Payung
Dian
menjulurkan lehernya keluar jendela. Hatinya senang melihat awan hitam
bergulung di langit Jakarta sore itu. Terdengar gemuruh guntur berkepanjangan
di kejauhan, mirip suara bergulirnya ban raksasa di jalan beton yang
bergelombang dan berlubang.
Sambil
berjongkok dan mengintip kolong lemari, ia menarik keluar sebuah payung besar
warna-warni kebanggaannya. Besarnya hampir seperti payung yang setia bertengger
di atas gerobak penjual buah dingin di ujung gang. Payung ini benda terbaru dan
terbagus yang ia miliki saat ini. Warna kainnya masih cemerlang, berbeda warna
di setiap lengkungannya. Gagangnya terbungkus kayu yang dipernis warna coklat
muda.
Payung
itu ditemukan Bapak seminggu yang lalu di bak sampah milik sebuah rumah besar
di kompleks perumahan tempat Bapak biasa memulung sampah. Waktu ditemukan, tiga
bilah rangkanya terlepas sehingga payung menjadi bengkok jika dikembangkan.
Padahal, hanya jahitannya saja yang putus, sedangkan rangkanya masih bagus dan
berkilap. Dengan bantuan Bang Ayub, tetangga sebelah rumah, sebentar saja
payung selesai dijahit. Ongkosnya gratis, begitu kata Bang Ayub.
Kebetulan
ada Mak yang menjaga Diyon di rumah. Sebentar lagi Bapak pulang. Sambil
menenteng sandal jepit kuningnya, Dian berjalan mengendap-endap melangkahi
tubuh Mak dan Diyon yang sedang tidur pulas, melintang di atas kasur tipis di
tengah rumah. Pintu rumahnya berderit pelan saat ditutup.
Sejak
payung itu jadi miliknya, hujan membawa gairah baru dalam hidup Dian. Hujan
berarti kerja. Kerja berarti rezeki. Seperti Bapak, ia juga ingin membawa
pulang sejumlah uang ke rumah. Hari ini payungnya akan beraksi untuk kedua
kalinya. Pengalaman pertamanya sebagai pengojek payung seminggu yang lalu
menghasilkan tiga belas ribu rupiah dalam waktu dua jam, di tengah guyuran
hujan yang tak seberapa deras. Harusnya bisa mencapai paling sedikit enam belas
ribu rupiah jika Markun tak mendadak muncul dan merebut paksa tiga calon
pelanggannya.
Hari
ini pasti lebih banyak, pikirnya. Sekarang adalah waktunya para karyawan—yang
bekerja di gedung-gedung tinggi itu—pulang kerja. Mereka yang tak mendapat
tumpangan kendaraan akan membutuhkan payungnya untuk menuju halte bus atau
pangkalan taksi.
Dian
berharap, hujan sedikit lama hari ini. Semoga tak bertemu Markun di hari yang
baik ini. Juga tak bentrok dengan Jaka, Bono, dan Ipung, yang rajin bekerja di
musim hujan.
Mereka
tak seperti Markun yang suka merebut pelanggan. Tapi, Bono gesit luar biasa,
karena jam terbangnya lebih banyak dari yang lain. Dia pengojek payung senior
di musim hujan. Jika hari sedang cerah, Bono sering menongkrong di gang dengan
kacamata hitam kebanggaannya. Biasanya, rambut Bono berkilap seperti habis
mandi dan disisir kaku dengan gel hingga membentuk kerucut di ubun-ubun kepala.
Dalam hati, Dian berencana membeli gel rambut semacam itu suatu hari nanti jika
ia punya uang.
Sambil
menyusuri gang, Dian menimbang-nimbang, akan digunakan untuk apa uangnya nanti.
Uang hasil ojek payung yang lalu dipinjam Mak untuk membeli beras. Tak apalah,
musim hujan belum berakhir, pikirnya. Yang pasti, kali ini ia ingin membelikan
Diyon biskuit yang diputar-dijilat-dicelupin itu. Satu bungkus saja, untuk
dicelupkan dalam segelas air putih. Tak perlu beli susu karena Diyon sudah
cukup menyusu pada Mak waktu kecil. Tapi, boleh juga. Jika rezekinya baik, Dian
ingin membeli sekotak susu rasa stroberi. Dian meneguk ludah waktu membayangkan
dirinya memutar, menjilat, dan mencelupkan biskuit itu ke dalam segelas susu
berwarna semu merah muda.
Dian
sudah berencana akan menabung sebagian uangnya untuk membeli payung tambahan.
Ia sudah menyurvei harga payung di beberapa toko di pasar. Ada yang berharga
dua puluh ribu rupiah, tapi terlihat kecil dan rapuh. Yang kelihatan cukup
besar dan lebih kekar kira-kira berharga tiga puluh ribu rupiah. Ia tak mau
membeli yang rapuh, supaya tahan lama.
Payung
tambahan pertama itu akan disewakannya pada Satrio saat hujan. Bagi hasil
seperempatnya untuk pemilik payung. Jika Satrio dapat sepuluh ribu, Dian berhak
atas setoran dua ribu lima ratus. Kemudian ia akan menabung terus hingga payung
tambahannya ada lima buah. Payung besarnya akan tetap ia gunakan sendiri.
Selain Satrio, masih ada Upit, Karyono, Agus, dan Cakri. Mereka pasti juga mau
jadi pengojek payung. Yang penting mereka jujur, tidak nakal seperti Markun.
Jika hujan, mereka berpencar mencari pelanggan. Payung-payung Dian akan beredar
di beberapa halte, rumah sakit, dan ruko-ruko, melalui kelima temannya itu.
Kemudian setoran pada pemilik payung akan menambah jumlah tabungannya.
Dian
tak dapat menahan senyum saat membayangkan teman-temannya menyetor hasil ojek
payung. Tapi, bagaimana jika mereka berlima membohonginya? Atau istilahnya,
korupsi? Mungkin saja, Cakri yang genit itu ingin segera membeli gel rambut
seperti punya Bono dan tidak melaporkan uang hasil ojek payung dengan jujur.
Senyum Dian menghilang. Dahinya berkerut. Lalu…, aha! Ia berseru dalam hati.
Sebelum menjadi mitranya, ia akan meminta kelima temannya bersumpah di atas Al
Quran, seperti pada pelantikan para pejabat yang dilihatnya di televisi Bang
Ayub. Sebaiknya, ia juga meminjam peci hitam Bapak supaya sumpah itu terasa
resmi.
Jika
rezeki ojek payung baik, Dian ingin membeli jas-jas hujan kecil yang dijual di
warung. Jas hujan warna-warni yang plastiknya tipis itu berharga paling sedikit
sepuluh ribu rupiah. Ia pikir, sebaiknya, anak buahnya itu jangan sampai jatuh
sakit karena diguyur hujan. Jas hujan bertopi itu akan melindungi
teman-temannya. Seragam warnanya, semua berwarna biru. Maka mereka akan menjadi
Pasukan Biru, penyelamat dalam musim hujan. Tidak bisa gratis, pikirnya. Ia
akan menyewakan jas hujannya sebesar seribu rupiah untuk satu kali pakai, saat
mereka menyewa payung-payungnya.
Tapi,
bagaimana jika Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri lupa pada sumpahnya?
Dahinya kembali berkerut. Matanya menatap jalanan. Kakinya iseng
menendang-nendang kerikil di depan langkahnya. Sesaat kemudian, sebuah ide
menyergap lamunannya. Baiklah, pikirnya, supaya mereka tak lupa, ia akan
membeli spidol antiair. Akan ditulisnya di bagian dalam payung. Tuhan ada di
mana-mana.
Jujur
saja, sebenarnya Dian tak terlalu paham pada kalimat itu. Ia hanya meniru
apa yang pernah dikatakan Pak Ustad padanya. Dengan malu-malu, setelah belajar
mengaji, ia pernah bertanya, ”Di mana Allah itu, Bapak Ustad?” Pak Ustad mengelus
kepala Dian, menatap lekat bola matanya, sambil menjawab, ”Allah atau Tuhan ada
di mana-mana, Nak. Di mana-mana…,” Saat itu Dian manggut-manggut. Tapi,
sejujurnya, dia tetap tak mengerti. Pak Ustad tidak bilang bahwa Tuhan
mengawasi mereka dari atas. Di mana-mana, harusnya berarti di semua tempat,
bahkan yang gelap dan tersembunyi. Pikirnya, Tuhan yang Maha Agung itu pasti
sangatlah penyayang jika Dia juga ada di sini, di tengah-tengah bau sampah yang
menguar tertiup embusan angin dari sungai di belakang rumah.
Jika
Tuhan mau berada di sini, apalagi di rumah megah yang dilihatnya di televisi
semalam. Tapi, herannya, pemilik rumah megah itu memilih minggat dari rumah dan
sedang dicari polisi karena korupsi. Begitulah kata si penyiar berita. Tuhan
pasti tahu di mana orang itu, tapi Dia tak bilang. Karena Tuhan tak
bilang-bilang apa yang diketahui-Nya, mungkin saja Satrio, Upit, Karyono, Agus,
dan Cakri juga tak takut pada Tuhan. Tapi, Dian berencana tetap membeli spidol
tahan air itu. Seandainya Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri tidak korupsi,
tetap saja mereka juga bisa berhenti jadi anak buahnya dan menyewakan payung
milik mereka sendiri nantinya.
Biarlah,
pikir Dian. Terlalu jauh untuk dipikirkan. Payung tambahannya saja belum
dibeli. Wajahnya kembali gembira karena membayangkan lembaran-lembaran rupiah
di kantong celananya.
Memikirkan
lembaran-lembaran uang membuat khayalan Dian buntu. Ia tak dapat membayangkan,
berapa uang yang bisa ia tabung dengan modal enam buah payung. Bahkan, ia tak
pernah membayangkan punya uang banyak. Yang dia tahu, uang adalah penyambung
hidup keluarganya sehari-hari. Jika mampu, mungkin ia ingin lebih sering
membeli biskuit dan susu, juga sepasang sandal baru untuk Mak. Mungkin juga,
suatu hari dia bisa membeli sepasang sepatu bola. Tapi, ia tak yakin karena tak
tahu harganya.
Lamunannya
terhenti saat tiba di ujung gang. Dian menganggukkan kepalanya pada Bang Joni, penjual buah
dingin.
”Hei,
Kojek!” Bang Joni memanggilnya dengan suara serak dan melambaikan tangannya
pada Dian. Ia memang sering memanggil anak-anak dengan sembarangan. Dian
berhenti di depan Bang Joni.
”Jual
aja payung kau itu. Buat ganti payung gerobakku ini.”
”Enggak
dijual, Bang.”
”Kubayar
dua puluh ribu rupiah.”
”Enggak
mau, Bang.”
”Berapa?”
”Enggak
dijual, Bang.”
Bang
Joni mendengus.
”Payung
itu terlalu besar buat kau. Lebih besar payung itu daripada badan kau yang
macam ikan asin itu, Jek.”
”Biarin, Bang.”
Dian
mengeratkan pegangan pada payungnya dan berbelok ke jalanan di sisi tanah
kosong berpagar beton rendah. Masih didengarnya Bang Joni memaki-maki dirinya.
Dari
kejauhan dilihatnya Satrio. Anak itu makin kurus saja. Ia pasti lebih mirip ikan
asin, seperti yang dikatakan Bang Joni, pikir Dian.
”Mau ke
mana, Yan?”
”Biasa,”
Dian menggerakkan sedikit payung yang dipeluknya.
”Payungmu
masih satu?”
”Satu.
Nanti kalau ada satu lagi, kamu ikut, Yo.”
Satrio
mengangguk sambil mengelap ingusnya dengan pinggiran baju. Lama ia menatap
punggung Dian yang menjauh ke arah jalan raya.
Mobil-mobil
masih bergerak lancar, tetapi sebentar lagi pasti akan semakin padat karena
mendekati jam tutup kantor-kantor. Banyak yang akan membutuhkan ojek payungnya.
Seribu rupiah diterimanya untuk satu kali menyewakan. Kadang-kadang ada yang
berbaik hati memberi dua ribu rupiah untuk jarak yang dekat.
Dian
melihat Markun di kejauhan. Lebih baik pura-pura tak melihat dan melewati jalan
lain. Tapi sudah terlambat. Markun berjalan ke arahnya. Dian heran, Markun tak
membawa payung di hari semendung ini.
”Hai,
Jelek! Pinjam payungnya!” Pantas Markun tak membawa payung. Jantung Dian
berdegup lebih kencang. Tak sadar, ia mengeratkan pegangan pada payungnya.
”Jangan,
Mar.”
”Sebenar
aja, Sompret!”
Markun
melotot galak pada Dian. Sengaja dadanya dibusungkan, menggertak. Dian memeluk
payung besarnya erat-erat. Bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan.
Markun
mencibir. ”Enggak ada yang nolongin
lu. Mau lari, ha?!”
Markun
mendesak Dian mundur sampai merapat ke tembok beton.
”Pinjam.
Jangan pelit. Nanti malam gua
balikin.”
”Enggak
boleh. Gua belum
kerja hari ini.”
”Sama donk, Nyet. Bukan lu aja yang butuh duit!”
Bau
nafas Markun terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dian
melengos, menghindari bau yang menyerang hidungnya.
”Memangnya
lu enggak
punya payung?”
”Ngapain lu
tanya-tanya?!” bentak Markun sambil menyentuh payung. ”Sini payung lu!”
”Jangaaa…an!”
”Sini!”
”Enggak!”
Markun
mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dian yang
tetap memeluk payung. Markun melepas sebelah tangannya pada batang payung dan
melayangkannya pada pipi Dian. Plak! Plak!
”Rasain
lu!”
”Aaaa….!”
Buk!
Markun mendorong Dian sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas
dari tangan Dian. Punggung Dian membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas
oleh desakan air mata yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus.
Markun
tak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari.
Tujuannya adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan
menunggu. Lembaran-lembaran seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat,
siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat, akan menuai lembaran rupiah
terbanyak.
Dian
membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat
tadi Markun mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan
hari ini. Ia tak memercayai Markun akan mengembalikan payungnya nanti.
Seandainya dikembalikan, payungnya mungkin sobek atau patah, tak akan selamat
dari kejahilan Markun.
Mendadak
Dian teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung
tambahan. Pasukan Biru. Hatinya sakit.
”Bangsaaat….at!”
Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki.
Mendengar
teriakan itu, Markun menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan
larinya.
Kilat
menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang
gadis di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara
guntur, sekaligus karena Dian yang berlari seperti kesetanan dan hampir
menabraknya.
Markun
pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari
tabrakan dengan manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan
segera turun. Cepat sekali larinya. Entah, karena dia mendadak takut pada Dian
yang mengamuk seperti kesurupan karena memburu waktu, atau karena dia tak mau
membuat keributan di pinggir jalan yang mulai padat. Markun pernah diciduk
Satpol PP saat tawuran.
Ciiiitttt…..!!!
Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Markun di
belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Markun
berhenti mendadak dan hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus.
Ia melepas sandalnya dan terus berlari.
”Mampus
lu!” Si
pengemudi berteriak membentak Markun. Markun tak peduli. Ia terus berlari.
Keterkejutan
menahan langkah Dian. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya.
Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan.
Tetesan air hujan pertama jatuh di kening Dian, diikuti tetesan lain yang
semakin banyak. Air tumpah ruah dari langit, menyamarkan air mata yang juga
mengucur deras. Pandangan Dian menjadi kabur. Semangatnya mendadak runtuh.
Markun menghilang.
Tak ada
gunanya berteduh. Dian menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tak ada
Markun di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan
terlihat Bono, dengan rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah,
sedang sibuk menawarkan payungnya.
Terduduk
di median yang lengang. Dian membenamkan wajah di antara kedua lututnya,
menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh
air mata. Hanya air hujan yang terus menderas.
Dian
menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar
berganti-ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dian merasa dirinya mandi
di bawah pancuran air bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai
keramik yang juga serba putih, seperti dalam iklan sabun mandi yang sering ia
lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam tubuh yang menggigil.
Di
hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat.
Tangerang,
30 Maret 2010
*Cerpen
ini terinpirasi foto dalam buku Mata Hati yang berisi kumpulan foto Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar