Obsesi
Kamu pikir aku tahu bentuknya seperti apa, mengingat kini aku menggelepar
ingin bebas dari cengkeramannya. Tapi aku tak bisa lepas; terseret jauh ke
dalam rongga hitam yang mengisap raga dan jiwaku secara paksa, lebih kelam dari
mimpi burukmu, lebih merah dari kucuran darahmu.
Kamu takkan mengerti. Tak ada orang yang mau
mengerti. Sudah, jangan dengarkan celotehanku ini. Toh, semua orang
sudah berhenti mendengar—kecuali Dr Pana.
Dalam evaluasinya, Dr Pana menyimpulan bahwa aku menderita penyakit manik
depresif ringan, yang berarti emosiku terus berubah-ubah, tak konstan. Mood Swing namanya,
apalah. Terserah. Menurutku emosi ya emosi. Nyata. Mendera. Dr Pana tak
mengerti aku. Sama seperti kamu. Berhentilah menceramahiku.
Aku berjalan mondar-mandir di kamar tidurku, di sebuah unit apartemen di
Menara Tiga yang menghadap ke jalur arteri ibu kota. Hujan turun deras sejak
sore tadi, butiran air terus menghantam jendelaku, satu demi satu, menapakkan jejak
bening.
Ibu berkali-kali menelepon, berusaha menenangkanku, takut aku melakukan
sesuatu yang tak diinginkan, sesuatu yang bodoh, tergesa-gesa, ceroboh. Beliau
bercerita kepadaku perihal lelucon yang didengarnya di pasar minggu lalu, agar
aku tergelak, lupa sesaat—tapi aku tak pernah tertawa jika beliau berusaha
membuatku terkekeh.
Leluconnya membosankan. Sudah kudengar sebelumnya. Tak ada yang lucu di dunia ini. Habis sudah tawa yang dulu terpendam dalam
dada, kering tak bersisa. Kamu takkan mau tahu. Aku lelah menjelaskan semua
ini. Aku mencoba untuk duduk, tapi tak bisa. Aku harus terus bergerak.
Saat kuangkat gagang telepon, jemariku bergetar. Kutatap jajaran tombol
numerik yang ada di pesawat telepon. Lima jam telah berlalu sejak terakhir aku
menghubunginya. Dia pasti sudah pulang ke rumah sekarang.
“Halo?” Nah itu dia! Shhhhh… “Halo?”
Kutekan tombol flash.
Kamu dengar suaranya barusan? Dia menyapaku. Terus terang, aku tak perlu
banyak. Sapaan ringan atau desah napasnya saja sudah cukup. Kini dunia tampak
lebih baki, stabil, indah; gambaran wajahnya memenuhi kepalaku, meninggalkan
tapak-tapak hasrat dalam tubuhku, dan dengan girang kusambut kebahagiaan ini. Telingaku
tak mencurangiku.
***
Namanya Kemarau, seperti nama musim. Dia adalah wanita tercantik yang
pernah hadir alam hidupku. Matanya berwarna hitam-kecoklatan, dan saat dia
tertawa matanya menari menggodaku.
Kemarau paling senang menghabiskan waktunya di sebuah vila milik
keluarganya di Sukabumi, di mana dia bisa menunggang kuda dan berenang di danau
tenang. Aku masih ingat. Dia suka rasa buah ceri yang masih setengah matang,
gemar memetiknya langsung dari pohon tanpa dicuci terlebih dahulu.
Katanya, sebisa mungkin dia ingin menceraikan diri dari kehidupan di kota
besar dan kembali ke alam natural. Di Sukabumi, ia punya kebiasaaan bangun
pukul 5 pagi dan pergi berjalan kaki menyusuri perkebunan. Dia ingin sendiri.
Aku masih ingat.
“Apa kamu masih mencintainya?” tanya Dr Pana di salah satu sesi pertemuan
kami/ Tubuhnya yang tambun bersandar pada punggung kursi yang dilapisi bahan
kulit, kakinya bertumpu di sudut meja yang tersusun oleh kayu mahoni. Kedua
tangannya terekat dalam posisi berdoa di atas perutnya yang buncit.
Aku menatap jauh, ke luar jendela kantor Dr Pana yang terletak di gedung
perkantoran bertingkat empat di area Kningan, melewati hamparan taman kecil di
bawah sana. Jantungku berdetak cepat, secepat langkah kaki yang kubiarkan
berlari dalam imajinasi, melampaui kutub-kutub dunia.
“Entahlah.” aku berbohong. Masih banyak yang ingin kusampaikan, jauh lebih
banyak.
“Apa kamu rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya kembali?” lanjut Dr
Pana seraya melepas kacamatanya, lalu menggunakan jempol dan jari telunjuknya
menekan titik di antara kedua mata.
Pertanyaan itu tidak masuk akal. Sejauh mana pengabdian cinta bisa
dikategorikan sebagai pengorbanan? Aku rela memberikan hidupku. Menggabungkan
dua benua yang dipisahkan lautan luas. Memindahkan gunung. Kelaparan. Tapi,
tidak sekarang. Tidak sejak Kemarau melaporkanku ke polisi atas dasar gangguan
jiwa.
Aku tak menjawab. Dr Pana mencatat sesuatu di buku catatannya.
***
Kami teman dekat, atau setidaknya aku dan Kemarau pernah jadi teman dekat.
Katanya aku adalah pria paling baik yang pernah dia temui; dan dia bersyukur
karena tak sengaja bertemu denganku di sebuah toko DVD bajakan, saat sedang
memburu film-film teranyar. Aku menyapanya, karena parasnya mengingatkanku akan
temanku dulu di sekolah dasar. Kami berkenalan.
Dulu aku masih berprofesi sebagai seorang dokter umum. Setahun sebelumnya,
aku baru saja lulus dari universitas kedokteran, dan aku punya banyak mimpi
untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Jika kamu lihat tanganku saat itu, kamu pasti tak menyangka. Jemariku tak
pernah bergetar sedikit pun. Diam, seperti batu. Aku tak mengenal rasa takut.
Kemarau mengagumi cita-citaku untuk menolong orang, dan sesekali dia
membandingkan perjalanan hidupku dengan kisah orang suci dan pahlawan rakyat
yang pernah dia dengar selagi kanak-kanak.
Kuyakini dia baha aku sama bejatnya dengan sebagian besar laki-laki yang
dia kenal. Kemarau mengangguk, tapi kemudian memberiku nama panggilan “Santo”
yang lekat hingga sekarang.
Di penghujung musim hujan tahun itu, kami berbaring bersebelahan di atas
hamparan rumput segar di belakang vila keluarganya di Sukabumi. Punggung kami
bersentuhan dengan permukaan tanah. Wajah kami berhadapan dengan langit senja.
Dua gelas sirop dibiarkan kosong di samping kami, berikutnya keranjang buah dan
makanan kecil yang setengah isinya telah kami santap.
Menjelang malam, Kemarau menunjukkan jarinya ke arah konstelasi bintang
yang dikenalnya dari pelajaran astronomi di kampus. Ia tersenyum mendapati bentuk gugus bintang yang menyerupai kepala botak.
“Itu pamanku, Om Lingus,” bisiknya sambil tertawa. “Rambutnya tak pernah
tumbuh lagi sejak ia berusia dua tahun.”
Sesuatu di dalam tubuhku bereaksi mendengar suaranya. Aku menoleh ke
arahnya. Kemarau terdiam bisu.
Kupegang tangannya, lalu aku berguling menyamping hingga tubuhku berada di
atasnya. Wajahnya mendadak dipenuhi teror, berubah merah, berat tubuhku
mengimpit gejolak yang tumbuh di dada. Persahabatan kami berubah menjadi
sesuatu yang lain, berbeda. Langit menjadi saksi kami.
“Aku baru makan bawang putih tadi,” akunya malu. Kemarau berusia 20 tahun
dan setiap inci tubuhnya memancarkan cahaya hidup yang tak pernah redup. Aneh
rasanya mendapati wajah Kemarau memerah karena malu. “Mulutku bau,” lanjuntnya,
menahan agar bibirnya tidak terbuka terlalu lebar.
Aku tak peduli. Kudekatkan wajahku dengannya. Pipinya hangat ketika
bersentuhan dengan pipiku, ketika kukecup pucuk hidungnya, dan kurasakan dia
menahan napas. Jika ia masih ingin memberi alasan lain, aku takkan
mendengarnya. Dia tahu itu.
“Lepas napasmu,” kataku, menyentuh sudut bibirnya. “Aku tak peduli.”
Pasrah, dia melepas napasnya; kuhela bau bawang putih yang keluar dari
mulutnya sama seperti kuhela ciuman perawannya. Dia tak pernah mengakuinya
kepadaku, tapi aku adalah yang pertama. Aku tak bisa membuktikannya, tapi aku
bisa merasakannya.
***
“Kamu harus bisa melupakan dia, Santo,” nasihat Dr Pana, menyilangkan
kakiknya yang tebal dan gemuk, menatap jauh ke dalam mataku. Itu adalah hal
terbodoh yang pernah ia sampaikan kepadaku, seolah aku tak tahu, tak sadar, tak
mau tahu. Aku berserah pada kursi tempatku duduk, membiarkan tubuhku yang
menggumpal di sana, seperti orang yang baru saja dipaksa berlari marathon dan
kini lelah bukan kepalang, “Cobalah pergi keluar dengan teman-teman kerjamu,”
tambah Dr Pana.
Kucoba
main tenis, kucoba main video
game. Kucoba berjalan jauh mengelilingi kompleks perumahan. Kucoba
merokok, kucoba marijuana. Aku menenggak alkohol di bar umum dan menggauli
gadis-gadis murahan untuk semalam. Kucoba berakting, kucoba memecahkan
teka-teki matematika. Tadinya aku ingin mencoba berenang, tapi takut tenggelam.
Akhirnya
aku duduk di bangku taman dan menatap matahari terbenam.
***
Saat ini
leawt pukul 02.00 pagi dan mataku tak mau terpejam. Jika kesunyian bisa
membunuh, dalam waktu dekat aku pasti sudah mati. Hampa ruangan dengan cepat
digantikan oleh gumaman bernada tinggi yang datang dari setiap sudut ruangan,
membuat bulu kudukku berdiri. Kudengar napasku berburu, mencari bayang-bayang
masa lalu, mengembara di alam gelap dan terpuruk berpapasan dengan sesal.
Hari esok adalah satu-satunya harapanku. Matahari akan bersinar lagi. Aku akan hidup sehari lagi.
Ini bentuk yang kulihat dari tempatku berbaringl sebuah bola besar berpijar
terang membawa petaka, terjatuh dari kegelapan di atas sana, pijarannya panas
membakar kulitku, memicu amarah, benci, dan duka.
Kutunggu kesempatan untuk menekan nomornya lagi, dan itu saja sudah cukup.
Itu lebih dari cukup.
Obsesi, permainan yang tak ada habisnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar