Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon



Perempuan Tua dalam Rashomon

Pemberitahuan
Setelah melakukan pengkajian dan menimbang berbagai masukan, cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon tulisan Dadang Ari Murtono, yang dimuat Kompas Minggu (301), dinyatakan dicabut dan tidak pernah termuat dengan berbagai alasan.
Redaksi
Perempuan itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam menara Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecoklatan, bertubuh pendek dan kurus, berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang perempuan dengan rambut panjang. 
Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak poranda.
Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun—kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Perempuan itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet. Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya. Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya meninggal terkena wabah penyakit.
Namun ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orangtuanya yang sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung, tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan orang-orang buangan.
Awalnya ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya. Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah dan merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu.
Dalam kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut yang kelaparan.
Hingga pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga, ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayat-mayat mengerikan itu pernah hidup sebelumnya.
Perempuan tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana bisa ada barang berharga dari mayat-mayat semacam itu. Tentu orang yang membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya.
Namun ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu.
Senja ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut, perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara.
”Alangkah bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal nantinya,” bisiknya pada diri sendiri.
Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia cabuti rambutnya itu.
Ia terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel. ”Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu.
”Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku…”
Genin itu melepaksan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu tengah ketakutan.
”Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.”
”Aku mencabuti rambut. Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara.”
Genin itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu.
Perempuan tua itu melanjutkan, ”Ya, memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan hering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.”
Genin menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan dingin. ”Kau yakin begitu?” tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia berkata geram.
”Kalau begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tak melakukannya.”
Dengan kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung jalan.
Beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh takbernyawa itu sambil memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia bergumam, ”Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi.”
Pada waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya.

Perempuan Tua dalam Kepala

Di dalam kepalaku hidup seorang perempuan tua pemarah yang gemar menghentak-hentakkan kaki dan berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai seonggok pohon kering-keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal. Suaranya seperti derit roda kekurangan minyak. Jika dia berteriak, aku terpaksa menutup telinga.
Dia menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan beranak-pinak di dalamnya.
Sesekali kulihat perempuan itu mencungkili ulat-ulat tadi dari dinding, memasukkan mereka ke dalam panci, dan membawanya ke dalam rumah. Aku tak tahu apa yang dilakukannya dengan ulat-ulat tadi. Tapi tak lama sesudahnya, asap akan membubung dari cerobong. Ulat-ulat tadi mungkin telah jadi sup atau ramuan pembuat gila.
Aku percaya dia adalah seorang penyihir. Sejak tinggal di kepalaku, belasan tahun yang lalu, perempuan itu seolah berhenti menua.
Aku tak menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia menyukai apa yang tidak kusukai dan tidak menyukai apa yang kusukai. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang jatuh dari sepeda, dan menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku menikmati suara burung-burung pertama di pohon depan rumah. Jeritannya membuat burung-burung itu kabur ketakutan.
Tapi ia bertepuk senang ketika aku menempeleng pengendara motor yang memotong jalur mobilku. Atau mengajukan saran-saran balas dendam yang benar-benar bagus ketika aku bersungut-sungut keluar dari ruang kerja bosku setelah setengah jam penuh diceramahi karena terlalu sering terlambat. Satu sarannya kujalankan. Hari itu bos terpaksa pulang naik taksi karena dua dari empat ban mobilnya kempes. Tak seorang pun mencurigaiku.
Di saat-saat terburuknya, perempuan tua itu benar-benar menyulitkan. Dia akan memukuli bagian dalam kepalaku dengan tongkatnya, atau menusuk-nusuk otakku dengan jarum jahitnya yang besar. Sakitnya luar biasa. Aku hanya bisa diam-diam menangis sambil membentur-benturkan kepalaku ke benda-benda keras yang terdekat: tembok, pintu, kepala tempat tidur, meja, kursi, wastafel, pinggiran bath tub,… apa saja – dan baru berhenti setelah dia berhenti.
Aku pernah mengusirnya. Tentu saja dia tak mau. Aku mengancam akan meledakkan kepalaku. Dia malah menantang, ”Coba saja kalau berani!” Dia menang. Aku memang pengecut. Sejak itu, dia makin kejam dan sewenang-wenang. Aku tak bisa berbuat lain kecuali belajar menahan rasa sakit agar dia tak selalu menang.
Tapi sore ini dia cukup tenang. Mungkin karena aku sekedar duduk minum kopi di sebuah café di sebuah mal dengan pikiran kosong. Sesuatu yang tak membuatnya geram ataupun senang.
Tak banyak yang lalu lalang di tengah minggu seperti ini. Cuma gadis-gadis dengan baju serba terbuka. Ibu-ibu muda dengan rambut bergulung-gulung dan wangi yang menyengat hidung. Di belakang mereka, rombongan baby sitter berseragam kedodoran membuntuti dengan tergopoh-gopoh. Beberapa menggendong bayi, lainnya membawa tas berisi botol-botol susu dan air panas yang terlihat berat. Tiga lelaki gemuk lewat dengan celana dan kemeja berbunga-bunga cerah yang tak serasi. Satu dari mereka mengenakan kalung dan anting-anting emas. Aku menunduk muak.
”Sen!” Seorang lelaki tiba-tiba menjulang di depanku. Tinggi, tegap, wangi. Wajahnya bersih. Senyumnya berkilau. Aku langsung teringat sebuah iklan pasta gigi, tapi kesulitan mengingat siapa dia. Mataku pasti penuh tanda tanya karena matanya kemudian dengan sabar menuntunku ke sebuah gudang di satu siang, belasan tahun yang lalu.
Di satu sudutnya, seorang anak lelaki kecil dengan celana pendek hijau berjongkok di sebelahku. ”Jangan takut,” bisiknya. Tangannya lalu menggenggam tanganku. Dengan tangan yang lain dia mengangsurkan sehelai selampai untuk menghapus air mata dan ingus. Aku masih menyimpannya hingga kini.
”Ben?” Tanyaku ragu. Dia mengangguk. Senyum pasta giginya melebar, nyaris menunjukkan geraham. Dia langsung duduk di depanku dan, seperti dulu, menggenggam tanganku. Aku tak sempat merasa jengah. Tapi ulu hatiku mendadak kram dan di perutku seekor kupu-kupu raksasa mengepak panik.
”Kamu menghilang begitu saja!” Protesnya. Aku tak yakin harus menjawab apa. Sejak gudang itu, kami memang tak pernah bertemu lagi. Baju pengantin yang kugunting hingga jadi potongan-potongan kecil tak membatalkan pernikahan ibu. Sehari sesudahnya, kami pindah kota mengikuti ayah baruku. Aku minta maaf karena tak sempat berpamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.
Ben percaya dan memaafkanku. Ia memesan secangkir kopi, lalu duduk menemaniku. Tak banyak yang bisa kukatakan. Butuh waktu untuk memilah-milah tumpukan cerita yang seketika menggunung di belakang kepala. Ben cukup bijak untuk tak bertanya apa-apa. Dia cuma menyesap kopinya pelan-pelan sambil sekali-sekali menatapku. Aku berkali-kali menelan kata-kata yang tersangkut di pangkal lidah. Ketika dia menggenggam tanganku untuk kedua kalinya, kelopak mataku memejam. Di baliknya, perempuan tua itu duduk dengan muka masam. Matanya berkilat sepekat malam.
***
Lelaki yang dicintai ibu mencintaiku juga. Ia suka membelai kepalaku dan membelikan aku berbagai jajanan: permen dan aneka keripik yang mengandung msg. Aku tahu, permen tak baik untuk gigi, dan msg tak baik untuk otak, tapi aku tak peduli. Ibu tak pernah membelikan jajanan dan tak memberikan ayah. Jadi, lelaki ini ideal. Ia akan jadi ayah yang suka membelikan jajanan.
Ia sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan uangnya di mal.
Di hari perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.
Dari udara yang tipis perempuan tua itu menjelmakan burung-burung hitam. Tujuh ekor banyaknya. Mereka berjajar dengan gelisah di bubungan rumahnya. Menanti. Mengancam. Lalu, dengan satu isyarat tangan, gagak-gagak itu menyerbu bola mataku, mematuk-matukinya tanpa ampun.
”Tutup matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. Aku nyaris pingsan karena sakit yang tak tertahan. Dan rasa mual yang bergulung-gulung. Sesuatu tiba-tiba meledak dalam duburku. Cengkeraman lelaki itu seketika melemah. Ia mencampakkanku di lantai. Isi perutku tumpah saat itu juga.
Entah berapa lama aku tak sadar. Ketika mataku terbuka, burung-burung hitam telah pergi. Perempuan tua itu berdiri diam, mengamatiku berkubang dalam muntahku sendiri.
***
Di depan pintu itu, ia berdiri dengan senyum yang harum. ”Aku berharap kamu cukup lapar.” Ben menjawab bahwa dia sudah tak makan tiga hari. Aku terbahak. ”Aku bahkan bisa makan daging mentah,” lanjutnya, sambil mengerling nakal. Ia mulai genit. Meski begitu, aku merasa sedikit tersanjung. Telingaku tiba-tiba berdenging. Perempuan tua itu menggeserkan ujung tongkatnya yang tajam ke dinding kepalaku.
Ben masuk tanpa kusilahkan. Dengan santai ia melepas sepatu dan melempar tubuhnya ke sofa. Seketika ia melesak. Busa sofa tua itu memang terlalu empuk. ”Apartemenmu nyaman,” pujinya. Matanya menjelajahi studioku yang cuma 42 meter persegi. Dari tempat dia duduk, semua bisa terlihat. Tak sampai lima menit ia selesai memindai semuanya: pintu masuk, dapur kecil, ruang makan kecil, ruang kerja kecil di samping jendela, sofa bed, dan kamar mandi mungil yang cuma ditutupi korden.
Aku menawarinya minum. Ia menolak halus. Matanya tajam menatapku. Jantungku langsung berdebar gila. Agak gugup, aku kembali ke dapur. Sambil pura-pura mencuci tangan yang tak kotor, aku menenangkan diri. ”Aku membuat greek salad dan fish linguini. Kita makan?”
Di atas meja sudah kusiapkan dua piring, dua set sendok, garpu, dan pisau, dua gelas air putih, dua gelas kosong untuk anggur nanti. Semuanya tertata rapi. Ben berdiri menghampiri. Aku menarik kursi, bersiap untuk duduk. Tapi Ben menarik tanganku, menghela tubuhku mendekatinya. ”Kita langsung ke acara utama saja,” ujarnya dengan bibir yang hanya berjarak satu senti dari bibirku.
***
Ibu bilang, anak laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya. Laki-laki itu bilang, aku tak boleh bercerita pada ibu, atau ia akan benar-benar menyakitiku. Di balik pintu aku berdiri kaku dengan bibir terkatup rapat dan tinju terkepal erat, lalu mulai berhitung.
Satu, dua, tiga. Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam. Laki-laki itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan. Ia menelungkupkanku di tempat tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata erat-erat. Di hitungan kesepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas. Lelaki itu menindih tubuhku. Napasnya mulai terengah.
Tiga belas. Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget. Dengan sigap perempuan tua itu meraih lampu baca di samping tempat tidur. Sepenuh tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang. Aku mendengar suara retak. Tubuh lelaki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamnya. Lagi. Lagi. Lagi.
Empat belas, lima belas. Lelaki itu tak bangun lagi. Di dalam kepala, tawa serak perempuan tua itu menggema tak henti-henti, menelusup ke rongga-rongga kecil di tengkorakku. Aku menggigil. Rasa dingin seketika menyelimutiku.
***
Sambil berbaring di tempat tidur, kuceritakan pada Ben tentang masa kecilku yang bahagia. Ayah tiriku mati muda. Tapi ibuku segera menikah lagi. Kami pindah keluar negeri. Aku punya dua adik tiri perempuan yang manis-manis. Ibuku meninggal tahun lalu setelah tiga tahun menderita kanker rahim. Aku kembali ke sini sesudah lulus kuliah dan langsung bekerja sebagai editor mode di majalah wanita dengan oplah terbanyak di Indonesia. Hingga kini.
Ben membelai rambutku. Dia bilang, dia senang bisa bertemu kembali denganku. Sejak berpisah dulu, dia tak bisa melupakanku. Mataku berair. Ben terlihat kuatir. ”Kenapa, sayang?” Aku bahagia, sahutku cepat.
Di dalam kepalaku, perempuan tua itu menggerutu. Ember di tangannya kini kosong. Aku tak tahu, cairan apa yang tadi disiramkannya ke mataku. Rasanya perih sekali.
____
Jakarta, 26.11.10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar