Redi Kelud
Aku lahir di tengah keluarga yang berbeda. Bapakku tunawicara, ibuku suwung
kalau kambuh jadi begitu menakutkan. Marno, kakak pertama, suka berendam
seharian. Kalau dilarang berendam, paling tidak ia mandi empat kali sehari,
pukul 8, 11, 2, dan 4.
Kakak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri, tak mau memandang
jika diajak bicara. Ia hanya mau bersitatap denganku bila aku menanyakan sedang
apa ia dengan bulpennya itu. Ia senang mencoret-coret bukunya mirip gambar,
mirip angka, mirip tulisan, atau tak mirip apa pun.
Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya
itu matanya selalu lapar setiap melihat lelaki muda. Jika ada lelaki bertamu,
ia segera bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang
lalu menggelayut manja.
Kakak terakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. Ia pendiam tapi jangan salah
sangka, ketika sedang marah, dunia jadi kiamat! Semua barang dilempar,
digulingkan, dipecahkan, ditumpahkan. Lantai dicakar-cakar, mengamuk. Lalu
bapak dan aku dibantu tetangga segera menangkap kedua tangan dan kakinya untuk
menenangkan. Butuh paling tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai
dia tenang kembali.
Namaku Redi. Kata ibu, ketika aku lahir terdengar ledakan gunung meletus
lalu turun dengan derasnya hujan abu. Segala daun dan pohon, tegalan, rumah,
kali, semuanya kelabu. Karena itu aku diberi nama Redi Kelud, Gunung Kelud,
artinya. Nama yang tak lazim sebab umumnya bayi perempuan diberi nama yang
indah seperti: Dewi, Astrid, atau Seruni, begitulah kira-kira. Namun aku tak
berkecil hati, dengan nama itu aku merasa kuat. Kuat seperti gunung.
Suatu saat ada tamu datang menawarkan pengasuhan pada kami. Kami semua?
Tentu tidak, kata Si Mas tamu. Katanya, anggaran lembaga sangat terbatas jadi
baru satu yang bisa ditampung. Baru satu, nanti yang lain bisa menyusul? Ya,
nanti kita lihat situasi keuangan dulu. Kita lihat situasi, bukankah itu tidak
pasti. Sahutku sebagai juru bicara keluarga ini. Walau aku terkecil, aku yang
selalu maju berhadapan dengan tamu karena yang lain pasti tak nyambung, diam
mematung, ngompol, marah, atau ketakutan di kamar mandi, berendam.
Si Mas tamu diam, namun kulihat sorot matanya berubah.
”Jangan kau berpikir buruk dan jahat!” tegasku.
Dia kaget, ”Apakah kau bisa membaca pikiranku?”
”Tentu tidak! Aku cuma ingin berkata itu saja!”
”Tapi kenapa kau bisa mengatakan hal itu?”
”Aku tak tahu, yang kutahu tatapan mata Mas tiba-tiba seperti silet.”
”Kau anak yang cerdas sekaligus mendapat anugerah luar biasa.”
”Apa maksudmu dengan berkata demikian!”
”Aku tak bermaksud yang bukan-bukan. Aku merasa
tentulah karena kecerdasan dan kebaikan hatimu, kau bisa menentukan mana yang
terbaik bagi keluargamu. Kau bisa memilih salah satu keluargamu yang kau
titipkan untuk kami rawat dan sembuhkan.”
”Kami tak perlu bantuan dan kami tidak sakit, toh
selama ini, kami berkecukupan. Bapak bekerja di ladang. Ibu beternak. Aku
menjual hasilnya ke pasar.”
”Bukan begitu. Memang semuanya baik-baik saja. Tapi
bagaimana dengan kakak-kakakmu? Bukankah sejak dulu
hingga sekarang mereka hidup begitu-begitu saja.”
”Kau datang seolah-olah paling tahu yang baik buat kami! Aku tak mengerti
pikiranmu, yang aku tahu kami senang karena kami bersama.”
”Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau baru berumur 10 tahun.”
”Aku suka membaca,” jawab Redi sekenanya.
”Apa yang kau baca?”
”Hanya koran-koran lusuh, itu pun bau pesing Kakak Astrid dan isinya
hanyalah kabar kejahatan. Sungguh menyebalkan!”
”Lalu dari mana kau bisa berkata demikian?”
”Aku keceplosan.” Redi mengangkat bahu. Si Mas itu tak tahu bahwa Redi
memiliki sayap di kedua bahunya. Siapa pun tak ada yang tahu kecuali
keluarganya. Awalnya seperti daging kecil di bahu, lama kelamaan seiring tubuh
Redi yang membesar daging itu juga tumbuh, dan sekarang mirip sayap walau hanya
sepanjang telapak tangan Redi. Sayap itu selalu tertutupi baju. Kalaupun ada
orang lain yang tahu, tak bakal mengira bahwa itu sayap. Orang pasti berpikir,
Redi cacat karena keluarganya juga cacat. Mungkin dikira punya empat tangan.
Tapi yang jelas berkat sayap itu Redi jadi cerdas.
”Apakah itu artinya kau menolak tawaran kami?”
”Ya, tentu saja. Tidak ada alasan kami menerimanya, kan? Kecuali, jika kami
semua kalian tampung, itu masuk akal.”
”Tapi kami tak ada anggaran untuk itu. Kami juga harus menampung orang lain.”
”O, ya aku mengerti.”
Lalu Si Mas itu pamit dengan kepala yang berat.
***
Redi berlari ke lorong terang ketika semua tengah tertidur. Si Mas tamu
meninggalkan tujuh nasi bungkus dan kekenyangan membuat semua keluarganya
pulas. Ia duduk di bongkahan batu hitam lalu melepaskan bajunya. Mengelus dua
sayap di bahunya yang berwarna abu-abu, mirip abu Kelud yang meletus 10 tahun
lalu.
Kedua sayap itu ia gorok dengan belati kecil.
”Aku tak suka ini. Aku tak mau ada sayap di tubuhku. Aku bukan burung!”
”Jangan kau lakukan itu, teman.” Muncul seorang lelaki cebol berkuping
panjang dan bentuk mulutnya tegak vertikal. Matanya juling, dengan alis tebal
yang terangkat.
”Kenapa? Bukankah ini milikku, aku bisa melakukan apa pun pada milikku.”
”Tentu kau punya hak. Tapi untuk apa?”
”Sudah aku bilang, aku manusia, bukan burung!” Segera ia potong dua
sayapnya itu dengan belati. Darah merembes dari bahunya. Menetes, menetes lagi
tak berhenti-henti, mengalir, terus mengalir hingga meluber di lantai.
”Kau hanya mengotori lantaiku saja!”
”Nanti aku bersihkan!”
”Kau memang selalu buat masalah! Lihat, celanaku jadi basah. Sumbat darah
di bahumu itu. Pasang kembali dua sayapmu!”
”Jangan kau usik aku dengan serapahmu yang tak berguna itu. Biarkan aku meresapi apa yang sedang kurasakan. Aku sudah lama mengharapkan
hal ini.” Redi memandang dua sayapnya yang telah hanyut bersama darah itu.
”Lihat, darahku mengalir keluar dari lorongmu ini. Jadi aku tak perlu
membersihkan lantaimu!”
Tubuh Redi jadi tak biasa, rasanya demikian aneh. Kepalanya pening.
***
Orang-orang cemas. Hujan deras sejak kemarin mencapai batas ambang waduk.
Hanya tinggal menghitung waktu banjir segera datang. Orang-orang berlarian
menyelamatkan harta benda. Seorang tetangga bergegas ke rumah Redi.
”Cepat pergi, kota akan segera tenggelam. Waduk telah meluap.”
”Kami menunggu Redi. Bukankah kau tahu, ia sejak semalam tak pulang. Kau
juga mestinya tahu bahwa kami selalu bersama-sama, kemana pun pergi dan tak
pergi kami selalu bersama-sama. Pasti anak itu sedang mengunjungi temannya yang
gila itu. Sejak dulu aku bilang, Si Cebol itu gila. Gila karena semua
keluarganya mati dilempar ke Kali Brantas waktu huru-hara tahun 65 dulu. Si
gila itu malah dianggapnya wali. Wali tengik! Tidak pernah di pesantren, tidak
pernah naik haji. Tak mungkin bisa jadi wali,” terang ibu Redi.
”Ya sudah, kok jadi ngelantur. Yang penting aku sudah
memperingatkan. Kami mau ke atas gunung.”
”Jangan ke Kelud!”
”Kenapa?”
”Berbahaya.”
”Aku tak percaya. Kau hanya berseloroh!”
Perempuan itu lalu menggerutu. Terlintas di pikirannya untuk pergi tapi
bukankah selama ini mereka bisa bertahan dalam kebersamaan.
Tiba-tiba datang mobil Si Mas, ”Ayo cepat! Kami tinggal mengangkut kalian,
semua telah mengungsi.”
Ibu Redi mengumpat-umpat tak karuan. Tangannya mengusir pergi lalu
memaki-maki sekenanya. Berteriak-teriak, rambutnya ia jambak, lalu terduduk
dengan kaki ia tendangkan pada apa saja. Ia mengamuk jika ada perang dalam
pikirannya.
Tak lama kemudian Redi datang bersama Si Cebol. Darah masih menetes dari
bahunya. Bau anyir seketika menusuk hidung namun serentak hilang karena tubuh
Si Cebol tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Wangi dan legi. Ratusan kupu-kupu
dan lebah mulai mengitari Si Cebol.
”Kenapa kalian tak pergi?” tanya Si Cebol.
”Kami menunggumu, Redi.” Jawab ibu Redi yang mulai tenang.
”Biarkanlah aku di sini,” jawab Redi.
”Kalau kau di sini semua juga di sini. Tapi kenapa dengan bahumu?”
”Aku tak-apa-apa, Ibu.”
Tiba-tiba Si Ibu ketakutan. Redi baru tersadar bahwa ibunya bakal kumat
jika melihat darah.
”Ibumu terjun mengejar jasad kakekmu di Kali Brantas itu, Redi. Ia berenang di air penuh darah itu….”
Redi terpaku.
”Redi, kau tenangkan dulu ibumu, aku melihat situasi dulu,” lanjut Si
Cebol.
Si Cebol diam sebentar lalu tubuhnya terangkat perlahan-lahan. Kini ia
berada jauh di atas Redi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mengikuti. Dari matanya
tampak banjir telah menenggelamkan desa di depan. Airnya berwarna merah. Ia
sejenak mengamati itu, lalu turun.
”Redi, jernihkanlah pikiranmu. Kau tahu, banjir itu berwarna merah pasti
dari darahmu yang terus menetes sejak tadi. Lihatlah ibumu, ia tak tahan
melihat darahmu. Berdamailah, Redi. Terimalah kau seperti adanya. Sayap itu
anugerah dari Tuhan. Kau adalah manusia seberapa pun kau berbedanya dengan
orang-orang itu. Redi, kau tahu aku tak sanggup membendung banjir jika berwarna
merah. Aku bisa kalap. Ingatan itu tak bisa kulupa….”
Untuk kali pertama, Redi melihat Si Cebol menitikkan air mata. Ibunya
dilanda ketakutan. Ia tercenung, lalu mulutnya menyedot udara, seketika dua
sayapnya tertarik lalu segera ia pasang. Darah tak lagi menetes, warna merah di
kejauhan telah tergulung oleh coklatnya air bah dari waduk.
Si Cebol perlahan-lahan naik lalu jempolnya ia tiup. Tiba-tiba, perlahan
namun pasti, jempol itu menggelembung, membesar. Tangannya memanjang dan
menjadi raksasa. Lalu dengan cekatan ia membuat gorong-gorong ke utara, ke arah
lereng Gunung Kelud. Sebenarnya ia tahu gunung itu telah gundul, dan itu
artinya tak semua air bisa dibelokkan tapi memang tak ada pilihan lain.
Matanya tak jeli, para penduduk ada di sana….
***
Banjir telah redam dengan kematian ratusan jiwa. Orang-orang telah pergi
seperti ribuan batang pohon-pohon hutan yang digotong ratusan truk.
Redi bersedih telah kehilangan semua tetangganya. Ia selalu teringat pada
mereka yang telah berbuat baik pada keluarganya. Ia terbang ke lorong terang
hendak mengaduh pada Si Cebol. Solo, 4 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar