Kue Gemblong Mak Saniah
Masdudin jengkel melihat istrinya terbahak sampai badannya
berguncang-guncang seperti bemo yang tengah menunggu penumpang. ”Apanya yang
lucu Asyura?”
Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh. Khawatir
makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat napasnya megap-megap kumat,
Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan membiarkan perempuan yang
rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Dia baru
mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang di
balik rumah tetangga sebelah.
”Bang!”
Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah.
”Sini!”
Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti
langkah istrinya ke ruang tamu.
”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura
bertanya ketika Masdudin tengah mengatur napas.
Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu
mengapa pagi itu, ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Saniah yang
biasanya menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Tidak setiap hari juga. Dalam
sepekan, dua sampai tiga kali Mak Saniah datang ke rumahnya.
”Syuraaaaa… Syuraaaaaaa… gemblong Neeeeeng!” Mak Saniah biasa memanggil
istrinya. Lalu tubuh rentanya duduk di teras rumah setelah meletakkan sebuah
panci besar berisi jajanan berupa kue gemblong atau kue unti.
Asyura tak pernah membiarkan Mak Saniah pulang dengan tangan hampa. Begitu
mendengar suara Mak Saniah, dia segera mengambil piring dan menjumpai Mak
Saniah di luar. Selembar uang Rp 5 ribu biasa diberikan Asyura kepada Mak
Saniah dan mengambil kue gemblong empat hingga lima buah serta unti dua sampai
tiga buah. Mak Saniah tak pernah menjual kue-kuenya lebih dari Rp 500 per buah.
Dengan uang Rp 5 ribu seharusnya Asyura bisa mengambil 10 buah kue. Namun, hal
itu tak pernah dilakukan Asyura. Dia selalu mengambil kue-kue secukupnya dan
membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Saniah. Sesekali Asyura juga memberikan
Mak Saniah lembaran uang sepuluh ribuan tapi mengambil jumlah kue yang sama
serta tak mengambil uang kembaliannya.
”Terima kasih banyak ya, Neng. Semoga rezeki Neng banyak, berkah, anak-anak
pada sehat, disayang laki, setia,” kata Mak Saniah selalu sembari menyelipkan
uang di balik lipatan kainnya (Mak Saniah semula biasa meletakkan uangnya di
balik alas kue dari koran bekas di dasar pancinya. Namun, kini tak pernah lagi
dilakukannya karena dia pernah kehilangan uang yang sudah dia kumpulkan sedikit
demi sedikit dari para pembeli).
”Lucu juga kalau nggak ada angin nggak ada hujan abang tiba-tiba kepingin
kue gemblong Mak Saniah,” kata istrinya. Masdudin melirik ke depan rumah, pada
tempias gerimis yang membasahi genting rumah tetangganya. ”Abang ngidam? Ngidam
istri kedua abang?”
Masdudin memalingkan wajah dari kerlingan istrinya. Bukan dia ingin
menyembunyikan sesuatu, tapi untuk membuang rasa kesal yang selalu dilakukannya
jika Asyura mulai agak merajuk. Belakangan, Asyura memang kerap melontarkan
sindiran serupa itu. Mungkin juga karena usia yang makin beranjak dan
garis-garis ketuaan yang kian ramai. Padahal Asyura pun tahu, Masdudin takkan
mungkin punya istri lebih dari satu. Dia tak cukup punya modal. Tampang
pas-pasan. Kantong pas-pasan. Keberanian pun pas-pasan.
Tapi, pertanyaan itu pun wajar dilontarkan Asyura. Sejak pertama kali Mak
Saniah menjajakan kue gemblong ke rumahnya hingga kini, gemblong Mak Saniah ya
begitu-begitu saja. Bentuknya sama gepeng seperti
kue-kue gemblong lainnya, agak besar dan agak lembek. Kue gemblong Mak Saniah
juga tak sekering, serenyah, dan seenak gemblong yang pernah dibeli Masdudin
ketika dia dan keluarganya jalan-jalan ke Taman Bunga di kawasan Puncak tahun
lalu. Jadi, terasa ada yang aneh jika kini dia merindukan kue gemblong Mak
Saniah.
”Bang Masdud,” Asyura mengagetkan suaminya. ”Ada apa?”
Masdudin jadi sedikit serba salah.
”Aku cuma…” Masdudin menyahut sambil coba mencari jawaban yang pas. ”Aku
cuma merasa aneh saja. Belakangan kan Mak Saniah tak pernah datang lagi. Dia
kan sudah sangat tua. Jangan-jangan….”
”Sudah meninggal maksud Abang?”
Masdudin menyambar permen di atas meja. Sisa jajanan anaknya. Ada sedikit
rasa lega di dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya.
Usia Mak Saniah memang sudah sangat tua bahkan ketika beberapa tahun lalu
dia mulai menyambangi rumah Masdudin. Seluruh tubuh putih wanita tinggi besar
itu sudah dipenuhi keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan beban
panci berdiameter hampir 50 cm berisi kue gemblong dan unti yang dijajakannya.
Langkahnya makin terpiuh-piuh. Itulah yang membuat Masdudin atau istrinya tak
pernah bisa membiarkan Mak Saniah pergi dari rumahnya tanpa menjual lima hingga
enam kue jajanannya. Padahal, kue-kue itu pun hanya dimakan satu-dua buah.
Anak-anaknya lebih suka makan panganan lain. Kue-kue gemblong Mak Saniah dibeli
hanya agar hati Mak Saniah senang.
”Belakangan Mak Saniah memang makin jarang datang. Aku dengar dia sudah
sakit-sakitan,” kata Asyura.
”Tapi ya memang kasihan juga orang setua dia masih juga berjualan,”
Masdudin menimpali.
Asyura lalu bercerita tentang Mak Saniah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya
tak pernah dia dengar. Bahwa Mak Saniah adalah wanita dengan tujuh anak. Bahwa
anak-anaknya pun sudah pada ”jadi orang”. Bahwa Mak Saniah memilih tetap
mendiami rumah sederhananya di kampung yang bertetangga dengan kampung tempat
di mana Masdudin dan keluarganya tinggal. Bahwa Mak Saniah, setelah suaminya
wafat belasan tahun lalu, memilih menghidupi dirinya dengan berjualan kue
gemblong buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan hidup tanpa harus
merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya.
”Jadi, anak-anak Mak Saniah sebetulnya sudah melarang dia berjualan. Tapi
Mak Saniah tetap membandel,” kata Asyura menutup cerita panjang lebarnya.
Masdudin juga tak pernah meminta istrinya untuk mencari tahu bagaimana
kabar Mak Saniah saat ini, tapi pada hari Minggu berikutnya keduanya sudah
berada di depan rumah Mak Saniah setelah berusaha mencari dengan bertanya ke
sana kemari. Dari bertanya itu pula keduanya tahu bahwa Mak Saniah kini memang
sudah tak lagi bisa memaksakan diri untuk berjualan. Beragam penyakit berkumpul
dan menyatu dalam tubuh rentanya. Mulai dari pikun, rematik, pengapuran, darah
tinggi, sesak napas, dan mata yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Cuma
kuping Mak Saniah yang masih berfungsi dengan lumayan baik.
Dari pembaringan Mak Saniah menyambut kedatangan Masdudin dan Asyura
setelah seorang cucunya, seorang gadis berusia 20-an tahun, mengantarkan mereka
masuk ke kamar Mak Saniah.
Begitu masuk ke ruangan itu Masdudin dan Asyura membaui wewangian asing
tapi menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, tampak sangat
terawat. Tak banyak benda-benda berserakan. Tempat Mak Saniah berbaring juga
sangat bersih.
”Ya Allah mimpi apa ya Mak semalam? Elu tahu rumah Mak, Neng?” sambut Mak
Saniah. Masdudin melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Saniah.
”Ya, kita kan tetangga, Mak. Tetangga kampung. Nggak jauh. Cuma satu kali
naik mobil angkutan.”
Mak Saniah tersenyum tipis. ”Ya, memang nggak jauh ya, Neng. Makanya Mak
pun kalau jualan sampai ke rumah Neng Syura….”
Tanpa diminta, gadis yang tadi mengantarkan Masdudin dan Asyura sudah
menyuguhkan dua gelas teh panas dengan sekaleng biskuit.
”Ayo, minum dulu dah, Neng. Makan tuh biskuitnya. Cuma itu yang ada. Mak
sudah nggak sanggup bikin kue gemblong,” ujar Mak Saniah begitu baki diletakkan
di atas meja.
Masdudin dan istrinya bertukar pandang dan berbagi senyum.
”Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan, Neng.” Mak Saniah
melanjutkan kalimatnya sambil menggenggam tangan Asyura yang kini sudah duduk
di sisi Mak Saniah di tempat tidur Mak Saniah. ”Bukannya apa-apa, Neng. Mak
ingeeeet terus sama orang-orang yang suka beli gemblong Mak, terutama Neng
Asyura ama laki Neng Asyura yang nggak pernah nggak beli gemblong Mak. Kalau
orang sudah cocok kan susah ya, Neng. Biar banyak makanan laen, tetep yang
dicari gemblong-gemblong Mak Niah juga. Iya kan?”
Masdudin tersenyum sambil melempar kerling kepada istrinya.
”Betul, Mak. Gemblong Mak Niah memang beda dari yang lain,” Asyura
menimpali, menahan senyum. ”Manisnya pas, lembeknya pas, gedenya pas, terus
nggak mahal.”
Wajah Mak Saniah tampak cengar. Berbinar. ”Ya, Mak mah kalau jualan
emang nggak cari untung gede-gede. Yang penting ada untungnya biar sedikit.
Cukup buat makan. Buat apa Neng harta dibanyakin. Amal ibadah yang harus
dibanyakin. Harta mah nggak dibawa mati.”
Dua minggu berikutnya, pada Minggu yang cerah, Masdudin mendengar suara
seseorang di luar.
”Saya Cindi, Pak,” kata gadis yang berdiri di hadapan Masdudin begitu
dia membuka pintu. ”Saya cucu Mak Saniah yang kemarin mengantar Bapak sama Ibu
ketemu Mak.”
”O, iya… iya… saya ingat. Kan baru kemarin,” kata Masdudin seraya
mempersilakan tamunya masuk. Dari kamar belakang Asyura muncul dan
memperlihatkan kekagetannya.
”Ada apa ini?” Asyura langsung bertanya. ”Apa ada kabar buruk tentang Mak
Saniah?” lanjut Asyura. Kali ini, pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Namun,
ada debar-debar di dadanya.
Cindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada
Asyura. ”Ini ada titipan dari Mak. Katanya minta disampaikan kepada Bu Asyura.
Karena ini amanat, jadi buru-buru saya sampaikan.”
”Surat apa ini?” Asyura bertanya.
”Nggak tahu, Bu. Saya juga nggak bertanya kepada papa yang minta saya
mengantarkannya ke sini sesuai pesan Mak.”
Asyura menimang-nimang amplop itu. Adakah Mak Saniah mengembalikan
uang-uang yang selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berutang?
Rasanya tak mungkin.
”Kabar Mak Inah gimana?” Masdudin tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk
mendengar kabar Mak Saniah setelah beberapa saat sama-sama terdiam.
”Mak sudah meninggal,” jawab Cindi segera. Ia menatap wajah Masdudin dan
Asyura bergantian.
”Innalillahi….” Masdudin dan Asyura berucap hampir berbarengan.
”Meninggalnya hari Jumat kemarin,” lanjut Cindi.
Masdudin dan Asyura saling berpandangan. ”Kenapa kami tak dikabari?”
Masdudin lebih dulu bersuara.
Cindi mengulas bibirnya dengan senyum. ”Maaf… maaf… kami memang kepikiran
untuk memberi kabar. Tapi kami belum tahu ke mana harus memberi kabar. Rumah
Bapak dan Ibu pun baru saya coba cari hari ini sesuai petunjuk Mak waktu masih
hidup. Itu pun karena memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak
mungkin menahan amanah, apalagi bagi orang yang sudah wafat. Alhamdulillah
ketemu.”
Membuang napas sekaligus rasa menyesalnya karena tak bisa menghadiri
prosesi pemakaman Mak Saniah, Asyura lalu ingat cerita Rosa, putri bungsunya.
Hari Jumat lalu, kata Rosa kemarin, melihat Mak Saniah duduk di teras rumah
mereka dengan panci kue gemblong tergeletak di sisinya.
”Dia nggak bilang apa-apa, bunda. Diam aja seperti patung. Terus aku ke
dapur untuk mengambil piring karena ayah nggak ada dan bunda di kamar mandi,
Aku kan ada uang dua ribu untuk beli kue gemblongnya. Tapi, waktu aku ke depan
lagi, eh Mak Saniahnya udah nggak ada. Aku cari-cari nggak ketemu. Padahal kan
dia jalannya lamban. Tapi, aku kejar sampai ke depan juga nggak ketemu. Ya
udah, aku nonton TV lagi,” kata gadis berusia lima tahun itu.
Asyura ingin menyampaikan cerita itu kepada Cindi, tapi dia membatalkannya
karena Cindi sudah buru-buru mohon diri untuk pergi. Asyura dan Masdudin
melepas kepergian Cindi dengan ucapan terima kasih berulang-ulang.
”Apa isinya, bunda?” Masdudin mengambil amplop yang masih tergeletak di
atas meja.
”Aku juga penasaran. Cepat buka, Bang,” sahut Asyura.
Dengan cepat Masdudin merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua
mereka membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Saniah: ”Cara Bikin Kue
Gemblong Mak Saniah”.
Tanah Kusir, 30 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar