Pilihan Sastri Handayani
|
Begitu Sastri selesai
membaca berita dan keluar dari studio, Barbara juga keluar dari cubicle—ruang
operator tempat Barbara sebagai produser mengawasi karyawan yang bertugas
menyiar—dan menyambut Sastri dengan tersenyum.”
”Sastri,”
katanya dengan suara lembut. Nama Nicosia harus dibaca dengan tekanan suara pada ”si”
bukan pada ”co”. Jadi Nicosia dibaca Nico’sia bukan Ni’cosia.
”Sorry for the mistake, Barbara,”
Sastri menyahut.
”Ok. No
problem,” sahut produser yang berasal dari Australia itu.
Kemudian
kedua perempuan itu melangkah bersama, Barbara ke kamar kerjanya dan Sastri ke
ruang kerja para broadcaster. Rekan-rekan Sastri tampak sibuk mengetik bahan
program masing-masing di ruang kerja itu. Mereka disebut broadcaster bukan announcer, karena tugas
mereka bukan semata-mata menyiar, tetapi juga menyunting, mewawancara, mencari
bahan-bahan dari perpustakaan yang akan mereka rangkum untuk program
masing-masing, menyampaikan laporan pandangan mata, memperkaya berita dari yang
diterima dari pusat pemberitaan (news
room), bertugas keluar kota dan berbagai tugas lain yang menyangkut
siaran radio.
Begitu
Sastri membalik-balik bahan-bahan tertulis untuk acara mingguannya ”Arts in
Britain”, Colin, kepala seksi, muncul di pintu masuk dan memanggil Sastri ke
kamarnya.
”Sebagai
orang yang besar perhatiannya terhadap sastra dan teater tampaknya kamu akan
mendapat kepercayaan melakukan tugas yang tidak ringan dari atasan kita.”
”Mr. Hugh House?”
”Bukan”
”Lalu siapa?”
”Kepala
Bagian Timur Jauh, Harold Dickens.”
”Tugas
apa, Colin?”
”Saya
tidak tahu. Tapi ada hubungannya dengan peningkatan persahabatan antara kedua
negara, negeri ini dan negeri Anda. Juga ada kaitannya dengan pameran industri
negara ini di Jakarta.”
”Oh, goodness.”
”Mengapa?
Senang?”
”Tidak
malahan takut”
”Takut?”
”Boleh
dibilang begitu tetapi juga senang.”
***
”Saya
mendengar banyak tentang Anda dari Colin, kepala seksi yang memimpin Anda.
Anda
suka teater dan sastra, bahkan katanya Anda menulis karya sastra.”
Sastri
hanya tersenyum mendengar kata-kata Harold Dickens, di ruang kerjanya itu.
”Karena
itu saya mempercayai Anda untuk melaksanakan tugas ini. Saya rasa dari semua
teman-teman Anda, hanya Anda yang dapat melaksanakan tugas ini.”
Setelah
itu Harold Dickens menatap Sastri yang sejak awal tidak mengeluarkan sepatah
kata pun. Sebenarnya, di matanya gadis berusia 24 itu terlalu muda untuk
melaksanakan tugas yang akan dibebankannya. Tapi ia yakin atasan langsung gadis
itu, Colin Wild, mencalonkan Sastri karena prestasi Sastri yang baik walaupun
Sastri baru saja melalui probationary period atau masa percobaan enam bulan di
kantor itu. Merasa tak nyaman dengan tatapan kepala bagian Timur Jauh itu,
Sastri bertanya.
”Apa
yang harus saya lakukan Mr. Dickens?”
”Good question,” kata
Harold Dickens sambil berdiri dan menyerahkan sebuah buku kepada Sastri. Sastri
membaca judul buku itu. Sebagai gadis yang juga senang kepada sejarah buku itu
tidak asing baginya karena ia pernah membacanya sebagian di Perpustakaan
Nasional di Jakarta. ”History of Java” karyaThomas Stamford Bingley Raffles
yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada abad ke-19. Merasa
ingin tahu lebih jauh Sastri menatap wajah Mr. Dickens.
”Perdana
Menteri akan ke Indonesia tiga bulan lagi, untuk meningkatkan hubungan kedua
negara. Pada waktu yang sama pameran industri Inggris akan berlangsung di
Jakarta. Nah, upaya yang baik ini akan kita meriahkan dengan mengudarakan
sebuah sandiwara radio tentang tokoh yang ada hubungannya dengan negeri Anda
yang dulu bernama Hindia Belanda. Tokoh itu, banyak melakukan penelitian
tentang flora dan fauna di negeri Anda. Raffles ,tokoh yang saya maksudkan,
dengan tekun meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan
Prambanan. Ia juga belajar bahasa Melayu dan meneliti berbagai dokumen sejarah
Melayu dan sastra Jawa. ”History of Java” yang Anda pegang dan diterbitkan
tahun 1817 itu adalah karya tulisnya mengenai penelitian yang dilakukannya di
Jawa. Dan jangan lupa bunga Rafflesia Arnoldi yang aromanya menyengat itu
diberikan sebagai penghormatan kepada Raffles yang menemukannya.”
Menyaksikan
Sastri terus menatapnya dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian, Mr. Dickens
tersenyum.
”Andalah
yang dipercaya menulis sandiwara radio itu.”
”Saya?”
Sastri bertanya karena ia tidak percaya kepada pendengarannya.
”Ya,
Anda. Sastri Handayani.”
”Saya
tidak pernah menulis naskah drama, apalagi drama radio,” jawab Sastri spontan.
”Saya hanya pernah menjadi pemain dalam sebuah kelompok teater.”
”Colin
memperlihatkan novel yang Anda tulis.”
”Novel
memang benar, Mr. Dickens, tapi bukan drama.”
”Saya
tetap percaya Anda mampu menulisnya. Cukup dengan enam kali siaran dengan
durasi masing-masing selama lima belas menit.”
Sastri
terdiam. Baginya tugas itu tidak ringan. Waktunya hanya tiga bulan, sedangkan
buku yang harus dibacanya cukup tebal. Di meja di depan Mr. Dickens masih ada
dua buah buku lagi yang jangan-jangan harus dibacanya juga. Tetapi risikonya
pasti ada jika ia menolak tugas ini. Pada waktu yang sama Sastri merasa
kepercayaan yang diberikan kepadanya ini merupakan tantangan.
Menulis
drama radio dari sebuah buku sejarah bukanlah pekerjaan mudah. Ia harus
hati-hati sekali melakukan pilihan, mana yang harus diungkapkan dan mana yang
tidak perlu ditampilkan. Pilihan itu harus diwujudkan pula dalam dialog-dialog
yang meyakinkan, pekerjaan yang jelas tidak mudah, karena ini adalah peristiwa
sejarah dari masa lampau yang jauh.
”Bagaimana?”
”Sastri
tidak langsung menjawab. Bahkan, ia pula yang bertanya.
”Mengapa
Anda memilih Raffles, bukan tokoh lain atau drama Inggris yang sudah ada.”
”Hanya
Raffles yang paling tepat. Dia cukup dikenal di negeri Anda. Monumen istrinya
bahkan masih berdiri kukuh di Kebun Raya Bogor.”
Jawaban
itu membuat Sastri merasa Harold Dickens tidak ingin mengubah rencananya. Susah
untuk dibantah lagi. Di matanya Raffles mungkin akan ditampilkan seindah
mungkin tanpa cacat cela. Saat itulah Sastri ingin menguji apakah Harold
Dickens memang menginginkan begitu.
”Anda
ingin saya menulis drama tentang Raffles seutuhnya, maksud saya apa adanya,
dalam keterbatasan sebagai sebuah drama?”
”Benar.”
”Termasuk
kedatangannya sebagai penjajah?”
Harold
Dickens terkejut. Ia tidak menyukai kata-kata itu. Baginya Raffles hanya
melaksanakan tugas dan banyak melakukan yang baik untuk Hindia Belanda termasuk
memperkenalkan otonomi terbatas dan membagi Jawa dalam 16 karesidenan, mengubah
sistem kolonial dan sistem hukum, memperbaiki kehidupan pribumi di samping
menghentikan perdagangan budak dan membuat peraturan yang mencegah kaum feodal
pribumi memeras rakyatnya.
”Anda
tahu?” katanya menanggapi kata-kata Sastri. ”Raffles mengambil-alih jabatan
Gubernur Jenderal dari tangan penjajah Belanda, hanya karena ketika Inggris
tiba di Batavia dengan 100 kapal dan 12.000 tentara, penjajah Belanda mengaku
takluk dan menyerahkan jajahannya kepada Inggris.”
”Apakah
itu tidak berarti Raffles justru menjadi tokoh penting penjajah?”
”Itu
hanya pengambilalihan sementara. Karena sangat banyak langkah-langkah yang baik
dilakukan Raffles di Hindia Belanda, Inggris menganggap tindakan Raffles
berbahaya dan menariknya pulang ke Inggris pada akhir 1815. Ia bukan penjajah,
ia hanya mengambil alih jabatan untuk sementara mewakili Inggris.”
Sastri
melihat kemarahan di mata Harold Dickens. Namun, hati Sastri berontak. Baginya
Raffles tetap penjajah, mewakili negara Inggris. Setelah itu Belanda kembali
menjajah negerinya 350 tahun ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda.
Itu pun harus diungkapkan betapa pun banyak hal baik yang dibuat Raffles selama
bertugas di Hindia Belanda.
Masih
dalam suasana marah, dialog tetap berlangsung antara Sastri dan Harold Dickens
tentang penjajah dan penjajahan. Mereka mempunyai pandangan berbeda tentang
penjajah, dan penjajahan itu paling tidak tentang Raffles yang disebut Sastri
sebagai penjajah itu. Debat berlangsung keras sekitar lima belas menit, karena
Sastri berani membantah pendapat Dickens. Karena Harold Dickens tetap defensif dan
menyalahkan Sastri, dengan suara pelan gadis berusia 24 tahun itu menjawab.
”Maafkan,
Mr. Dickens. Bagi saya Raffles tetap petinggi penjajah dan itu harus juga
diungkapkan walaupun hanya dalam satu kalimat. Kalau tidak bagaimana saya harus
memulai drama ini? Apakah saya harus menyebut Raffles sebagai ilmuwan atau
seorang peneliti yang secara sukarela datang ke Hindia Belanda untuk meneliti
Candi Borobudur, Prambanan dan meriset sastra Jawa? Apakah saya harus
menyebutnya seorang turis yang tiba-tiba berhasrat melakukan penelitian karena
banyak obyek menarik di Hindia Belanda?”
Harold
Dickens terdiam. Pertanyaan yang masuk akal, pikirnya. Tapi untuk menyebut
Raffles sebagai penjajah ia tetap keberatan. Apalagi ia sendiri adalah anggota
”Zoological Society of London” yang didirikan Raffles. Ia tidak punya alasan
untuk membantah kata-kata Sastri. Setelah lama berpikir dan terdiam akhirnya ia
memutuskan untuk tidak melanjutkan rencananya dan mengakhiri pembicaraannya
dengan Sastri. Dia sangat sadar Sastri pasti akan menolak jika ia memaksa gadis
itu untuk tidak menyebut Raffles sebagai penjajah. Inilah yang menyebabkan
Dickens mengalah.
”Ya,
sudah, kalau Anda tidak ingin menulis yang baik tentang Raffles, rencana ini
saya batalkan saja,” ujarnya dengan dingin. Ia pun hanya mengangguk dan tidak
berkata apa pun ketika Sastri meminta diri.
***
Satu
minggu setelah itu, Harold Dickens kembali memanggil Sastri ke kamarnya. Kepada
Bagian Timur Jauh itu tampak berubah dan sangat ramah kepadanya.
”Anda
punya saran lain sebagai pengganti Raffles? Seingat saya minggu lalu Anda
menyarankan drama Inggris yang ada. Drama mana yang Anda maksudkan?” ujar
Dickens.
”Bagaimana
kalau Shakespeare?”
”Shakespeare? Wah, itu
ide bagus. Drama mana yang Anda pilih? ’Julius Caesar’ atau ’Othello’,
’Macbeth’ atau ’King Lear’?”
”Saya
memilih Hamlet.”
”Mengapa
Hamlet?” Dickens bertanya.
Ketika
Sastri akan menjawab, Dickens meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, sebagai
isyarat agar Sastri tidak menjawab.
”Pilihan
yang bagus,” katanya kemudian. Saya pengagum Laurence Olivier yang berperan
sebagai Hamlet dalam drama pengarang besar kami itu. Saya senang betul pada kata-kata
yang diucapkan Hamlet pada saat ia dirundung keraguan. ”To be or not to be,
that is the question.”
”Oke
saya akan mengerjakan itu secepatnya,” sahut Sastri.
***
Ketika
Sastri sibuk membolak-balik ”Hamlet, Pangeran Denmark” terjemahan Trisno
Sumardjo yang dipinjamnya dari perpustakaan, Colin berdiri di depannya.
”Mr.
Dickens mengatakan Anda anak yang berani dan keras kepala. Tapi dia senang
karena Anda punya jiwa kebangsaan yang hebat.”
Ketika
Sastri menatap Colin, atasannya itu mengangguk.
”Colin,
aku juga senang kepada Mr. Dickens. Ia orang yang paling berkuasa di bagian
Timur Jauh ini, tapi ia tidak mau menggunakan kekuasaannya karena cara
berpikirnya tidak sempit. Kemarin ia menepuk pundak saya, karena saya tidak
mengambil pilihannya, tetapi mengajukan pilihan saya sendiri yaitu ’Hamlet’.”
Jakarta,
1 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar