Orang-orang Larenjang
1
Dari pagi ke pagi, mulut-mulut itu, satu demi satu, bagai beralih-rupa menjadi toa. Bila toa di surau mengumandangkan azan, maka toa-toa segala rupa yang terpancang seperti antena itu begitu kemaruk memancar-luaskan gunjing, asung, dan pitanah, bahkan sekali-dua melepas umpat dan makian. Gema suara mereka bagai gendang irama gambus di musim helat, begitu semarak, begitu menyentak. |
Ah, betapa lekas, betapa
gegas, gunjing itu tersiar, bahkan jauh sebelum pantang dan larang kami
langgar. Toa-toa itu bagai beranak-pinak, sambung-menyambung, balik-bertimbal,
berteriak di pangkal kuping kami. Perihal beban berat yang bakal ditimpakan di
pundak kami, tentang utang yang selekasnya mesti kami lunasi. Diselang-selingi
pula dengan peringatan yang kadang terdengar serupa ancaman: ”siapa melompat
siapa jatuh.” Sekali lagi, jauh sebelum pantang dan larang yang disebut-sebut
itu kami terabasi. Seolah-olah kami telah lengah menimbang dan menakar, bahwa
bila ”hidung dicucuk, tentulah mata bakal berair.”
Toa yang terus menyala
itu telah menjadi sebab paling absah menghilangnya yang terhormat pengulu kami,
Bendara Gemuk. Sudah empat petang tak tampak batang hidungnya di lepau kopi,
tidak pula di surau. Di usia kepala tujuh, Gemuk tentu tiada bakal pergi jauh.
Sesungguhnya ia tidak pergi, hanya saja tidak pulang, dari ladang gambirnya, di
rimba Cempuya. Mengingat, kerabat dekat kami, Julfahri, bersikeras hendak
mempersunting Nurhusni, yang tidak lain adalah juga sanak famili kami. Dua
sejoli yang sedang mabuk kepayang itu berasal dari rumpun yang sama: Larenjang.
”Kawin sesuku,” demikian leluhur kami menukilkan sebutan bagi pantang dan
larang itu. Bila dilanggar, suku kami akan terbuang. Julfahri dan Nurhusni
wajib kami hapus dari ranji silsilah dan hak waris. Keduanya diharamkan
menginjakkan kaki di tanah Larenjang. Mereka harus angkat kaki dan tidak akan
pernah ada tempat berpulang. Sementara itu, dalam beberapa musim, akibat menerabas
pantangan, orang-orang Larenjang, tanpa kecuali, akan dikucilkan dari pergaulan
antarsuku. Bagi kami, tidak akan berlaku lagi, duduk sama- rendah, apalagi
tegak sama-tinggi. Pucuk pimpinan yang membawahi semua wilayah persukuan akan
menetapkan denda, dan hukuman yang mesti kami jalani. Pendeknya,
sebagaimana Julfahri dan Nurhusni, kami pun bakal merantau, meski bermukim di
kampung sendiri.
Maka,
bagi Bendara Gemuk, daripada hidup berkalang malu, tentulah lebih baik mati
berkalang tanah. Ia bertahan di rimba Cempuya, menggelepak di dangau lapuk
dengan bekal seadanya. Meski lengang dan hawa dingin menusuk-nusuk tulang
tuanya, tetap saja terasa lebih baik ketimbang terus-menerus mendengar
desas-desus yang tak kunjung reda.
”Kenapa
awak mesti menghamba pada aturan usang itu?” begitu Julfahri berkelit ketika
Gemuk mendesaknya untuk membatalkan rencana itu.
”Mentang-mentang
bersekolah tinggi, berani kau melanggar pantangan adat?” bentak Gemuk.
”Kami
tidak punya hubungan tali-darah, jadi kami bisa menikah! Kami siap
dibuang dari Larenjang!”
”Tapi,
bagaimana dengan kami yang akan menanggung malu seumur- umur?”
”Bila
tidak berbuat salah, kenapa harus malu?”
”Kau
tidak takut akibat dari melanggar pantangan itu?”
”Awak
hanya takut melanggar ajaran Tuhan!”
”Jaga
mulutmu, Julfahri. Bisa kualat kau nanti!”
2
Kami
tidak menutup mata, bahwa tiga dari lima pengulu di setiap suku di kampung ini
lebih kerap beroleh celaan ketimbang menerima pujian. Alih-alih mencurahkan
perhatian pada kemenakan, mereka lebih kerap menjadi benalu dalam suku. Betapa
tidak? Tengoklah para pengulu itu, bagai berlomba-lomba mengeruk kekayaan suku,
lalu hasilnya diboyong ke rumah anak-bini. Mentang-mentang berkuasa, tak
segan-segan mereka menggadai- melego tanah suku, guna membangun rumah batu,
untuk istri dan anak-anaknya, sementara banyak kemenakannya putus sekolah
lantaran tidak ada biaya. Maka jangan heran, kalau ada pengulu yang sudah
dibawa-lalu, tidak lagi diperlakukan sebagaimana pengulu. Sekali waktu, ada
pengulu yang sampai babak belur setelah dihajar-digebuk oleh kemenakannya
sendiri.
Namun,
yang terhormat Bendara Gemuk, selalu dapat kami kecualikan. Sejak dulu, belum
sekali pun ia mengecewakan kami. Nyaris separuh umurnya telah habis oleh segala
macam urusan kemenakan. Tak jarang ia mesti bersitegang urat leher dengan
istrinya, lantaran perhatiannya lebih tercurah pada kemenakan dalam suku
Larenjang. Perkara seremeh apa pun yang menimpa kami, Gemuk selalu menjadi
orang yang pertama kali turun-tangan menyelesaikannya. Bahkan bila terjadi
kegentingan, ia tidak gamang ”pasang-badan” demi membela kami, para
kemenakannya. Suatu hari, ketika judi sabung merajalela di kampung ini, kami
tertangkap tangan dan beberapa hari harus meringkuk di sel kantor polisi.
Bendara Gemuk kasak-kusuk, berupaya mencarikan jalan, agar secepatnya kami
terbebas dari kurungan. Begitu pun ketika kerabat kami Julfahri bertekad hendak
menjadi sarjana, meski ibu-bapaknya melarat. Gemuk pula orang yang tak bisa
dilupakan jasanya. Betapa tidak? Waktu itu, di kota provinsi, ia mencarikan
induk-semang bagi Julfahri. Dari sanalah ia dapat membiayai kuliah hingga
tercapai juga cita-citanya. Dan, ketika tiba masanya kami menerima pembagian
jatah lahan untuk berladang, Gemuk melakukan pembagian dengan cara
seadil-adilnya hingga tak seorang pun dari kami yang merasa kurang, apalagi
mencurigai ada yang curang. Bila ada keluarga kami yang jatuh sakit, Gemuk yang
pertama kali tahu kabar itu. Apalagi bila ada di antara kami yang merasa sudah
patut menikah, Gemuk mengurusnya hingga tuntas. Pokoknya, bagi kami orang-orang
Larenjang yang tak sempat mengecap sekolah tinggi ini, Bendara Gemuk lebih dari
sekadar pengulu. Kami menghormatinya, sebagaimana kami menghormati ayah kami.
Ajaran dan nasihatnya kami patuhi sebagaimana kami menuruti ajaran ibu-bapak
kami.
Maka,
membuat lelaki sepuh itu terluka, sama dengan melukai perasaan kami.
Merendahkan martabat Gemuk berarti juga menghina kami. Melangkahi Gemuk adalah
juga menampar muka kami. Oleh karena itu, siapa pun yang mendukung rencana pernikahan
terlarang antara Julfahri dan Nurhusni akan berhadapan dengan kami.
”Bila
ajal Gemuk lebih lekas lantaran menanggung malu akibat perangai gilamu itu, kau
tak bakal selamat!” begitu kami menggertak Julfahri.
”Lantaran
kami tidak berpendidikan sepertimu, kami tidak pandai menyelesaikan kusut ini
dengan cara berunding.”
”Lalu
dengan cara apa kalian akan menyelesaikannya?” tanya Julfahri, pongah.
”Dengan
kerat kayu. Paham kau, keparat busuk?”
”Atau
mulut besarmu itu kami sumpal dengan ketupat bengkulu!”
3
Di usia
sepetang ini, hidup sebatangkara di tanah rantau pula tentu akan menjadi
tahun-tahun penghujung yang sulit bagi lelaki ringkih itu. Selepas kematian
Yanuar, ia mengira musibah bakal bersudah. Namun, suratan nasib berkata lain,
tak lama berselang, Imelda, anak perempuan yang dibangga-banggakannya, mengidap
kanker otak stadium puncak. Berbagai cara telah ditempuh Julfahri dan Nurhusni
guna menyelamatkan satu-satunya keturunan mereka yang tersisa. Selepas
menjalani operasi dengan pertaruhan hidup-mati, kondisi Imelda kian memburuk.
Julfahri dan Nurhusni mulai dihantui rasa gamang pada kehilangan yang kedua.
Mereka begitu waswas, begitu cemas, bilamana hidup Imelda berakhir seperti
saudaranya, Yanuar. Itu berarti mereka tidak akan punya siapa-siapa lagi,
selain harta-benda yang melimpah-ruah itu. Apa guna kekayaan yang
bertahun-tahun ia kumpulkan, bila akhirnya ia hidup seorang diri?
Sementara
itu, dalam kecemasan bakal kehilangan Imelda, istrinya perlahan-lahan
menunjukkan tanda-tanda orang yang kurang sehat. Badannya kurus, sorot matanya
begitu sayu, tak bergairah sebagaimana dulu. Kerisauan Julfahri kian
bertambah-tambah. Dan, setelah berkali-kali diperiksa, Nurhusni divonis
menderita diabetes, yang akhirnya berujung pada kehilangan daya penglihatannya.
Buta permanen. Hanya berselang satu tahun selepas kepergian Imelda untuk
selamanya, Nurhusni, perempuan yang diperjuangkan Julfahri dengan cara
melanggar pantang dan larangan adat, mengembuskan napas penghabisan.
Ah,
betapa lekas, betapa gegas, orang-orang dekat Julfahri pergi. Musibah yang
bagai sambung-menyambung itu mengingatkan ia pada mulut orang-orang kampungnya
puluhan tahun silam, yang dari pagi ke pagi, bagai bersalin-rupa menjadi toa.
Memaklumatkan gunjing dan pitanah perihal orang-orang Larenjang yang bakal
terbuang, bahkan sebelum pantang dan larang itu dilanggar. Kenangan usang itu
pula yang membangkitkan ingatannya pada Bendara Gemuk, yang di masa itu
terpaksa menyingkir dari kampung, lantaran tak sanggup menanggung malu.
Kini,
setelah puluhan tahun perantauannya di tanah seberang, tajam sorot mata pengulu
yang separuh usianya telah terkuras oleh urusan orang-orang Larenjang itu,
kerap muncul dalam lamunannya. Ia sukar melupakan jasa Bendara Gemuk yang telah
mencarikan induk-semang di kota provinsi, hingga ia bisa bekerja dan membiayai
kuliah, meraih cita-cita sarjananya. Dan, yang paling menghantui kesendiriannya
saat ini adalah perseteruan hebatnya dengan Bendara Gemuk sebelum ia nekat
melanggar pantang. Ia menyadari, betapa perbuatannya di masa lalu telah melukai
hati pengulu, dan menistai keluarga besar suku Larenjang. Hingga bumi
jungkir-balik pun, kesalahan fatal itu tiada bakal terampuni. Tanah orang-orang
Larenjang sudah mustahil menjadi tempat ia berpulang.
Dalam
kesepian yang terasa semakin ganjil, kadang lelaki renta itu berangan- angan,
kelak bila waktunya tiba, ia ingin dimakamkan di tanah pemakaman suku
Larenjang. Pulang ke pangkal jalan. Namun, tiba-tiba saja ada yang mendenging
di kupingnya, dan lekas ia batalkan niat itu. Bila menimbang pantang dan larang
yang telah ia langkahi, apalagi menakar arang yang tercoreng di kening Bendara
Gemuk, dan amarah orang-orang Larenjang, tanah pemakaman itu tiada bakal sudi
menerima bangkainya.
Tanah
Baru, 2011
cerpen
ini mempunyai konflik pertentangan yg kuat antara petuah orang tua dan
pemikiran modern
apakah endingnya harus begitu? harus memenangkan pihak penentang, atau itu
sekedar nasib buruk saja…
karena, menurut opini saya, mungkin saja si tokoh Julfahri terdoktrinisasi dgn sumpah serapah sukunya sehingga menyebabkan nasib buruk benar2 menghampirinya… siapa tau?
karena, menurut opini saya, mungkin saja si tokoh Julfahri terdoktrinisasi dgn sumpah serapah sukunya sehingga menyebabkan nasib buruk benar2 menghampirinya… siapa tau?
Apa
ya? Membaca sebuah cerpen yg mengalir dg lancar, tuntas sampai ke ujung…hanya
kurang sreg dg nasib buruk yg menimpa sang tokoh..bukankah benar tak ada
larangan menikah apalgi tak ada hub darah..ah tak tau..lah..apakah adat dapat
menimpakah nasib buruk..
Cerpennya bagus, cuma terlihat agak memaksakan kehendak dgn ending
seperti ini, akan berbeda halnya jika ending diserahkan kepada penikmat
cerpen…tanpa harus ada yg benar atau salah
Ya,
masih sama seperti tanggapan yang lain. Cerita yang disajikan menarik dan
memberikan wawasan baru bagi pembaca. Tetapi, penggunaan bahasa yang
seolah-olah bahasa Melayu lama membuat pembaca sedikit bingung.
Untuk keseluruhan, “God Job”…
Untuk keseluruhan, “God Job”…
Ya,
masih sama seperti tanggapan yang lain. Cerita yang disajikan menarik dan
memberikan wawasan baru bagi pembaca. Tetapi, penggunaan bahasa yang
seolah-olah bahasa Melayu lama membuat pembaca sedikit bingung.
Untuk keseluruhan, “Good Job”…
Untuk keseluruhan, “Good Job”…
pemaparannya enak d baca, mengalir hingga benar2 tuntas..dan sy melihat,
endingnya menegaskan ada sebuah tradisi lokal yg kuat dan logis..
bagus..
bagus..
WEW………………
serasa kembali kemasa balai pustaka.
Lestarikan terus pa yg menjadi pangkal pilar negara ini
serasa kembali kemasa balai pustaka.
Lestarikan terus pa yg menjadi pangkal pilar negara ini
diksinya mengaggumkan!
Maknanya begitu dalam, pesannya sampai ke pembaca dgn imajinasinya yg luar
biasa
Botol Kubur
Jangan
petuahi kami perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok
surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati
sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Kami pasrah dijemput maut
kapan saja, tapi kami enggan mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah
botol-botol yang mereka tikam ke tanah itu menjadi jalan rezeki kami.
Kuingat
kali pertama mencari botol di kuburan. Angin yang membentur bulu tengkuk terasa
lebih dingin dari biasanya. Gugup campur cemas, bergetar jemariku saat
menggenggam dan mencabut pantat botol dari pucuk makam. Sekilas kubaca
nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera dengan cat hitam di kayu
nisan. Antara bergumam-berbisik, kuminta maaf pada pemiliknya yang sedang tidur
di bawah sana. Malamnya mataku sulit terpejam. Rusuh hati membayangkan arwah
pemilik botol menyelinap masuk ke dalam mimpi, menyumpahserapahiku yang lancang
mencabut botol dan menyuruhku mengembalikannya ke tempat semula.
Pengalaman
pertama memang guru terbaik. Kini, buatku, mencabut botol di kuburan telah
menjadi hal biasa saja layaknya makan, berak, ketawa, atau kentut. Entah berapa
botol kuburan yang telah kucabuti. Melihat botol menancap di gundukan makam
bagai memergoki uang yang berkilat-kilat disorot cahaya matahari. Saat
mencabutnya, tak lupa kuingatkan pada orang di dalam sana agar jangan
mengutukku gara-gara sebiji botol. Sebagai imbalan, kubersihkan sampah yang
berserak di sekitar makam mereka. Agar kian iba, acap kutambah-tambahi: kami
membantu orangtua cari nafkah, hanya ingin bertahan hidup, atau botol itu
sangat berharga buat orang miskin macam kami. Mengingatnya, aku nyengir
sendiri. Serupa orang bodoh saja bicara pada angin. Untuk apa minta izin pada
tulang belulang, pada daging yang telah lebur dengan tanah, pada jasad yang
busuk bersama waktu?
Yang
tak bernyali mencabut botol kuburan, acap menakuti-nakuti: di sana angker,
rumah segala jenis hantu, nanti kualat, kesambet makhluk halus, dikutuk arwah
yang murka. Yang sok alim menggurui: jangan menumpuk dosa. Ah, soal itu, biar
Tuhan yang menimbang. Kami pasrah, terima bersih saja. Kami hanya menumpuk
barang bekas. Ada pula yang mencetus, kelak kami akan diganjar di neraka;
botol-botol itu akan ditancapkan ke anus kami. Ada yang terbahak-bahak
mendengarnya, ada pula yang kontan terdiam dan berwajah murung.
***
Kami
anjing-anjing kecil yang besar di jalanan. Diasuh debu kemarau dan hujan yang
riang. Selain bak sampah, taman kota, terminal, trotoar, lorong-lorong
pertokoan, atau pasar becek bau bacin, kuburan pun jadi ladang pemulung cilik
macam kami. Dalam kelompok-kelompok kecil—tak pernah ada yang nekat pergi sendirian—kami
sambangi kuburan.
Jika
ada yang sok iba bertanya tentang orangtua, keluarga, atau kenapa tak sekolah;
kami punya jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama. Senang rasanya membuat
mereka terdiam, menghela napas, atau bermimik sedih. Tak perlu sekolah untuk
pandai berbohong. Jika berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah di jalan,
tak sungkan pula kami rampas apa yang mereka punya: termos minuman, topi, tas,
sepatu. Ada juga yang mujur berhasil merampas telepon genggam mereka.
Kami
hanya takut pada Bang Gayu, duda empat puluhan, tukang mabuk dan buat onar.
Hampir tiap hari kami dipalaknya. Kami muak, tapi tak berdaya. Mata kirinya
picek. Kabarnya, waktu bujang, mata itu ditujah sesama preman yang berebut
wilayah kekuasaan. Bang Gayu terkenal doyan mengendap malam-malam, mengintip
perempuan tidur. Yang lebih parah bila dia kumat, salah satu dari kami akan
dibawanya pergi ke tempat sepi. Meski tengah malam, kami tak bisa mengelak di
bawah ancaman. Hanya bisa pulang meringis menahan nyeri di dubur.
***
Kami
mendarat siang bolong di pemakaman umum yang terimpit di antara rumah-rumah
penduduk. Mirip stasiun berjejal penumpang di ambang lebaran, nyaris semua
kuburan yang kami datangi telah sesak menampung jasad manusia. Makam-makam yang
kompak menghadap ke satu arah itu bagai kerumunan manusia yang gelisah menunggu
moncong kereta muncul dari barat. Tak perlu peta untuk menuntun dari satu kuburan ke
kuburan lainnya. Peta tak punya jemari untuk memungut dan menghirup kamboja
yang tumbang disentuh angin. Peta tak punya mata kaki untuk menghindari lumpur
selepas hujan. Lebih dari itu, ia tak bisa mengendus aroma kematian.
Matahari
menancapkan panah-panah teriknya ke ubun- ubun. Ada kincir bambu bungkam dekat
asap tipis sisa pembakaran sampah. Bunga-bunga kamboja berserak. Ayam-ayam liar
mengorek-ngorek tanah. Konvoi semut hitam di atas marmer putih. Cacing, ulat,
dan kaki seribu menyelinap ke balik sampah dedaunan. Banyak makam telah
berlapis keramik dan berpagar runcing. Tak sedikit pula yang telantar, nyaris
rata dengan tanah, bertahun tak diziarahi keluarganya. Pohon-pohon besar
menjulang nampak angker. Seperti ada yang mengintai kami dari balik kelam dahan
dan batangnya. Di beberapa kuburan, ada semacam pondok sederhana. Konon, di
dalam- nya ada makam keramat orang-orang sakti atau disegani di masa lampau.
Tempat
yang sesekali ramai bila ada yang mati, mirip pasar tumpah menjelang dan saat
hari raya, senyap muram di hari-hari biasa itu; memang bisa jadi tempat rehat
yang enak. Kami tak ada alasan untuk bergegas di sana. Pun tak perlu lagi
beruluk salam, sopan santun saat memasuki gerbangnya. Zaman sekarang, salam
cuma basa-basi, tak lahir dari hati. Sehangat-hangat salam, masih lebih hangat
tahi ayam yang terinjak kaki kami.
Dengan
karung kumal, kami berpencar layaknya bermain di tanah lapang. Mata kami
jelalatan mengincar makam yang nampak baru, sebab di sanalah biasanya teronggok
barang yang diburu. Kebanyakan botol bening bekas sirup, bukan bekas kecap,
apalagi minuman keras. Jarang ada botol menancap di makam-makam yang sudah
dimarmer.
Mataku
tersenyum memergoki botol bening hampa yang nyaris menempel dengan kayu nisan.
Mulut botol menancap dalam tanah. Pantatnya nungging miring menuding langit.
Airnya telah lama lesap dalam tanah. Hanya butir-butir tanah kering menempel di
badannya. Mungkin sisa hujan beberapa hari silam. Kembang-kembang aneka warna
yang bertabur sepanjang puncak gundukan telah layu. Tak ingin disalip saingan,
jemari kananku mencengkeram pantat botol itu. Perlahan dan hati-hati mencabutnya,
jangan sampai mengusik tidur orang di dalam sana. Lega rasanya saat botol itu
sudah kulesakkan ke dalam karung lusuh kumal.
Kami
seret langkah keluar kuburan diiringi suara ngilu gesekan botol dalam karung.
Botol-botol itu tak langsung kami jual, tapi ditumpuk bersama barang-barang
rongsok lainnya. Seminggu kemudian baru kami usung ke lapak pengepul,
menukarnya dengan lembar-lembar uang yang tak sampai setengah jam digenggam
sebelum pindah ke tangan orangtua. Itulah yang kelak mengisi periuk dan bakul
nasi di gubuk kami. Andai kami dapat upah, lekas habis kami tukar makanan
murahan atau es degan.
Beberapa
kali kami bergunjing kenapa botol-botol itu ditancapkan ke makam orang yang
baru ditanam? Bukankah sia-sia menelantarkannya di kuburan? Bukankah mereka yang
sudah mati tak bisa merasakan apa-apa lagi? Beragam pendapat kami: sebagai obat
dahaga buat mereka di alam sana, agar yang berkalang tanah selalu segar, dan
lainnya. Yang pasti, mereka yang menikam botol itu tentu tak menduga kelak ada
yang mencabutnya. Ah, kenapa bukan uang saja yang ditancapkan di gundukan tanah
itu agar kerja kami jadi lebih mudah?
Memang
pernah ada yang meriang setelah mencabut botol kuburan. Mukanya pucat pasi.
Semula kami kira masuk angin biasa. Punggungnya sudah di kerok, tapi tak ada
perubahan berarti. Dia terus saja menggigil. Kami panik, tak ada yang tahu
penyakit apa yang merongrong tubuhnya. Ada yang berbisik, dia kesambet jin
penunggu pohon besar di tengah kuburan karena kencing sembarangan di sana.
Untung dia sembuh begitu saja hingga terhindar dari rumah sakit. Dia pun tak
jera mengulang perbuatannya.
***
Tak
selalu mulus hajat kami memetik botol di kuburan. Acap kami keluar dengan
tangan kosong dan hati dongkol. Pasalnya? Tertangkap basah orang lain! Mungkin
warga sekitar yang mengurus kuburan, tukang gali kubur, atau tukang ngaji
kubur. Segerombol pemulung cilik kumal keliaran dalam pemakaman umum barangkali
memancing rasa curiga mereka. Kami seperti diintai dari tempat tersembunyi lalu
mereka muncul tiba-tiba begitu memergoki apa yang kami perbuat. Meski serupa
tapi tak sama, kami telah hafal hardikan mereka:
”Kembalikan
botol-botol itu!”
”Kecil-kecil
sudah jadi maling!”
”Cari
sampah di tempat lain!”
”Banyak
jalan cari duit, bukan maling botol di kuburan!”
Kami,
anjing-anjing kecil dengan hati ciut, terbirit-birit menjangkahi makam demi
makam. Menjauhi mereka, orang-orang uzur yang tampaknya mengidap penyakit darah
tinggi hingga mudah murka. Sepanjang jalan pulang, gantian kami rutuki mereka.
Macam kami tak tahu saja, mereka juga kerap dapat rezeki lewat orang mati.
Sudah miskin, kedekut pula. Arwah pemilik botol dan hantu yang mukim di
pohon-pohon dalam kuburan lebih baik ketimbang orang-orang yang menggebah
menimpuki kami. Mereka tak pernah muncul tiba-tiba untuk mendamprat kami.
Mereka yang lelap berserak dalam tanah itu lebih maklum, kami datang diseret
angin kemiskinan.
Dan ini
rahasia perusahaan. Tak pernah kami bocorkan muasal botol kepada pengepul.
Patah ranting rezeki kami jika mereka tahu. Terbayanglah mimiknya bila tahu
dari mana asal botol-botol itu. Pengepul pun menolak botol bermulut sumbing.
Tak laku dijual ke bos besar, dalihnya. Siapa, di mana, dan bagaimana
sosok bos besar itu, kami tak pernah tahu. Yang pasti, tiap mencabut botol,
kami amati dulu bibirnya. Jika cacat, kami kembalikan ke tempat semula. Tak mau
dua kali lipat kalah kami. Sudah tambah dosa, botol urung jadi uang pula. Belum
lagi jika pengepul lengit mencatut jumlah timbangan dan seenak udel mematok
harga rongsokan yang kami bawa.
***
Bang
Gayu mati anjing. Tengah malam tadi dia ditikam empat lubang entah oleh siapa.
Kami pura-pura kaget, tapi dalam hati bersyukur. Sempat kudengar bisik
orang-orang yang mengekor saat mengantar kerandanya ke kuburan: ”Nggak usah
diberi air. Tancapkan saja sebotol anggur murahan untuk menemaninya dalam
kubur…” Kami terkekeh mendengarnya. Meski melarat, orang-orang tua kampung kami
masih suka guyon. Orang mati pun bisa dijadikan bahan kelakar.
Sepoi embus angin ambang
petang. Ketika orang-orang pergi dan kuburan sudah sepi, kami bersijingkat
menyambangi makamnya. Kami amati gundukan tanah merah bertabur kembang. Kami
senang dia mati. Hilang satu masalah. Kami terkekeh melihat seorang teman
mencabut botol yang baru beberapa jam menancap di kuburnya. Aku tersenyum kecut
memergoki lubang kecil bekas botol itu.
Kubuka retsleting celana.
Serupa anjing kencing, kunaikkan kaki kiri ke nisan kayu. Kuarahkan rudal
ke sasaran. Sekedip kemudian, air kekuningan berdesis membentur gundukan tanah.
”Ini minuman tambahan untukmu, Anjing Tua…” kataku sambil menatap namanya di
nisan kayu. ”Balaslah sekarang kalau kau bisa…” disambut kekeh yang lainnya.
Dendam
yang berkarat dalam benak kami akhirnya tunai. Ada kebahagiaan yang tak bisa
dijelaskan lewat kata-kata saat menyaksikan air menciprati kayu nisan dan
gelembung-gelembung kecil memenuhi lubang bekas botol. Pengalaman pertama
memang guru terbaik. Kami tak peduli bila kelak di neraka, anus kami
berkali-kali dijejali botol. Orang dalam kubur ini, yang botolnya kami cabut
dan makamnya kami kencingi, telah mengajari kami bagaimana sakitnya.
Bandar Lampung,
Januari 2011
Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar