Pohon Jejawi
Jangan buka peta Surabaya hari ini, tapi, bukalah peta Surabaya pada akhir
tahun 1920-an, atau paling muda awal tahun 1930-an, ketika Belanda masih
menjajah Indonesia. Waktu itu, jalan dan kampung bernama ”kedung” tidak
sebanyak sekarang. Hanya ada satu pada waktu itu, yaitu Kedung Gang Buntu.
Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di
situ, di sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan
”kedung” karena di situ ada sebuah ”kedung”, yaitu sumber air jernih, dan
dinamakan ”buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini
bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber
air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada sebuah hutan lebat.
Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan,
Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang
Kedung Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul
Kedung Gang Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada
beberapa pohon yang sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama
anggun dengan pohon jejawi di hadapan mulut Kedung Gang Buntu.
Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang
Belanda. Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun
tiba-tiba raib, konon diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib
penghuni pohon jejawi. Ada pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik
sepeda motor besar, melintasi Kroepen Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba
tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada, lalu tubuhnya melesat ke
udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang bergelantungan di
dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke tanah
dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda
gantung diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang
ketahuan bunting, entah dibuntingi siapa.
Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal,
demikian pula mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri.
Di bawah pohon jejawi selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya,
tapi juga dari tempat-tempat jauh, bahkan dari luar pulau, untuk bersemadi. Pribumi, Cina, Arab, dan entah bangsa apa lagi pasti ada. Seharusnya ada
kesaksian mengenai penunggang kuda, dan seharusnya bunuh diri dapat dicegah
***
Kamis, 31 Maret 1927, pukul 2.47 siang, seorang insinyur Belanda asal
Amsterdam turun di stasiun kereta api Semut, Surabaya, setelah menginap dua
malam di Semarang dalam perjalanannya dari Batavia menuju ke Surabaya. Wajah
insinyur ini tampan tapi sombong, tampak pandai tapi konyol pula, jalannya
digagah-gagahkan, potongan tubuhnya mirip pemain sepak bola, tapi bukan sepak
bola kelas nasional, cukuplah kelas kampung saja.
Insinyur Henky van Kopperlyk, inilah wali kota baru Surabaya, menggantikan
wali kota lama, Justin Verhaar, yang masih muda tapi uzur karena penyakit
tuberkulosis. Dalam hati Henky van Kopperlyk berkata garang: ”Vini, Vidi,
Vici,” dengan lagak Julius Caesar ketika Julius Caesar pada tahun 47 Sebelum
Masehi dengan mudah mengalahkan Raja Parnaces II di Zile, wilayah Turki
sekarang.
Tapi ingat, kendati sudah punya istri, Henky van Kopperlyk masih
menyembunyikan istrinya di Batavia. Bukan saja dia tidak bangga mengenai
istrinya, tapi juga, dan inilah yang penting, dia agak malu. Nanti-nanti
sajalah, barang satu dua minggu setelah dia datang, istrinya akan diselundupkan
ke Surabaya, langsung dibawa masuk ke rumah dinas wali kota.
Pikiran utama Henky van Kopperlyk terpaku pada, tidak lain dan tidak bukan,
pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Mungkin pohon ini sudah berumur lebih
dari empat ratus tahun, pikirnya. Andaikata lima belas orang berjejer-jejer
sambil merentangkan tangan mengelilingi lingkaran pohon ini, tidak akan cukup.
Dua puluh orang pun mungkin masih kurang. Dan Henky van Kopperlyk tahu, di
semua kawasan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin bagian selatan, pohon jejawi
dianggap keramat.
Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang
Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang
suka berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi,
meletakkan sesaji dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi, dan saling
berbisik.
Orang berdatangan kemudian berbisik-bisik, itulah yang terjadi menjelang
Perang Diponegoro, sebuah perang dahsyat pada tahun 1825-1830, pemberontakan
Sitti Margopoh di Lubukbasung, Kabupaten Agam, Minangkabau, pada tahun
1908-1910, serta perkelahian antara kelasi-kelasi pribumi dan perwira-perwira
Belanda di atas kapal perang Belanda Lucas Roemeltje pada tanggal 4 Februari
1924 di Laut Jawa, tidak jauh dari Surabaya.
Contoh lain masih banyak. Semuanya diawali dengan segerombolan orang datang
ke tempat-tempat tertentu, disambung bisik-bisik. Semua merugikan Belanda.
Memang, akhirnya Belanda menang, tapi melalui akal-akal licik, yang menurut
hukum internasional diharamkan. Pangeran Diponegoro, misalnya, diundang untuk
berunding, dan sesuai dengan kesepakatan, Pangeran Diponegoro datang sendirian,
sama sekali tanpa pengawal. Ternyata Pangeran Diponegoro tidak diajak berunding,
tapi langsung ditangkap, digebuki, dirantai, kemudian dibuang ke Makassar.
Sudah beberapa kali Henky van Kopperlyk membaca laporan mengenai pohon
jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Beberapa orang bergantian datang dan
berbisik-bisik. Inilah awal gerakan sebuah komplotan. Dan yang berbisik-bisik
itu datang dari berbagai suku. Inilah awal gerakan nasional Indonesia, yang
menyangkut semua suku bangsa di Indonesia. Beda dengan Perang Pangeran
Diponegoro, yang hanya melibatkan orang-orang Jawa. Tidak sama pula dengan
pemberontakan Sitti Margopoh, sebuah pemberontakan suku bangsa Minang di
Sumatera Barat, dan sama sekali tidak menyuarakan ke-Indonesia-an.
Henky van Kopperlyk juga sudah banyak mendengar mengenai ilmu-ilmu gaib di
berbagai daerah di Indonesia. Ilmu ini diciptakan dengan melalui berbagai
sesajen dan doa-doa yang diucapkan dengan berbisik-bisik pula. Setengah tahun
sebelum Henky van Kopperlyk tiba di Surabaya, misalnya, ada seorang laki-laki
Belanda yang tiba-tiba kehilangan kemaluannya. Konon laki-laki Belanda ini
bertualang di Kalimantan, menginap di tempat tinggal kepala suku, lalu meminang
anak perempuan kepala suku. Malam itu juga keperawanan anak kepala suku
dirusak, kemudian laki-laki Belanda ini, dengan bantuan serdadu-serdadu
Belanda, melarikan diri ke Surabaya.
Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia
memperdaya kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa
terbahak-bahak. Tidak ada peristiwa apa-apa pada laki-laki Belanda ini selama
perjalanan dari Banjarmasin ke Surabaya. Sampai tiba di Surabaya pun dia tidak
mengalami apa-apa. Malam harinya, ketika dia akan kencing, barulah dia tahu
bahwa kemaluannya telah hilang, tanpa merasa apa-apa.
Peristiwa laki-laki Belanda kehilangan kemaluan ini makin meyakinkan Henky
van Kopperlyk, bahwa tindakan tegas harus segera diambil: binasakanlah pohon
jejawi itu sampai ke akar-akarnya, sampai tidak ada sisanya lagi.
Di luar dugaan, ketika Henky van Kopperlyk dengan menggebu-gebu memutuskan
untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu, semua anak
buahnya, baik langsung maupun menyindir-nyindir, menyatakan tidak setuju.
Berbahaya. Maka, setelah memberanikan diri, beberapa pembantu Henky van
Kopperlyk memberi tahunya terang-terangan. Ada pembesar yang mati terpatuk ular
liar, ada pembesar lain yang tiba-tiba linglung, ada pula pembesar yang tampak
sehat-sehat belaka, tapi ternyata tanpa alasan jelas anak laki-lakinya lumpuh,
dan banyak contoh lain.
Henky van Kopperlyk pura-pura dengan sungguh-sungguh mendengarkan semua
peringatan itu, dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Selama beberapa hari dia
tidak mau diajak bicara oleh siapa pun, termasuk pembantu-pembantu dekatnya
mengenai masalah-masalah penting di Surabaya. Dia menutup mulut, dan dengan
matanya terbuka, dia sengaja tidak melihat apa-apa.
Selama beberapa malam berturut-turut dia membaca laporan-laporan wartawan
Belanda, Willem Coorvaben, dan juga surat-menyurat Wille Coorvaben dengan
beberapa orang Belanda di Indonesia, antara lain dengan Rob Nieuwenhuys,
pengarang Indo Belanda kelahiran Semarang.
Willem Coorvaben sangat jijik dengan orang-orang pribumi, orang-orang yang
menurut dia ”inlander”, yaitu orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara dan
karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan, ini yang berbahaya, anarkis.
Dalam suratnya kepada Rob Nieuwenhuys dia menyatakan, dalam kedudukannya
sebagai wartawan, dia akan berjuang mati-matian lewat tulisan-tulisannya, agar
Belanda, sampai kapan pun, kalau perlu sampai dengan terompet tanda kiamat ditiup
para malaikat, harus tetap mencengkeram Indonesia. Bangsa inlander ini, tegas
Coorvaben dalam suratnya, akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar
kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa inlander
akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi
bangsa anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan
bangsa ini sendiri.
Akan tetapi, Henky van Kopperlyk tidak habis pikir mengapa Willem Coorvaben
justru bukan hanya mengkhianati dirinya sendiri, tapi malahan menusuk sesama
bangsa Belanda dari belakang. Dia menusuk bangsanya sendiri bukan pada
jantungnya, tapi pada punggungnya. Coorvaben justru jatuh cinta kepada Imih,
perempuan pribumi asal Jawa Timur, dan akhirnya mengawini perempuan hina-dina
ini. Kawin resmi, bukan kawin bohong-bohongan. Kawin resmi, bukan kawin dengan
nyai, sebutan resmi gundik-gundik Belanda.
”Willem Coorvaben, binatang terkutuk itu, tidak lain hanyalah calon
penghuni neraka,” pikir Henky van Kopperlyk, bukan sambil bergidik, tapi justru
sambil tersenyum, seolah-olah habis memenangi sebuah pertandingan berbahaya.
Henky van Kopperlyk merasa menang, karena, sebetulnya, setiap kali dia
berhadapan dengan perempuan pribumi, jantungnya selalu berdegup-degup, dan semangatnya
untuk mengawini pribumi ini hampir-hampir tidak dapat dikendalikan. Dalam
kepalanya, hampir setiap hari, dia membayangkan mempunyai istri pribumi. Karena
setiap kali dia melihat perempuan pribumi, orangnya atau gambarnya, langsung
jatuh cinta dan ingin mengawininya, maka istri dia di kepala dia hampir setiap
hari berganti-ganti pula. Hari ini dia membayangkan punya istri pribumi asal
Krembangan, besok dia membayangkan sedang bercumbu dengan istri pribumi dari
Perak, lusa dia membayangkan sedang bergulat dengan istri pribumi asal
Mojokerto, atau mungkin Jombang, atau mungkin juga Sidoarjo.
Semua bayangan indah selalu membawanya kembali ke bumi tempat dia berpijak,
yaitu bumi nyata penuh penindasan. Henky van Kopperlyk adalah suami, tapi
istrinya, Anneke von Hubertus, anak saudagar kaya asal Tilburg, selalu siap
menginjak-injak kepala suaminya.
Sebagai seorang laki-laki yang menurut dirinya sendiri cerdik, tentu saja
Henky van Kopperlyk tidak kehabisan akal. Sekali tempo dia berhasil memperdaya
perempuan pribumi, dan memperlakukannya sebagai kuda tunggangan. Bagaikan
seorang joki gagah perkasa, dia tunggangi perempuan pribumi itu dengan gaya
naik turun, seperti gaya naik turunnya seorang joki benaran di atas kuda pada
pawai festival. Joki benaran pasti menengok ke kanan dan ke kiri sambil
melambaikan-lambaikan tangan, dan Henky van Kopperlyk menengok ke kanan dan ke
kiri dengan bangga, karena, inilah kebiasaannya, setiap kali dia berhasil
menjerat perempuan pribumi, di kiri kanannya pasti dia pasang cermin ukuran
besar.
***
Pagi itu, ketika cuaca Surabaya benar-benar cerah, Henky van Kopperlyk
datang ke kantor lebih awal, dengan gaya percaya diri, dan jalan agak
digagah-gagahkan. Bahkan, beberapa saksi mata menuturkan, sambil berjalan
menuju ke ke ruang kerjanya, Henky van Kopperlyk sempat menggumamkan lagu
”Penebang Pohon Tua”. Untuk mendirikan kincir-kincir angin, babat habislah
pohon-pohon tua. Kincir angin sumber kemakmuran, kincir angin sumber
ketenangan. Pohon tua hanyalah sarang burung-burung jahat, pohon tua hanyalah
rumah para iblis, pohon tua hanyalah persinggahan kelelawar-kelelawar besar
sebelum menjadi vampir. Babat habislah pohon tua, babat habislah pohon tua.
Gumam Henky van Kopperlyk benar-benar bersemangat.
Demikianlah, pagi itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk membabat
habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Alat-alat berat harus
didatangkan. Dalam waktu paling lama lima jam, pohon jejawi beserta seluruh
akar dan udara yang mengelilinginya, serta burung-burung jahat yang menghuninya,
harus sudah selesai.
Sebelum gergaji raksasa digerakkan, Henky van Kopperlyk naik ke kendaraan
berat, lalu berpidato. Suasana tenang, sunyi, senyap. Hanya kata-kata lantang
Henky van Kopperlyklah yang menyalak-nyalak. Alam tetap tenang. Tidak ada satu
burung pun yang terbang, tidak ada satu burung pun yang berkicau. Dan juga,
tidak ada satu burung pun yang tampak. Lalu Henky van Kopperlyk turun dari
kendaraan berat, memberi aba-aba: ”satu… dua… tiga!”
Mesin gergaji raksasa mulai meraung-raung.
Barulah ketika tangan-tangan raksasa gergaji akan menyentuh pohon jejawi,
dengan sangat mendadak angin berderak-derak ganas, dan sekian ratus burung yang
mula-mula bersembunyi dengan serentak beterbangan, sambil menjerit-jerit,
memuntahkan sumpah serapah. Dalam waktu yang sangat singkat, hampir semua
burung di seluruh Surabaya dan sekitarnya berdatangan dengan sangat cepat
sekali. Langit gelap, bagaikan mendung yang menggantung.
Lalu, bagaikan mendapat komando dari kekuatan gaib, sekian banyak burung
melayap mendekati Henky van Kopperlyk, tidak untuk memagut-magutnya, tapi hanya
untuk mengelilingi tubuhnya, sambil menjerit-jeritkan sumpah serapah.
Penebangan pohon jejawi gagal. Gubernur Jenderal di Jakarta memarahinya,
dan Gubernur Pantai Timur Jawa, berkedudukan di Surabaya, pura-pura
memuji-mujinya. Istri Henky van Kopperlyk, yang sudah didatangkan secara
sembunyi-sembunyi, seorang perempuan gendut dan berwajah berantakan, menertawainya
dengan bumbu kata-kata ”sejak dulu saya sudah tahu kamu goblok.”
Sebagai wali kota yang ingin menunjukkan kepandaian dan wibawa besarnya,
Henky van Kopperlyk berusaha keras untuk menutupi kelemahannya. Dia bersumpah
untuk mengguncang-guncang bumi dan langit sambil berseru-seru dalam hati:
”Inilah Henky van Kopperlyk, wali kota yang namanya akan dicatat dengan tinta
emas dalam sejarah kolonialisme Belanda!”
Benar juga. Hanya dalam waktu beberapa bulan Henky van Kopperlyk sudah siap
untuk melaksanakan gagasan besarnya: semua klub sepak bola Belanda di seluruh
Jawa dikumpulkan di Surabaya untuk bertanding memperebutkan Piala Gubernur
Jenderal. Hari dan tanggal pembukaannya sudah ditentukan, yaitu Minggu, 17 Juli
1927, tepat pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Acara pembukaan pun
dirancang dengan sangat teliti: tempat duduk Gubernur Jenderal, para gubernur,
para bupati, pawai drumband, paduan-paduan suara lengkap dengan lagu-lagu
marsnya, penyanyi-penyanyi, penari-penari, dan semuanya sudah siap.
Seluruh kota Surabaya dihiasi lampu pijar, gedung-gedung pemerintah
dibersihkan dan dicat baru, demikian pula semua sekolah, toko, rumah, dan
bangunan lain. Gedung-gedung klub Belanda, kolam-kolam renang untuk orang
Belanda, ruang tunggu khusus untuk orang Belanda di tiga stasiun kereta api
Surabaya, dipasangi papan dengan huruf-huruf besar: ”Pribumi dan Anjing
Dilarang Masuk”.
Tidak boleh ada satu acara pun yang gagal. Jangan sampai Gubernur Jenderal
menganggapnya goblok. Tidak boleh ada satu gubernur pun di seluruh Indonesia
yang tidak memuji-mujinya. Semua bupati harus bertekuk lutut memberi hormat
kepada dia. Henky van Kopperlyk adalah nama yang tidak boleh dipandang sebelah
mata oleh siapa pun, tidak pula oleh Anneke von Hubertus, istrinya.
Henky van Kopperlyk sadar perempuan bernama Anneke von Hubertus bukan hanya
berwajah berantakan, tapi juga berhati duri, congkak, selalu menganggap dirinya
benar, dan orang lain hanyalah kera tanpa otak. Ayahnya, Henricus von Hubertus,
di mana-mana berusaha meyakinkan, darah dalam tubuhnya darah Belanda tulen asal
Tilburg, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan darah Jerman.
Hubertus nama Jerman, tapi dalam darahnya justru mengalir kebencian terhadap
Jerman.
Di ruang tamu dan ruang kerja rumah Henricus von Hubertus terpampanglah
iklan rokok yang sudah dibesarkan, dan dibingkai dengan lapisan emas. Iklan
rokok merek Ogden. Dalam iklan ada gambar kapten JR Jellicoe RN, seorang kapten
kapal perang Inggris yang terkenal berani, dan terkenal pula sebagai perokok
berat. Kapten Jellicoe ini, tidak lain, adalah nenek moyang Jenderal Angkatan
Laut Inggris, yang dengan kapalnya, His Majesty Ship Centurion, mengobrak-abrik
angkatan laut Jerman dalam Perang Dunia I.
Henky van Kopperlyk insinyur tamatan Universitas Delft, muda, berambisi,
dan merasa tahu jalan paling baik untuk sampai ke puncak. Dia mengenal nama
Henricus von Hubertus sebagai saudagar sombong tapi kaya, tidak punya saudara,
keponakan, dan apa pun juga, kecuali istrinya yang raut wajahnya seperti orang
akan menangis, tapi tahu bagaimana memuaskan suaminya pada waktu malam. Anneke
von Hubertus satu-satunya anak Henricus von Hubertus, dan karena itu, tidak ada
orang lain yang dibenarkan oleh undang-undang untuk menerima harta karun
warisan kecuali Anneke.
***
Setiap hari, paling sedikit tiga kali, Henky van Kopperlyk berkeliling kota
mengontrol persiapan acara besar hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Dia sering
naik kuda dengan sikap digagah-gagahkan, diiringi oleh beberapa ajudannya. Di
tempat-tempat ramai dia memerintah kudanya berjalan perlahan-lahan bagaikan
dalam sebuah parade, sambil mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan
melambai-lambaikan tangan kepada khalayak ramai.
Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar ”Anjing dan Pribumi
Dilarang Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang
mencolok, atau tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya,
papan-papan ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok.
Kisah tentang Belanda kehilangan kemaluannya dan pengalamannya sendiri
dikerubuti sekian banyak burung membuat hatinya terbakar. Pribumi harus dihina,
dilecehkan, dan dipermalukan, sebelum mereka dibakar hidup-hidup.
Para bupati adalah pribumi, kendati bangsawan, bagaimanapun mereka pribumi.
Perintah langsung dari Gubernur Jenderal menegaskan, semua orang Belanda harus
berbuat baik kepada para bupati, dan harus mampu membuat mereka makin setia
kepada Belanda dan makin jijik kepada sesama pribumi. Henky van Kopperlyk akan
membuktikan bahwa para bupati nanti akan bertekuk lutut menghadapinya.
Sejak hari pertama perkawinannya, Henky van Kopperlyk sudah bertekad untuk
tidak mempertontonkan istrinya di depan umum, kecuali kalau terpaksa sekali.
Dia tahu orang-orang akan mengejek-ejek istrinya dan menganggap dia goblok
karena tidak mampu mencari istri yang pantas. Dan dia sadar orang-orang
mempunyai hak penuh untuk mengolok-olok istrinya karena memang wajah istrinya
berantakan, dan kalau berbicara kadang-kadang seperti anjing geladak sedang
menyalak. Demikianlah, pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal, Henky van
Kopperlyk datang ke lapangan sepak bola, seperti biasanya, tanpa istri. Bagi
pembesar-pembesar Belanda, datang ke acara resmi tanpa istri adalah perbuatan
bejat. Tapi semua tamu sudah mafhum, Henky van Kopperlyk tidak akan berani
mempertontonkan istrinya di depan umum.
Upacara pun dimulai. Drumband berjalan keliling lapangan. Anak-anak sekolah
Belanda berjalan dengan semangat membara di belakangnya. Berangkai-rangkai
mercon meledak-ledak di udara. Dua pesawat kecil pun berkeliaran ke sana
kemari, menyebarkan potongan-potongan kertas beraneka warna. Lalu,
pidato-pidato pun dimulai.
Akhirnya, tibalah acara yang amat penting bagi Henky van Kopperlyk. Bola
dipasang tepat di tengah lapangan. Bunyi terompet dan tambur menggetarkan
udara. Lalu, senyap. Henky van Kopperlyk berdiri dengan sikap gagah tidak jauh
dari bola. Pistol pertama meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk mengambil
ancang-ancang untuk menendang bola. Pistol kedua meledak. Senyap. Henky van
Kopperlyk makin siap menendang, menunggu pistol ketiga meledak. Begitu pistol
ketiga meledak, dengan penuh semangat Henky van Kopperlyk lari menuju ke arah
bola.
Nah, Henky van Kopperlyk makin mendekati bola, kemudian menyepak bola
dengan kekuatan penuh. Karena tali sepatunya entah mengapa kurang kencang,
bukan bolanya yang terkena tendangan. Justru sepatu Henky van Kopperlyklah yang
terlepas, lalu melayang di udara, terus melayang, seolah-olah ingin
menggedor-gedor pintu surga. Bola tetap berada di tempatnya semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar