Gelap, Gelap Sekali
Gelap di luar dan
hening di dalam. Dengus napas istriku teratur. Lampu tempel sudah
kumatikan. Hanya dingin malam yang menyeruak dari celah dinding bambu membuat
aku menarik selimut melewati dada. Sesekali suara burung malam terdengar di
kejauhan. Barangkali burung hantu yang mencari mangsa, berpindah-pindah dari
satu arah ke arah lain. Tanah huma di pinggir hutan mungkin mengubah kawasan
hunian binatang sekitar.
Aku sulit memejamkan
mata karena nyamuk kecil yang sering mendengung dengan bunyi yang nyaring,
sesekali nyamuk itu menerkam kuping. Malam semakin larut ketika merasakan ada
sesuatu yang mengusik gelapnya malam. Beberapa rumah panggung terdapat di desa
yang baru kami bangun, sekitar setahun yang lalu, tanah garapan baru. Jarak
antara satu rumah dengan rumah lainnya kira-kira lima puluh meter. Gemerisik
sesuatu antara belukar semakin mengganggu ketika terdengar ketukan di rumah
tetangga. Derap kaki bersepatu berat semakin jelas terdengar disusul dengan
gedoran. Ada teriakan kasar. Aku mengintip dari celah dinding, tetapi tidak ada
sesuatu yang tampak. Gelap malam memeluk rahasia malam. Teriakan terdengar
ketika langkah kaki itu agak menjauh. Ada pukulan yang keras membuat teriakan
lenyap. Sunyi malam mendekap.
Kugoyang-goyang tubuh
istriku sambil berbisik, ”Kau dengar suara-suara ribut itu?”
Ia membuka matanya dan
menggosok kelopak matanya, lalu menjawab, ”Sayup-sayup. Seolah-olah ada sesuatu
yang terjadi.”
”Apa, ya?” kataku
seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
Beberapa menit kami
tenggelam dalam hening.
Sepanjang malam kami
tidak dapat tidur, tak juga berani berbicara atau menduga-duga apa yang
terjadi. Rasanya malam merangkak amat lama.
Subuh, ada tangisan
dari arah tetangga sebelah.
Ketika ayam berkokok,
aku memberanikan diri turun tangga rumah, dan bergegas ke rumah sebelah.
Beberapa orang tetangga
lain sudah ada di situ. Aku bergabung dengan mereka.
”Ada apa?” kataku.
Seorang kepala dusun
yang kami angkat sendiri malah balik bertanya, ”Tidakkah Saudara dengar
peristiwa tadi dalam?”
”Ya, kudengar langkah
kaki, gedoran dan orang berteriak karena dipukul. Aku tidak berani keluar.
Sepanjang malam aku dilanda rasa takut,” kataku.
Tarmin, kepala dusun
itu, kemudian berkata, ”Suami ibu ini tadi malam diculik orang, juga Turman
yang tinggal di ujung dusun.”
”Oleh siapa?” tanyaku.
”Belum tahu.”
Tangis ibu Saleh tak
henti- henti.
Kepala dusun pagi
sekali menghubungi ketiga belas keluarga yang tinggal di perhumaan itu. Kami
berkumpul di rumahnya. Yang hadir hanya sebelas kepala keluarga. Dua orang yang
hilang pada malam itu. Saleh dan Turman. Saleh si pendiam namun mudah menolong
orang. Turman si pemberani yang mendorong kami memulai menggarap tanah di
pinggir hutan itu. Menurut kami, kedua orang itu adalah teladan dalam segala
hal.
Kurang lebih setahun
sebelumnya, kami membuka ladang baru, tanah huma. Jauh dari kampung halaman
kami. Jarak kampung halaman kami lebih seratus kilometer, dan untuk sementara
kami meninggalkan anak-anak bersama kakek-nenek di tanah leluhur yang sudah
sesak penduduk.
Sebagai ladang baru, hasilnya
lumayan. Tanah huma membuat tanaman subur, pada panen pertama tentunya. Kami
memasuki tahun kedua dalam suasana dusun yang tenang. Rasa persahabatan dan
kekeluargaan lebih menonjol daripada sikap bersaing. Kami mengalami nasib yang
sama di tanah leluhur yang semakin sempit karena pertambahan penduduk. Rasa
persaudaraan yang tinggi terbentuk karena penderitaan yang sama, dan memiliki
harapan yang sama. Mengubah nasib. Walaupun di ladang yang sangat bergantung
kepada kemurahan alam, hujan.
Pertemuan hari itu
sarat dengan usul cara menjaga keamanan dusun.
”Tapi penculikan ini,
melihat dari jejak kaki,” kata Sahir, ”rasanya adalah jejak kaki orang
bersenjata api.”
Yang lain-lain terdiam.
”Jangan-jangan ketika
kita jaga malam, justru dengan lebih mudah diculik satu demi satu,” katanya
melanjutkan.
Seminggu kemudian,
dalam kantuk yang penat, menjelang subuh aku tertidur lelap. Baru saja beberapa
menit terlelap, aku mendengar pintu digedor dan tiba-tiba menganga karena
didobrak dari luar. Dalam sekejap beberapa sosok tubuh merangsek ke dalam
membuat istriku tiba- tiba menjerit. Tamparan di mukanya membuatnya terhuyung
dan diam dalam jerembab. Beberapa tangan yang kokoh menarik kedua tangan dan
kakiku. Aku diseret dalam kegelapan malam. Mereka menggelandang tubuhku dan
mengikat kedua tanganku ke belakang. Mulutku dibekap dengan sepotong kain.
Dalam gigitan malam yang dingin menyengat, mereka melemparkan tubuhku ke dalam
sebuah truk yang menunggu di tepi jalan. Aku merintih kesakitan. Kutahu ada
orang lain di dalam truk itu karena kaki mereka bersentuhan dengan kakiku.
Sebelum kabut
meninggalkan malam, truk berhenti di sebuah tempat. Kudengar suara-suara orang
yang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku diturunkan dari truk
bersama sembilan orang lainnya yang tampaknya senasib denganku. Tidak seorang
pun dari antara mereka yang kukenal.
Kami digiring ke sebuah
rumah gedung tua yang tampak kokoh dari luar. Ada penjaga bersenjata di segala
sudut. Di sebuah ruangan satu demi satu kami diempaskan ke lantai. Ikatan tangan kami dilepaskan satu demi satu. Nyeri rasa luka di bekas
ikatan itu. Menjelang siang seorang berwajah garang duduk di belakang meja
reyot, dan kami duduk di kursi rotan di hadapannya. Satu demi satu kami
ditanyai: nama, keluarga, alamat, asal-usul, pekerjaan, sejak kapan masuk
organisasi politik, siapa pemimpinnya, dan macam-macam jenis pertanyaan yang
aku sendiri tidak mengerti.
Sore itu perut diisi
dengan beberapa potong ubi rebus. Tengah malam, ketika perut masih keroncongan,
namaku dipanggil dari kamar berukuran tiga kali empat meter yang dihuni dua
belas orang. Aku berdiri dan menuju ke sebuah ruangan. Dari ruangan lain
kudengar jeritan orang dipukul. Aku duduk dan tidak dapat menjawab pertanyaan
interogator itu. Lalu ia tuduh aku masuk gerakan tutup mulut (GTM). Ia lalu
berdiri di belakangku dan memegang dagu dan kepalaku, mencoba memutar leherku.
”Jawab! Atau kupatahkan lehermu!”
Aku diam saja. Kemudian
ia melepaskan kedua tangannya, tapi menohok punggungku membuat aku jatuh
pingsan. Ketika aku tersadar, aku sudah berada di tengah-tengah kawan seselku.
Mereka mengoles punggungku dengan minyak kelapa. Aku belum mampu memusatkan
pikiran untuk mendengar apa yang dikatakan mereka. Jamahan tangan mereka
sedikit melegakan rasa sakitku.
Sebulan kemudian aku
mendengar secara sembunyi-sembunyi dari sesama tahanan bahwa hampir semua
lelaki di dusunku sudah ”diangkat” dan kaum perempuan melarikan diri ke orang
tua mereka masing-masing. Beberapa kawan seselku ”pergi” dan tidak pernah
kembali, diganti dengan tahanan baru, sampai pada akhirnya aku sendiri pun
dipanggil bersama beberapa orang yang dahulu ditangkap bersamaku.
Menurut pengawal yang
melemparkan kami ke dalam truk, kami akan dipindahkan ke tempat yang lebih
nyaman, tenteram, pembebasan. Karena ia mengatakannya dengan senyuman dengan
mata mengejek, yakinlah aku bahwa inilah hari akhir dalam kehidupanku. Wajah
anak- anakku, istriku, melintas silih berganti di benakku. Tubuh-tubuh yang
kurus bagai paku tipis yang karatan mungkinkah dibebaskan ke tempat yang nyaman
dan tenteram? Aku tidak tahu dosa apa yang membuat aku harus mengalami derita
seperti ini. Sampai bulan-bulan terakhir aku hendak di-”bebaskan” tidak ada
pengakuan apa pun yang keluar dari mulutku. Pernah aku berpapasan dengan seorang
interogator yang rasanya pernah kukenal dan memalingkan wajah daripadaku ketika
sekilas bertatap mata. Diakah biang keladi dari derita lelaki dari dusunku? Ah,
tidak berani aku berburuk sangka. Semua orang ingin mencari selamat sendiri.
Bayangan dalam benakku,
anak-anak akan telantar, istriku dalam kesetiaannya harus banting tulang
memberi makan mereka. Dan cap dalam keluarga, mereka termasuk turunan yang
dianggap kutuk bagi bangsa ini.
Tiba-tiba hatiku
menjerit. ”Tuhan, lindungilah mereka!”
Tendangan di pantatku
menyadarkan aku. ”Ayo, naik! Naik! Naik!”
Truk menggelegar
memecah kegelapan malam. Kami benar- benar
menjadi warga kegelapan. Gelap dalam sel. Gelap dalam pertanyaan yang tak
kunjung berjawab. Semuanya gelap gulita!
Berjam-jam kami yang
ada di dalam truk diam dalam bahasa hati kami sendiri. Bahasa batin dengan
kisah gelap. Karena telah terbiasa di dalam kegelapan malam dan siang, aku
dapat menyaksikan celah antara kegelapan dan remang-remang malam. Truk berhenti
di mulut sebuah jembatan yang besar dan panjang. Kami semua diturunkan dan
berjalan satu demi satu menuju tengah jembatan, di sisi jembatan bagian tengah
yang rusak penahannya.
Aku berjalan di barisan
paling akhir dari lima belas orang. Orang yang berada di barisan depan disuruh
berhenti di pinggir jembatan. Tiba-tiba sekelebat pedang yang terayun menebas
lehernya. Ada lengkingan dan bunyi kepala ya berdebuk ke dalam sungai yang
mengalir deras disusul gedebuk tubuh yang terempas ke dalam air. Selang
beberapa menit suara yang sama bergenta, sampai giliranku pun tiba. Dalam
kepergian malam, dalam sunyi air yang mengalir, dalam remang gelap, aku
menyaksikan pedang yang berayun semakin melemah. Aku berdiri dan melihat pedang
yang dientakkan. Dalam detik yang sama aku membungkuk dan terjun ke dalam
sungai. Ikatan tangan yang telah kukendurkan dan ikatan tali di kaki yang
merenggang membuat aku menyelam lebih mudah bergerak dalam kedalaman dan arus
sungai. Beberapa menit kemudian aku muncul ke permukaan sementara arus terus
membawa aku hanyut. Di dalam alun arus, aku semakin menepi sampai aku mampu
berpijak di dasar sungai dan berjalan sambil merangkak menyusuri batu-batu.
Kulepaskan ikatan
tangan dengan susah-payah, kemudian tali dari kaki. Air yang dingin menambah
perihnya goresan tali. Aku merangkak ke tepi sungai dan mencoba mendengarkan
langkah kaki. Tidak ada. Di kejauhan ada deru kendaraan yang semakin lama
semakin hilang.
Berjam-jam aku berjalan
dalam keremangan gelap malam, menyusuri tepi sungai dengan keyakinan bahwa
lambat atau cepat pasti di sekitar alur sungai ada kampung terpencil. Dengan
pakaian yang basah-kuyup dan langkah yang goyah, aku berjalan sejauh-jauh jarak
yang dapat kutempuh.
Matahari mulai muncul
di celah gunung. Aku tidak tahu di daerah mana aku berada. Di tepi sungai
ada pisang yang sedang berbuah, merunduk rendah. Buah yang matang tapi ketika
kukunyah, banyak batunya. Pisang monyet. Aku menduga, bila monyet pun bisa
makan buah pisang monyet, pastilah manusia pun bisa. Tidak jauh dari sana ada
durian belanda. Aku memanjatnya, dan mengambil buah yang ranum. Aku berterima
kasih kepada Tuhan bahwa bumi ini kaya dengan kemurahan-Nya. Kukeringkan
pakaianku di atas batu dan mereguk air dari pinggir sungai, yang tergenang dan
bening. Ada mata air di situ. Setelah kekuatanku pulih, aku berjalan dan
berjalan, menyongsong matahari yang terbit.
Di kaki gunung,
tepatnya sebuah lembah yang landai, aku menemukan sebuah gubuk. Kukira gubuk
itu milik pemilik ladang di situ. Kuketuk pintunya. Seorang lelaki tua dan ibu
yang sudah berumur membuka pintu. Dari wajah mereka kulihat rasa terkejut. Aku
memperkenalkan diri dan memberitahukan tentang diriku yang sebenarnya, dan
pelarianku. Kedua orang tua itu mengangguk-angguk mengerti. Mereka
mempersilakan aku sarapan pagi dengan pisang rebus.
Rasanya aku berminggu-
minggu bersama mereka. Aku membantunya di ladang karena aku jauh lebih muda
dari mereka. Akan tetapi, aku tidak bisa berlama-lama dengan mereka. Setelah
tubuhku pulih betul aku pamit dan mendaki gunung menuju ke tanah seberang. Kata
orang tua itu, di seberang ada laut.
Bertahun-tahun aku
menjadi kuli pelabuhan atau ikut nelayan pada malam hari. Siang hari aku tidur
dan malam melaut bersama nelayan, atau kalau musim ombak, menjadi kuli
pelabuhan bagi tongkang dan kapal yang merapat malam. Sesekali aku mencari tahu
keberadaan istriku dari orang yang sebahasa denganku. Setelah berbulan-bulan,
aku mendapat informasi mengenai alamat mereka, dan mengirimkan upah yang
kuperoleh. Kiriman berikutnya tidak dapat kulakukan karena pada suatu hari aku
berpapasan dengan seorang bekas interogatorku. Ia terkejut melihatku. Aku pun
terkejut melihatnya. Aku cepat-cepat menghilang. Pergi ke laut, masuk tongkang
yang hendak berlayar berbulan-bulan di laut, menjual ikan ke seberang.
Malam-malam berbintang,
aku menghitungnya. Hari-hari pelarianku yang tidak kutahu kapan akan berakhir.
Sepuluh tahun? Dari
beberapa pelabuhan, kukirim upahku, kepada anak-anakku. Tanpa alamat, karena
aku bersama bintang di laut dengan pelaut yang tidak peduli pusaran politik. Mereka hanya peduli pusaran arus laut.
Alam keras membuat
mereka hidup. Dan di sanalah aku merajut nasibku juga.
Sampai berpuluh tahun
kemudian, iklim politik pun berubah, sekalipun laut tetap bergelora! Laut
mengajariku untuk tabah. Bandung, 21 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar