Perempuan Tua dalam Rashomon
Pemberitahuan
Setelah
melakukan pengkajian dan menimbang berbagai masukan, cerpen Perempuan Tua dalam
Rashomon tulisan Dadang Ari Murtono, yang dimuat Kompas Minggu (301),
dinyatakan dicabut dan tidak pernah termuat dengan berbagai alasan.
Redaksi
Perempuan
itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam menara
Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecoklatan, bertubuh pendek dan kurus,
berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara
di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang
perempuan dengan rambut panjang.
Bagaimana
bisa ada tumpukan mayat dalam menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini
adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun beberapa tahun silam,
kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran dan paceklik. Itulah
sebab kota ini menjadi senyap dan porak poranda.
Menurut
catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur,
dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan,
dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit
diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat,
memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara
aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang
ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat
perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun—kecuali
perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Perempuan
itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak
ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet.
Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai
pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak
pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia
merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk
memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya.
Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya
meninggal terkena wabah penyakit.
Namun
ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang
teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran
itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya
yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia
sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak
mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orangtuanya yang
sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung,
tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan
bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan
orang-orang buangan.
Awalnya
ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya.
Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu
rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai
pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari
pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri
saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah dan
merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang
teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya
barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu.
Dalam
kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia
kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa
dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat
menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan
usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik
rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu
akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut
yang kelaparan.
Hingga
pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga,
ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir
saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian
mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki
dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di
lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan
terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayat-mayat mengerikan itu pernah
hidup sebelumnya.
Perempuan
tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia
tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran
untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju
mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang
berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana
bisa ada barang berharga dari mayat-mayat semacam itu. Tentu orang yang
membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya.
Namun
ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak,
bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa
dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat
cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan
untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu.
Senja
ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa
nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat
baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut,
perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja
ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan
dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah
ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak
menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak
peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah
sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara.
”Alangkah
bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal
nantinya,” bisiknya pada diri sendiri.
Setelah
mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela
lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu.
Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai.
Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu
itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia
cabuti rambutnya itu.
Ia
terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari
tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin
itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang,
lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia
terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan
ketapel. ”Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan
perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan
hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak
mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu.
”Apa
yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku…”
Genin
itu melepaksan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan
mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam,
kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti
hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu
tengah ketakutan.
”Aku
bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka
aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup
mengatakan sedang melakukan apa di sini.”
”Aku
mencabuti rambut. Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara.”
Genin
itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu.
Perempuan
tua itu melanjutkan, ”Ya, memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu
mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua
pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti,
biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke
barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan hering. Kalau tidak mati karena
terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak
katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat
disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa
melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa
melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan
itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.”
Genin
menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan
dingin. ”Kau yakin begitu?” tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu
telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia
berkata geram.
”Kalau
begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan
mati kelaparan kalau tak melakukannya.”
Dengan
kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan
menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan
mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung
jalan.
Beberapa
saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara
tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh takbernyawa itu
sambil memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh
tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya.
Tiba-tiba ia bergumam, ”Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka
yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi.”
Pada
waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir
apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut
rambut atau mengiris sekerat dagingnya.
Perempuan Tua dalam Kepala
Di
dalam kepalaku hidup seorang perempuan tua pemarah yang gemar
menghentak-hentakkan kaki dan berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai
seonggok pohon kering-keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan
sudut-sudut yang janggal. Suaranya seperti derit roda kekurangan minyak. Jika
dia berteriak, aku terpaksa menutup telinga.
Dia
menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi
berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah
itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan
beranak-pinak di dalamnya.
Sesekali
kulihat perempuan itu mencungkili ulat-ulat tadi dari dinding, memasukkan
mereka ke dalam panci, dan membawanya ke dalam rumah. Aku tak tahu apa yang
dilakukannya dengan ulat-ulat tadi. Tapi tak lama sesudahnya, asap akan
membubung dari cerobong. Ulat-ulat tadi mungkin telah jadi sup atau ramuan
pembuat gila.
Aku
percaya dia adalah seorang penyihir. Sejak tinggal di kepalaku, belasan tahun
yang lalu, perempuan itu seolah berhenti menua.
Aku tak
menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia menyukai apa yang tidak kusukai dan tidak
menyukai apa yang kusukai. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang
jatuh dari sepeda, dan menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku menikmati
suara burung-burung pertama di pohon depan rumah. Jeritannya membuat
burung-burung itu kabur ketakutan.
Tapi ia
bertepuk senang ketika aku menempeleng pengendara motor yang memotong jalur
mobilku. Atau mengajukan saran-saran balas dendam yang benar-benar bagus ketika
aku bersungut-sungut keluar dari ruang kerja bosku setelah setengah jam penuh
diceramahi karena terlalu sering terlambat. Satu sarannya kujalankan. Hari itu bos
terpaksa pulang naik taksi karena dua dari empat ban mobilnya kempes. Tak
seorang pun mencurigaiku.
Di
saat-saat terburuknya, perempuan tua itu benar-benar menyulitkan. Dia akan
memukuli bagian dalam kepalaku dengan tongkatnya, atau menusuk-nusuk otakku
dengan jarum jahitnya yang besar. Sakitnya luar biasa. Aku hanya bisa diam-diam
menangis sambil membentur-benturkan kepalaku ke benda-benda keras yang
terdekat: tembok, pintu, kepala tempat tidur, meja, kursi, wastafel, pinggiran
bath tub,… apa saja – dan baru berhenti setelah dia berhenti.
Aku
pernah mengusirnya. Tentu saja dia tak mau. Aku mengancam
akan meledakkan kepalaku. Dia malah menantang, ”Coba saja kalau berani!” Dia
menang. Aku memang pengecut. Sejak itu, dia makin kejam dan sewenang-wenang. Aku
tak bisa berbuat lain kecuali belajar menahan rasa sakit agar dia tak selalu
menang.
Tapi
sore ini dia cukup tenang. Mungkin karena aku sekedar duduk minum kopi di
sebuah café di sebuah mal dengan pikiran kosong. Sesuatu yang tak membuatnya
geram ataupun senang.
Tak
banyak yang lalu lalang di tengah minggu seperti ini. Cuma
gadis-gadis dengan baju serba terbuka. Ibu-ibu muda dengan rambut
bergulung-gulung dan wangi yang menyengat hidung. Di belakang mereka, rombongan
baby sitter berseragam kedodoran membuntuti dengan tergopoh-gopoh. Beberapa
menggendong bayi, lainnya membawa tas berisi botol-botol susu dan air panas
yang terlihat berat. Tiga lelaki gemuk lewat dengan celana dan kemeja
berbunga-bunga cerah yang tak serasi. Satu dari mereka mengenakan kalung dan
anting-anting emas. Aku menunduk muak.
”Sen!”
Seorang lelaki tiba-tiba menjulang di depanku. Tinggi, tegap, wangi. Wajahnya
bersih. Senyumnya berkilau. Aku langsung teringat sebuah iklan pasta gigi, tapi
kesulitan mengingat siapa dia. Mataku pasti penuh tanda tanya karena matanya
kemudian dengan sabar menuntunku ke sebuah gudang di satu siang, belasan tahun
yang lalu.
Di satu
sudutnya, seorang anak lelaki kecil dengan celana pendek hijau berjongkok di
sebelahku. ”Jangan takut,” bisiknya. Tangannya lalu menggenggam tanganku.
Dengan tangan yang lain dia mengangsurkan sehelai selampai untuk menghapus air
mata dan ingus. Aku masih menyimpannya hingga kini.
”Ben?”
Tanyaku ragu. Dia mengangguk. Senyum pasta giginya melebar, nyaris menunjukkan
geraham. Dia langsung duduk di depanku dan, seperti dulu, menggenggam tanganku.
Aku tak sempat merasa jengah. Tapi ulu hatiku mendadak kram dan di perutku
seekor kupu-kupu raksasa mengepak panik.
”Kamu
menghilang begitu saja!” Protesnya. Aku tak yakin harus menjawab apa. Sejak
gudang itu, kami memang tak pernah bertemu lagi. Baju pengantin yang kugunting
hingga jadi potongan-potongan kecil tak membatalkan pernikahan ibu. Sehari
sesudahnya, kami pindah kota mengikuti ayah baruku. Aku minta maaf karena tak
sempat berpamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya
karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.
Ben
percaya dan memaafkanku. Ia memesan secangkir kopi, lalu duduk menemaniku. Tak
banyak yang bisa kukatakan. Butuh waktu untuk memilah-milah tumpukan cerita
yang seketika menggunung di belakang kepala. Ben cukup bijak untuk tak bertanya
apa-apa. Dia cuma menyesap kopinya pelan-pelan sambil sekali-sekali menatapku.
Aku berkali-kali menelan kata-kata yang tersangkut di pangkal lidah. Ketika dia
menggenggam tanganku untuk kedua kalinya, kelopak mataku memejam. Di baliknya,
perempuan tua itu duduk dengan muka masam. Matanya berkilat sepekat malam.
***
Lelaki
yang dicintai ibu mencintaiku juga. Ia suka membelai kepalaku dan membelikan
aku berbagai jajanan: permen dan aneka keripik yang mengandung msg. Aku tahu,
permen tak baik untuk gigi, dan msg tak baik untuk otak, tapi aku tak peduli.
Ibu tak pernah membelikan jajanan dan tak memberikan ayah. Jadi, lelaki ini
ideal. Ia akan jadi ayah yang suka membelikan jajanan.
Ia
sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di
kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka
geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu
malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan
uangnya di mal.
Di hari
perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.
Dari
udara yang tipis perempuan tua itu menjelmakan burung-burung hitam. Tujuh ekor
banyaknya. Mereka berjajar dengan gelisah di bubungan rumahnya. Menanti.
Mengancam. Lalu, dengan satu isyarat tangan, gagak-gagak itu menyerbu bola
mataku, mematuk-matukinya tanpa ampun.
”Tutup
matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri
yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku
menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia
membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. Aku nyaris pingsan karena sakit yang
tak tertahan. Dan rasa mual yang bergulung-gulung. Sesuatu tiba-tiba meledak
dalam duburku. Cengkeraman lelaki itu seketika melemah. Ia mencampakkanku di
lantai. Isi perutku tumpah saat itu juga.
Entah
berapa lama aku tak sadar. Ketika mataku terbuka, burung-burung hitam telah
pergi. Perempuan tua itu berdiri diam, mengamatiku berkubang dalam muntahku
sendiri.
***
Di
depan pintu itu, ia berdiri dengan senyum yang harum. ”Aku berharap kamu cukup
lapar.” Ben menjawab bahwa dia sudah tak makan tiga hari. Aku terbahak. ”Aku
bahkan bisa makan daging mentah,” lanjutnya, sambil mengerling nakal. Ia mulai
genit. Meski begitu, aku merasa sedikit tersanjung. Telingaku tiba-tiba
berdenging. Perempuan tua itu menggeserkan ujung tongkatnya yang tajam ke
dinding kepalaku.
Ben
masuk tanpa kusilahkan. Dengan santai ia melepas sepatu dan melempar tubuhnya
ke sofa. Seketika ia melesak. Busa sofa tua itu memang terlalu empuk.
”Apartemenmu nyaman,” pujinya. Matanya menjelajahi studioku yang cuma 42 meter
persegi. Dari tempat dia duduk, semua bisa terlihat. Tak sampai lima menit ia
selesai memindai semuanya: pintu masuk, dapur kecil, ruang makan kecil, ruang
kerja kecil di samping jendela, sofa bed, dan kamar mandi mungil yang cuma
ditutupi korden.
Aku
menawarinya minum. Ia menolak halus. Matanya tajam menatapku. Jantungku
langsung berdebar gila. Agak gugup, aku kembali ke dapur. Sambil pura-pura
mencuci tangan yang tak kotor, aku menenangkan diri. ”Aku membuat greek salad
dan fish linguini. Kita makan?”
Di atas
meja sudah kusiapkan dua piring, dua set sendok, garpu, dan pisau, dua gelas
air putih, dua gelas kosong untuk anggur nanti. Semuanya tertata rapi. Ben
berdiri menghampiri. Aku menarik kursi, bersiap untuk duduk. Tapi Ben menarik
tanganku, menghela tubuhku mendekatinya. ”Kita langsung ke acara utama saja,”
ujarnya dengan bibir yang hanya berjarak satu senti dari bibirku.
***
Ibu
bilang, anak laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku
merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya.
Laki-laki itu bilang, aku tak boleh bercerita pada ibu, atau ia akan
benar-benar menyakitiku. Di balik pintu aku berdiri kaku dengan bibir terkatup
rapat dan tinju terkepal erat, lalu mulai berhitung.
Satu,
dua, tiga. Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam. Laki-laki
itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan. Ia menelungkupkanku di tempat
tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata
erat-erat. Di hitungan kesepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting
terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas. Lelaki itu menindih tubuhku.
Napasnya mulai terengah.
Tiga
belas. Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata
paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget. Dengan
sigap perempuan tua itu meraih lampu baca di samping tempat tidur. Sepenuh
tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang.
Aku mendengar suara retak. Tubuh lelaki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes pelan
dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamnya. Lagi. Lagi. Lagi.
Empat
belas, lima belas. Lelaki itu tak bangun lagi. Di dalam kepala, tawa serak
perempuan tua itu menggema tak henti-henti, menelusup ke rongga-rongga kecil di
tengkorakku. Aku menggigil. Rasa dingin seketika menyelimutiku.
***
Sambil
berbaring di tempat tidur, kuceritakan pada Ben tentang masa kecilku yang
bahagia. Ayah tiriku mati muda. Tapi ibuku segera menikah lagi. Kami pindah
keluar negeri. Aku punya dua adik tiri perempuan yang manis-manis. Ibuku
meninggal tahun lalu setelah tiga tahun menderita kanker rahim. Aku kembali ke
sini sesudah lulus kuliah dan langsung bekerja sebagai editor mode di majalah
wanita dengan oplah terbanyak di Indonesia. Hingga kini.
Ben
membelai rambutku. Dia bilang, dia senang bisa bertemu kembali denganku. Sejak
berpisah dulu, dia tak bisa melupakanku. Mataku berair. Ben terlihat kuatir.
”Kenapa, sayang?” Aku bahagia, sahutku cepat.
Di
dalam kepalaku, perempuan tua itu menggerutu. Ember di
tangannya kini kosong. Aku tak tahu, cairan apa yang tadi disiramkannya ke
mataku. Rasanya perih sekali.
____
Jakarta,
26.11.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar