selalu kau bagikan. Maka, atas segala jasamu izinkan aku membalasnya.
Dengan materi.” Meledaklah rasa payahku.
”Oho, marah rupanya. Aku ikhlas melakukannya selama ini. Tak dapatkah kau
mengartikan ketulusan, wahai penulis?” kembali kau terkekeh. Sebuah lesung
pipit tersemat di hulu pipimu, kiri.
Aku terpengkur. Nanar kesabaranku. ”Sonya, aku
harus tahu apa yang sedang kau inginkan.”
”Simpan saja uangmu.”
”Mengertilah arti dari balas budi ini. Bukan hanya tentang berbagi. Harga
diri. Aku ingin menggelontorkan materi untukmu.”
”Budi, mengertilah. Sudah banyak bantuanmu.”
”Tapi, bukan materi.”
Sebuah kereta melintas di sisi kiri jalan. Derap rodanya bagai guntur.
Memecah hening. Kota sekejap terbangun. Terdengar kembali klakson dan teriak
orang. Rupanya perjalanan membawaku pada sebuah pasar. Aku keterusan. Tujuanku terlewat. Segera kucari jalur untuk memutar arah.
3.
Bahkan bertahun-tahun diriku masih berkantung kempis. Tak dapat kuberikan
hadiah pada tepat ulang tahunmu. Sebagai cendera mata dari kedalaman
kesungguhan. Tetap saja aku tak ber-uang. Bahkan, ketika dulu kujanjikan banyak
hal, tak ada satu pun berwujud nyata. Kecuali racun yang bernama ketenteraman.
Kecuali juga, seorang bayi manis—yang kerap menangis malam hari mengganggu
persanggamaan kita. Dan tentu kecuali, sebutir mata sebelah kanan.
Sudah luluh benar rasanya kejantananku. Kodrat sebagai seorang lelaki.
Simbol kesuksesan. Ketika dulu aku melamarmu,
kukatakan impian yang dapat membius wanita mana pun. Dan mimpi itu kini lapuk
dimakan rayap. Waktu. Dan bumi yang berputar menyelipkan kusam. Seperti sesusun
batu di balkon rumah susun kita—kita sebut sebagai tugu. Tugu yang kini tua
dimakan cuaca. Renta melahapnya. Walau banyak tersemat nostalgia.
”Maaf, Sonya, nasib baik enggan menghampiriku,” kataku ketika melahap makan
malam. Perayaan dua tahun pernikahan; kau menggodaku pada sebuah jamuan;
makanan lezat restoran mahal.
”Apalah nasib baik itu, Budi? Perjalanan kitalah yang satu-satunya
kunikmati.” Kau melumat sepotong daging dan lumatan halus kentang. Sambil
menatapku dalam. Tak kau rasa ketika setitik saus hinggap di ujung bibir.
Dengan kepala ibu jari kuusap. Kau tersenyum.
”Tak dapat kuberikan hal menyenangkan. Tak dapat kuberikan sebuah mobil seperti impian kita sebelum menikah. Tak
dapat.”
Kau melintangkan telunjuk kurusmu di depan bibirku.
Dan memang sepertinya hidupku harus berjauhan dengan materi. Seperti sebuah
musuh. Sebuah pembantaian akan harapan. Gestapo kehidupanku, barangkali.
Ketika ibu meninggal. Kuingat. Kau pun merelakan separuh gajimu untuk
pembiayaan ibu. Uang yang kau cari setiap gelap dengan menjadi seorang pelayan
klub malam.
”Akan kuganti uang ini,” ujarku ketika dalam perjalanan pulang selepas
menjemputmu. Malam telah pudar. Fajar menguncup di balik mega-mega.
”Sudahlah,” tercium bau alkohol menyelinap keluar dari dalam mulutmu.
Dan hingga kini tak dapat kuganti uang tersebut. Bahkan untuk kepul harum
di atas meja makan, harus kurela menjadi seorang pengecat rumah serabutan.
Ketika cerita-cerita picisanku hanya menjadi penghuni laci meja tulis.
4.
Malam semakin dingin. Waktu semakin bergeser. Dan pagi menunggu di ujung
jalan. Terdengar kicau beberapa burung yang terjaga. Cukup untuk memberi kabar
bahwa sudah waktunya kau pulang. Kutambah kecepatan. Bersalipan dengan waktu.
Meskipun aku harus waspada juga. Aku hanya punya mata sebelah kiri, dan tak
ingin tergelincir karenanya. Cukup sekali kusaksikan sebuah kecelakaan.
Musibah. Sebuah peristiwa yang memerihkan.
Musibah tersebut menghilangkan pandanganmu. Yang membutakanmu. Merenggut
segala parawarna yang diciptakan untuk dikagumi. Menghancurkan asa.
Kuingat, Sonya, hari naas tersebut. Sebagai lara yang tak tersembuhkan.
Yang kelak kutahu bahwa hal tersebut sebagai penyiksa. Seperti kuingat tetumpuk
batu yang kita bangun—kita sebut tugu. Di balkon tempat kita menghitungi lampu
kota pada malam, tugu tersebut selalu mengingatkan pada masa-masa penuh
kelaparan.
”Aku lapar,” katamu. Kontan berhenti jari-jariku yang sedari pagi menari di
atas tuts komputer. Mendadak diriku melemah. Serasa ada denyut nadi terpotong.
Seminggu penuh, hanya dedaunan yang disebut kangkung—kukira lambung kita turut
merayakan kemiskinan—yang dapat dikunyah. Kala itu, bulan sedang menutup
umurnya. Tanggal tua.
”Sedang nasi hanya tinggal satu gelas.”
”Lapar.”
Pekerjaan menulis memang sedang tak banyak. Sedangkan, upah mengecat belum
juga dibayar. Ingin kupotong saja kemaluanku. Oh, kaum pria. Kaum pekerja.
”Ayo duduk di balkon, mungkin ada yang dapat mengalihkan pikiran,” ajakku.
Siang itu tak terlalu terik. Agaknya gerumbul awan berdesakan di cakrawalalah
musababnya. Di dinding balkon, terpajanglah dengan cantik beberapa kaktus. Buah
tangan ibu. Hadiah pernikahan kami. Pada dasar pot kaktus tersebut bertimbunlah
bebatuan aneka warna.
”Kaktus—tanaman tahan susah. Ibu seperti hendak menyindir,” kataku sembari
memunguti beberapa batu dari kaki-kaki kaktus.
”Hush.”
Kutata bebatuan tersebut di lantai balkon. Membentuk sebuah limas. Kau
tersenyum, bagimu menggelikan memang terus-menerus mendirikan bebatuan yang
bandel. Bebatuan tak kenal disiplin. Permukaan batu yang berpori kecil membuat
licin. Absurd.
Setelah bergelut dengan ketekunan sekian lama, sempurnalah! ”Akan
kuruntuhkan ketika kelaparan adalah makhluk asing bagi kita.”
”Runtuhkan saja ketika kita punya mobil.”
”Terserahlah.”
Dan kemiskinan kian mesra. Berbulan kemudian kulihat tubuhmu tambah ceking.
Bahkan setahun kemudian, ketika kau melahirkan Kaktus—anak kita. Kau tampak
kekurangan gizi. Celakalah bagiku. Tak dapat merawat istri.
”Pakai kata Kaktus untuk nama depannya. Agar tahan susah,” katamu di meja
persalinan. Dan seperti kau duga, memang hidup bersama seorang anak tak
menambah rezeki kita. Bahkan, dengan kepala tertunduk, aku (dan kau, Sonya)
harus menitipkan Kaktus ke rumah ibumu. Dan kau meminta izin kepadaku untuk
bekerja pada malam hari. Untuk pertama kali aku sesenggukan. Dan untuk kedua
kalinya, aku merasa lemah. Hanya pikiran yang kupunya, dan perut buncit. Dan
kemaluan—yang sangat ingin kutanggalkan.
Dan untuk yang kedua kali sesenggukanku menjadi raungan, ketika pada sebuah
pagi, klub malam tempatmu bekerja diserang gerombol pria bersurban dan berjubah
putih. Mereka membakar tempat kau mengais nafkah. Meneriakkan
nama Tuhan. Dan membabi buta. Menghancurkan apa saja. Memukuli siapa saja.
Termasuk membawamu dalam lubang hitam bernama koma.
5.
Segala usaha pekerjaan kulakukan. Hingga sales kosmetik yang akrab dengan
cibiran. Kesialan menguntitku. Bahkan aku selalu merasa ketika
tertidur, kesialan memerkosaku. Aku seorang sarjana. Sarjana kebudayaan. Namun,
dunia semakin praktis. Kebudayaan bukanlah barang sekali kedip, tak praktis,
cenderung rumit, harganya tak lebih penting ketimbang sebungkus mi instan.
Seribu lima ratus.
Suatu waktu temanku yang bekerja pada sebuah koran menghubungi. Jawatannya
membutuhkan seorang penulis. Bidang kebudayaan. Sebuah kolom. Di antara berita tentang mayat dan pelecehan manusia. Aku
menerima dengan perasaan yang berbunga. Kelebatan pikiran yang muncul pertama
adalah bayanganmu, Sonya—dan Kaktus, tanggung jawab kita. Sebuah ledakan
meledak di dada. Seperti kembang api berharga jutaan. Dengan kaya warnanya
mendebarkan getar semangatku. Sonya, akan kukabarkan hal baik ini padamu,
segera. Bahkan aku ingin mendahului waktu. Sebuah pekerjaan tetap dan hadiah
akan bertumpuk terbayang kemudian. Kita rayakan apa pun; ulang tahunmu, ulang
tahun Kaktus, ulang tahun perkawinan, bahkan bila perlu kematian ibu—mengingat
jasa beliau.
Maka, kupacu sepeda motor menembus padat kota malam hari. Tak sabar rasanya
mengabarkan sukacita. Harapan. Namun malam itu, tak dapat kutemui dirimu. Hanya
gedung dan gerombol riuh manusia yang kutemui..
***
Kuingat, dua hari kemudian dokter menunjukkan hasil pemeriksaan. Visum
menunjukkan kepalamu terantuk benda keras puluhan kali. Gegar otak. Bahkan bibit amnesia merupakan risikonya. Kaktus menangis semalaman. Ibumu
juga. Dan aku meraung. Ketika dokter berkabar bahwa kau menjadi
buta, aku kalap. Hampir kujotos dokter. Bila ia tak mengatakan, ”Mata kanannya
masih punya harapan. Sedangkan mata kirinya rusak berat akibat hantaman.
Kiranya mata kanan itu dapat sembuh apabila ada pendonor mata.”
Dua hari kemudian kubagikan mataku. Dokter mengundangku ke ruang inapmu.
Kulihat kau masih terpejam. Malam itu kau begitu cantik. Kulitmu begitu
bersinar. Amat putih. Dan bibirmu yang menjadi biru, menyisir darahku dengan
kekaguman. Sonya. Sayangku.
6.
Inilah tikungan terakhir, Sonya. Mari kita pulang. Esok kita jemput Kaktus
dari rumah ibumu. Dan untuk menyambut pagi kita habiskan waktu dengan bercinta.
Sonya, esok hari ulang tahunmu.
Mintalah apa pun.
Bahkan, bulan yang mendengkur sekali pun.
Setelah sebuah tikungan ke arah kiri, terbayanglah senyummu. Kuhentikan
sepeda motor di depan bangunan dengan tanaman rambat yang merimbun dan gosong
yang kelam.
Kutatap bangunan tersebut seperti menatap bulan yang jatuh ke atas
ubun-ubunku, Sonya.
Surabaya, 11 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar